Angin sore berembus lembut melewati balkon berdinding kaca yang terbuka sebagian. Tirai putih tipis bergoyang pelan, membiarkan cahaya keemasan menari-nari di lantai kayu. Tyo baru saja selesai menata makanan di meja kecil balkon.Sementara itu, Gladys baru keluar dari kamar mandi dengan masih menggunakan handuk kimono dan rambut basah yang digelung seadanya. Ia menatap sekeliling ruangan, matanya langsung tertumbuk ke atas ranjang. Sesuatu menarik perhatiannya.Di sana terhampar satu blouse berwarna krem pastel. Potongannya elegan, lembut, dan terlihat… sangat sesuai dengan seleranya. Gladys memicingkan mata, lalu menoleh ke arah Tyo yang sedang menuangkan teh.“Tyo,” panggilnya dengan nada curiga, “itu… baju siapa?”Tyo hanya melirik sebentar, lalu kembali sibuk mengisi gelas. “Bajumu.”Gladys mengerutkan kening. “Bajuku? Maksudmu—”“Kenapa? Tidak suka?” sahut Tyo ringan. “Kalau begitu kamu pilih saja sendiri. Ada di lemari.”Tyo menunjuk sisi dinding di mana ada ruangan di baliknya
Pintu terbuka. Seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu, membungkukkan badan dengan sopan.“Maaf mengganggu, Tuan Muda. Makanannya sudah siap,” ucapnya pelan, dengan suara nyaris tak terdengar.Tyo mengerutkan keningnya dengan bingung. “Kenapa disiapkan makanan? Aku tidak meminta,” tanyanya, nada suaranya datar tapi terdengar jelas nada heran di baliknya.“Nyonya yang menyuruh, Tuan,” jawab si pelayan tanpa menatap langsung ke arahnya.Alis Tyo terangkat. “Apa Nyonya sudah menunggu di meja makan?”Pelayan itu menggeleng dengan anggukan sopan. “Tidak, Tuan. Nyonya dan Tuan besar sudah pergi keluar sejak pagi. Tuan Muda Bintang juga pergi.”Tyo menarik napas pelan, nyaris tak terdengar. Ada sedikit kelegaan yang perlahan menyelinap dalam dadanya. Setidaknya hari ini ia tak perlu menghadapi tatapan penuh penilaian dari ibunya atau sindiran tajam yang kadang dilemparkan ayahnya tanpa ampun. Gladys bisa beristirahat dulu. Tanpa tekanan. Tanpa harus terus waspada.“Tolong bawakan saja
Tyo melerai pelukannya perlahan setelah tubuh Gladys mulai tenang. Isak tangisnya telah mereda, meski napasnya masih sedikit tersengal. Tyo menatap wajah wanita itu lekat-lekat, lalu menyelipkan helai rambut yang jatuh ke pipinya ke belakang telinga dengan gerakan lembut. Tangannya kemudian mengusap pelan sisa air mata yang masih membekas di pipi Gladys."Ayo duduk," ucapnya lirih sambil membimbing Gladys ke tepi ranjang.Gladys menuruti, meski gerakannya masih terasa berat dan penuh keraguan."Istirahatlah. Kamu memang terlihat sangat lelah," ujar Tyo, suara dan sorot matanya begitu penuh perhatian.Namun, Gladys menggeleng perlahan. Matanya masih sembap, namun kini menyiratkan kegelisahan yang lebih dalam."Kenapa?" Tyo bertanya lagi, mengernyitkan dahi."Tidurlah dulu. Jangan risaukan apa pun. Aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana."Gladys menatap Tyo beberapa detik, seolah mencari kepastian di balik kata-kata itu. Tapi kemudian dia kembali menggeleng."Aku takut," bisiknya liri
Ketegangan masih menyelimuti. Gladys merasakan tangannya semakin dingin. Apalagi saat melihat Billy, yang wajahnya memerah, tampak hendak berdiri.Tubuh pria itu sudah sedikit terangkat dari sofa ketika sebuah tangan terulur, menahan gerakannya.“Biarkan aku dulu,” ujar Metha—istrinya.Billy menghela napas pelan dan kembali bersandar. Sorot matanya tetap tak lepas dari putra sulungnya dan wanita yang berdiri di sampingnya. Sesuatu seperti ingin meledak, tetapi diredam dengan keras.Metha berdiri. Langkahnya pelan, penuh kontrol. Tapi suara hak sepatunya di lantai marmer terdengar menggelegar—menghantam ruangan seperti palu godam. Detak jantung Gladys kian menggila.Tyo tetap tenang di sampingnya, meski sorot matanya sedikit mengeras saat ibunya semakin mendekat.Tanpa sadar, Gladys meremas tangan Tyo yang masih menggenggam jemarinya.Tyo membalas dengan remasan lembut, menenangkan.Metha berhenti tepat di hadapan mereka. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam, dan bibirnya terkatup rapa
Gladys melangkah ragu keluar dari mobil. Pandangannya menelusuri dinding megah dan pilar-pilar tinggi yang menyambut di depan. Rumah ini asing, tapi megahnya membuat perutnya seketika terasa mual. Seolah tubuhnya sedang diajak memasuki istana yang bukan miliknya.Pintu utama terbuka perlahan. Seorang pelayan berseragam membungkuk sopan, lalu berkata dengan suara rendah, “Selamat datang, Tuan Muda.”Tyo hanya mengangguk ringan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Gladys erat.Dan saat itu, Gladys tahu.Ia tahu di mana mereka berada.Rumah keluarga Tyo.Langkahnya goyah seketika.Darahnya seperti surut dari wajah. Napas tercekat. Kakinya terasa berat, seakan lantai marmer putih yang dingin itu berubah jadi lumpur yang menarik tubuhnya ke bawah.“Tyo…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kenapa kamu bawa aku ke sini?”Tyo tidak menjawab. Hanya menggenggam tangannya lebih erat dan melangkah masuk, memaksanya ikut.Setiap hentakan sepatu mereka menggema di aula luas. Suara itu memantul
“Bos, telepon dari kantor.”Hendra yang sedang mengemudi, menyodorkan ponsel dengan tangan kirinya.Tyo mendesah. Tangannya masih memeluk Gladys. Wanita itu sudah tenang, tapi tubuhnya lemas dan masih bersandar di dadanya.“Abaikan saja,” ujarnya tegas. Ia tak ingin merusak momen. Tapi yang terjadi setelahnya, Gladys justru menarik diri. Ia mengangkat kepala, menggeser tubuhnya, dan kembali menyandar di kaca jendela paling jauh dari Tyo.Hendra kembali menyodorkan ponsel yang terus berdering. Tyo terpaksa mengangkatnya.“Ya,” jawabnya singkat dan dingin seperti biasa.“Pak Brama, bos besar ada di sini.” Suara Teddy di seberang telepon terdengar ragu dan pelan.“Ada apa?” tanya Tyo lagi dengan ekspresi yang sama.“Pak Billy marah besar melihat billboard dan foto pernikahan Bapak.”Tyo memejamkan matanya.“Meminta orang untuk menurunkannya.” Teddy melanjutkan.“Tolong katakan, jangan campuri urusan kantorku. Aku akan segera menemuinya.”“Tapi, Pak ….”“Tidak ada tapi. Katakan jam makan