Dekorasi ruangan tampak putih dengan dihiasi bunga-bunga segar berwarna warni yang menempel pada panggung di samping aku duduk. Di depanku persis tampak beberapa lelaki yang duduk saling berhadapan. Salah satunya kulihat sosok Mas Rayyan.“Saya terima nikah dan kawinnya Ria Khadijah binti Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Ucap mas Rayyan sambil menyalami ayahku.“Sah?” ucap penghulu.“Sah.” Ucap saksi.Aku duduk di kursi belakang membelakangi Mas Rayyan sambil menahan isak tangis yang sulit kubendung. Ucapan Mas Rayyan benar-benar merdu di telinga. Jantung ini seperti mau copot karena debarannya tak kuasa kutahan. “Aku gak setuju!” terdengar suara mbak Wenda dari balik pintu kamar membuyarkan dunia halusinasiku. “Ihh!” gerutuku sebal.Bayangkan, lagi asik menonton film pernikahan secara syar’i sambil membayangkan diriku berada di sana. Aku merasa menjadi tokoh utama wanita yang duduk membelakangi pasangannya saat prosesi pengucapan ijab qobul. Di
Bab 47 – Kala Mentari Tertutup Awan Mendung“Mbak Wenda kasih nama bayi ini siapa?” tanyaku sambil menggendong bayi perempuan. Ny. Wenda Fatimah, nama yang tertera di kertas yang melingkar pada kaki kanan bayi mungil ini.Alhamdulillah Mbak Wenda telah melahirkan secara caesar di sebuah rumah sakit swasta. Ini sudah hari kelima kami menginap di ruang VIP. Hanya aku, mbak Wenda, dan bayi ini. Masya Allah bayi mungil ponakanku. Ingatanku melayang saat mbak Wenda berjuang keras melahirkannya.Aku dan mas Revan menunggu di luar ruang operasi. Kata Bu Dokter Ajeng, spesialis kandungan menjelaskan bahwa Mbak Wenda harus segera di caesar karena tali pusarnya melilit si bayi, sehingga denyut nadi turun.Entah kenapa tanganku menjadi dingin dan berkeringat. Apa mungkin rasa takut menyelimuti tubuh ini? Kugigit kuku berkali-kali untuk melampiaskan kecemasanku. Ini moment pertama yang aku tunggu-tunggu. Mungkin ini juga momen spesial bagi Mas Revan di sebelahku yang terpaut satu kursi.Kul
Bab 48 – Indahnya Pelangi setelah Hujan“Mbak Wenda, makan yuk.” Aku membujuknya yang berdiri di sisi pintu kamar.Kulihat Mbak Wenda meringkuk di kasur, sementara bayi perempuannya yang dibedong sedang tertidur pulas di sebelahnya.Ini sudah hari ke tiga mas Revan meninggalkan kami untuk selamanya. Aku dan Mbak Wenda tak percaya secepat itu Mas Revan pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin dibanding denganku, mbak Wenda lebih terpukul atas kematian Mas Revan. Sudah tiga hari Mbak Wenda hanya terdiam dengan pandangan kosong. Perutnya hanya terisi dengan air putih dan susu formula ibu menyusui. Namun tidak ada satupun makanan yang masuk ke pencernaannya. Padahal aku sudah membujuknya baik dengan cara halus maupun cara kasar. Berkali-kali kuajak makan, tetapi tidak digubrisnya. Aku sekarang memahami bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang berusaha menyuapi anaknya yang susah makan.Aku tahu memang menyedihkan bagimu mbak Wenda, tapi tidak perlu membuat orang sekitarmu g
“Sah.” Ucap para saksi yang membuat bulu romaku berdiri.Kulihat punggung seorang pria yang duduk di kursi tepat di depanku. Gagah sekali dengan setelan jas hitam. Sementara aku memakai dress dengan balutan hijab menjuntai hingga dada. Aku didampingi mbak Wenda dan mama di sebelah kanan dan kiriku yang juga memakai kebaya. Apa ini mimpi? Gak! Ini gak lagi nonton film romantis kok. Ini nyata. Sadar Ria. Ini momen spesial untukmu. Aku masih tidak menyangka bisa menikah di KUA. Memang tidak seperti pernikahanku sebelumnya yang di gedung dengan dekorasi hiasan bunga-bunga cantik serta banyak tamu undangan dan makanan. Kali ini memang berbeda. KUA tempat sakral untukku dan Mas Rayyan.Kami sepakat memilih di KUA dengan alasan menghindari nyinyiran orang. Memang menurut orang-orang sekitar kami belum bisa memahami bagaimana bisa ada pernikahan silang antara aku dan mantan kakak iparku. Cukuplah KUA menjadi saksi pernikahan kami.“Ri, maju.” Mbak Wenda menyenggol lengan kiriku.Kulihat ba
“Revania, hati-hati jatuh nak!” Tegur Mbak Wenda yang melihat putrinya sedang mencoba menaiki tangga.Segera Mbak Wenda beranjak dari sofa dan bergegas menggendong putrinya yang berusia dua tahun. Tak lupa dia menutupnya dengan pagar kecil agar putrinya tidak menaikinya lagi.“Biarkan aja mbak.” Jawabku santai sambil menyeruput secangkir teh hangat.“Eh, ya gak gitu. Nanti kalau jatuh, kamu mau tanggung jawab Ri!” sewotnya.“Maksudku, mbak biarkan aja Revania naik tangga, gak papa. Nah, mbak jagain dari belakang.” Jelasku dengan tersenyum.“Lah, masalahnya aku lagi ngadepnya sama kamu, tante manyun!” Gerutunya sambil mengarahkan Revania ke tempat perosotan mini di ruang tengah.“Hahahha…” Aku tertawa lepas.“Nte Antik… No no no!” ucap Revania dengan gemesnya mencucu.“Tante cantik ya sayang ya. Bunda bilang tante manyun itu salah ya. Harusnya cantik ya?!” ucapku meyakinkannya sambil nyengir berseri.“Oya, udah ketemu mama papa?” tanya Mbak Wenda yang menoleh sebentar padaku lalu fokus
Pesantren putri gaduh. Pukul delapan malam di mana seharusnya semua santriwati belajar dengan tenang menyimak guru membaca kitab, kini penuh dengan suara teriakan memanggil nama seseorang. Pasalnya putri Kiyai Rozak menghilang. "Ning Salwa!" Seruan menggema. Bukan hanya seluruh mbak-mbak abdi ndalem, ustazah yang mengajar pun terpaksa meninggalkan kelas --dengan memberi tugas santriwati agar mereka tenang-- untuk turut mencari keberadaan Salwa, anak bungsu kyai. Salwa sudah berada di luar gerbang putri dengan mengendap-endap. Ia sengaja menggunakan pakaian hitam agar tidak mencolok pandangan di gelapnya malam. "Kenapa mereka masih memanggilku, Ning. Mbak Nayya pasti belum selesai menatar mbak-mbak itu." Salwa mengomel sambil berjalan tergesa-gesa. Gadis berusia 18 tahun itu sudah membulatkan tekad meninggalkan pesantren. Mengumpulkan seluruh keberanian menerima resiko dari pilihannya. Masalah ini harus selesai. "Aku bukan kabur Paklek, tapi menghindar sementara sebelum semua Pa
Salwa membuka kaki, tangannya telah mengepal. Posisi badan gadis itu kini sudah membentuk kuda-kuda. Tak ada jalan lain, selain duel. Apa gunanya dibantu dari preman, tapi ternyata yang menolong adalah kepalanya. Memuakkan. "Ayo, kita duel sampai mati! Mungkin aku cuma seorang wanita tapi aku adalah pelatih silat di pesantren." Tatapan mata Salwa menghunus pada Elvis. Kyai Rozak mengajarkannya untuk tidak lemah bahkan dalam kondisi terdesak. Seorang muslim itu kuat, jangan menyerah pada keadaan. Jika pun ia mati karena membela harga dirinya, maka ia mati dalam jihad. Elvis yang menyilang tangan di dada dengan santai tersenyum. Salwa terlihat sangat konyol. "Oh, jadi kamu dari pesantren.""Tidak perlu banyak bicara Tuan Preman!" ucap Salwa menekan. Ada api di matanya yang menunjukkan posisi tak gentar. "Ah, sudahlah. Ayo aku antar pulang." Elvis mengayunkan tangan, tidak ada gunanya buang waktu. Karena anak buahnya cepat atau lambat akan menemukan mereka di sana. "Apa?""Kamu ber
"Masuklah!" Elvis berjalan ke arah pintu kemudi. "Apa bagasinya sudah dibuka?" Salwa bertanya polos. "Bagasi?" Elvis menoleh. "Em." Gadis yang menggendong ransel itu mengangguk. "Untuk apa?""Supaya tak ada yang melihat, 'kan?""Hah? Hahaha. Kamu pikir kita sedang main film? Cepatlah masuk, kamu akan aman di dalam mobil bersamaku."Salwa menahan senyum karena malu. Ia terlalu kuno untuk memikirkan hal ini. Tanpa ragu lagi, masuk ke dalam mobil. Tangannya yang akan membuka pintu mobil terhenti, ketika Elvis menghardiknya. "Jangan duduk di belakang. Tapi di depan. Kamu pikir aku sopirmu!"Salwa pun urung membuka pintu belakang, beralih ke pintu depan. Mobil melaju, sesekali Elvis menekan klakson tanpa membuka kaca jendela menyapa anak buahnya yang bertebaran di terminal. Pria itu tersenyum melihat Salwa menundukkan kepala agar tak terlihat."Mereka tidak akan berani menghentikan mobil ini."Namun, gadis itu tak peduli. Ia merasa lebih aman bersembunyi. "Apa orang-orang yang Anda s