Gladys Maharani Wiradarma mengira hari pernikahannya akan menjadi momen paling bahagia dalam hidupnya. Namun, siapa sangka calon suaminya, justru membatalkan pernikahan secara sepihak dan mempermalukannya tanpa alasan yang jelas. Luka hati Gladys belum sempat pulih, ketika tragedi berikutnya menimpanya: sang ayah kolaps akibat tekanan dan rasa malu. Di tengah kekacauan dan air mata, ayahnya menyampaikan permintaan terakhir—Gladys harus tetap menikah hari itu juga dengan pria pilihan ayahnya, seorang pengawal bernama Tyo. Siapa Tyo? Kenapa ayahnya begitu yakin padanya? Dan sanggupkah Gladys menjalani pernikahan yang bukan berasal dari cinta, sementara hatinya masih dipenuhi luka dan pertanyaan? Sebuah kisah tentang pengkhianatan, harga diri, dan perjalanan menyembuhkan luka, yang akan membuatmu mempertanyakan: apakah pernikahan bisa menjadi awal dari cinta yang sejati?
View More“Pernikahan kita batal. Aku tidak bisa menikahimu.”
“Apa maksudmu?” Suara Gladys pecah, meski ia berusaha menahannya. Kedua tangannya mencengkeram ponsel begitu erat hingga buku jarinya memucat. Gaun putihnya yang indah tiba-tiba terasa mencekik. “Jangan bercanda, Rafa. Aku sudah menunggumu di aula pernikahan–”
“Aku tidak peduli.” Suara di seberang saluran telepon itu menyela dengan dingin. “Mau sampai kapan pun kamu menunggu, aku tidak akan datang.”
Tubuh Gladys membeku. Otaknya masih tidak bisa mencerna ucapan calon suaminya tersebut.
“Ini tidak lucu, Rafa,” ucap Gladys lagi. Suaranya bergetar. “Ini hari pernikahan kita. Semua undangan sudah disebar, penghulu pun sudah datang. Kamu tidak bisa membatalkan pernikahan begitu saja.”
“Terserah bagaimana kamu mengurusi mereka. Mau kamu bubarkan, atau mau kamu pakai untuk menikah dengan pria yang bisa memuaskan nafsumu itu.”
Gladys mengernyit, tidak mengerti dengan maksud Rafael. “Apa maksudmu?”
Rafael mendengus mendengar respons Gladys. “Ternyata kamu tidak sebaik yang aku kira, Gladys. Setelah semua yang kita lalui … bisa-bisanya kamu mengkhianatiku seperti ini.”
“Apa? Maksudmu aku selingkuh?” tanya Gladys, masih tidak paham. “Rafa, aku tidak pernah–”
Tuuttt.
Rafael memutus panggilan begitu saja. Sepihak. Padahal Gladys butuh penjelasan dan menjelaskan.
Bagaimana mungkin Rafael menuduhnya selingkuh, padahal Gladys sama sekali tidak pernah berhubungan dengan pria lain bahkan saat tunangannya tersebut berada di luar negeri selama beberapa tahun?
Dengan tangan gemetar, ia mencoba menelepon kembali, berkali-kali. Namun, gagal. Nomor Rafael tidak aktif.
Dadanya sesak, kepalanya berdenyut. Ia ingin menjerit, tapi suara itu tertahan di tenggorokan. Air mata mendesak keluar, namun ia paksa untuk tetap bertahan. “Tidak… ini pasti salah. Rafa tidak mungkin—”
“Dys?”
Suara ayahnya, Satrio, membuatnya mendongak. Mata tajam pria paruh baya itu kini dipenuhi cemas. “Ada apa?”
Gladys membuka mulut, tapi suaranya tercekat. Hanya satu kata yang bisa ia paksa keluar, lirih, “Rafa…”
Satrio langsung meraih bahunya. “Kenapa dengan Rafael?”
“Rafa… tidak akan datang, Pi.”
Sejenak hening. Dunia runtuh di hadapan Satrio. Wajahnya mengeras. Ia meraih ponsel dari tangan Gladys, mencoba menelepon Rafael. Berkali-kali. Hasilnya sama: nomor tidak aktif.
Nafasnya memburu, wajahnya merah padam, tapi di balik amarah itu jelas terlihat luka yang dalam.
“Berengsek!”
BRAK!
Ponsel itu dilemparkannya ke lantai hingga hancur berantakan. Puing-puingnya terlempar ke sembarang arah. Seperti itulah hati anak perempuannya saat ini.
Tubuh Gladys bergetar hebat. Kepalanya menggeleng seperti orang linglung. Kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya. Ia jatuh berlutut. Gaun pengantinnya mengembang di sekelilingnya. Isaknya tertahan, seperti tidak diizinkan menangis. Tapi air matanya mengalir juga—diam-diam, tanpa suara.
“Sat, ada apa? Kenapa kamu mengamuk seperti ini?” Tiba-tiba Rajendra, paman Gladys, datang didampingi istri dan putranya. “Apa yang terjadi?”
Baik Satrio maupun Gladys tidak menjawab. Gladys menunduk di lantai dalam penyangkalan hatinya. Sementara Satrio sibuk meredakan amarah yang membumbung tinggi. Hingga akhirnya, keluarga sepupunya itu mendapatkan jawaban dari orang lain yang kebetulan ada di sana.
“Astaga, pria berengsek itu.” Rajendra mendengus. “Memang dia tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Wiradarma.”
Lalu, tiba-tiba, bibir Rajendra melengkung. “Kalau begitu, supaya pesta ini tidak sia-sia, bagaimana kalau Alvin saja yang menggantikan Rafael?”
Ruangan sontak menjadi sepi setelah ucapan itu terlontar. Ayah Gladys dan semua orang yang ada di sana terdiam.
Pun dengan Gladys yang mendadak menghentikan tangis. Seperti disambar petir kedua kalinya.
“Apa?” Gladys tercekat. Menatap tak percaya sang paman. “Menikah dengan Alvin?”
Jendra mengangguk. Ia menatap Gladys dan kembali berujar, “Daripada tamu pulang membawa aib, bukankah lebih baik begitu? Kalian sudah dekat sejak kecil. Tidak ada alasan menolak, Dys.”
Gladys menoleh pada Alvin. Pria itu mengangkat alis, tersenyum tipis. Bukan senyum menghibur, tapi senyum penuh ego.
“Ya,” ujarnya dengan suara tenang namun angkuh. “Aku bersedia menikahimu, Dys. Jangan khawatir, aku akan membereskan kekacauan yang ditinggalkan Rafael.”
Gladys tiba-tiba merasa mual. Ada perasaan asing yang menohok perutnya saat melihat betapa antusiasnya sang paman dengan idenya tersebut. Ditambah lagi, ia merasa ada sesuatu di balik tatapan Alvin yang membuat kulitnya merinding.
Seakan… memang inilah yang mereka tunggu.
“Oke.” Jendra bertepuk tangan. “Tunggu apa lagi? Cepat–”
“Tidak.” Suara Satrio menyela. Pria paruh baya itu tampak marah, tapi berusaha mengontrol dirinya. “Putriku tidak akan menikah dengan Alvin.”
“Melainkan dengan pengawalku, Tyo.”
Gladys keluar dari unit Rafael dengan langkah gontai, seakan seluruh tenaga terkuras bersama air matanya. Hatinya hampa, dadanya sesak. Tidak ada jejak Gavin di sana, hanya amarah Tyo dan kemarahan Rafael yang saling bertubrukan. Padahal ia datang untuk mencari anaknya, bukan untuk menambah luka baru.Lorong panjang menuju lobi terasa begitu dingin, lampu-lampunya menyilaukan mata yang masih basah. Setiap langkah bagai menambah beban di pundaknya. Sesekali ia harus berhenti menarik napas panjang, mencoba menahan tubuhnya agar tidak ambruk di tempat. Tyo yang mencoba membantunya, beberapa kali ia tepis.Ketika akhirnya ia melewati pintu kaca menuju lobi, tubuhnya tak sengaja bertabrakan dengan seseorang yang baru masuk. Tubuh Gladys terhuyung, sementara bungkusan belanjaan yang dibawa orang itu berhamburan ke lantai. Kaleng, botol susu, dan sebungkus popok kecil berguling di kakinya.“Oh, maaf… maaf sekali,” ucap Gladys tergopoh, segera berjongkok untuk membantu memungut barang-barang
Tyo masih terengah, amarahnya belum reda sepenuhnya. Saat Rafael berlari menjauh, ia menoleh cepat pada Gladys, matanya menyala.“Aku sudah bilang, jangan buang waktu dengan orang itu! Kau malah bicara panjang lebar, untuk apa?!” suaranya bergetar, penuh tuduhan.Gladys membuang pandangan, enggan menanggapi. Sudah terlalu lelah memikirkan Gavin yang tak kunjung ketemu, masih harus meladeni kecemburuan Tyo yang sejak dulu tak berdasar. Dadanya sesak, tapi ia tahu, kalau saat ini ia menuruti emosi, semuanya hanya akan makin kacau. Tanpa sepatah kata, ia melangkah masuk kembali ke lobi apartemen, meninggalkan Tyo yang mendengus frustrasi.Dengan langkah gemetar, Gladys kembali mendatangi meja pengelola. Wajahnya sudah tak bisa lagi menutupi kegetiran—mata merah, air mata belum kering, dan nada suaranya pecah.“Baik. Kalau tadi kalian minta satu nama, sekarang aku punya. Rafael Sanjaya.”Kepala pengelola yang sedang menulis sesuatu di atas meja kontan terlonjak. Pulpen di tangannya hampir
Lobi apartemen itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang dingin, berkilau, namun tak memberi sedikit pun kehangatan. Tyo berdiri di depan meja resepsionis, kedua tangannya menekan kuat permukaan marmer seolah berusaha meredam gejolak di dadanya. Wajahnya memerah, matanya penuh amarah.“Dengar baik-baik! Kami datang bukan untuk main-main!” suara Tyo pecah, hampir bergetar. “Anak kami hilang, dan semua petunjuk mengarah ke tempat ini. Ada kemungkinan besar dia disekap di salah satu unit apartemen kalian. Tolong, izinkan kami masuk atau setidaknya periksa!”Resepsionis muda itu menelan ludah, gugup, lalu menoleh pada seorang pria bersetelan rapi—kepala pengelola apartemen—yang sejak tadi ikut mendengarkan. Pria itu menghela napas panjang, kemudian melipat tangan di dada.“Pak, Bu,” katanya tenang tapi tegas. “Saya mengerti kegelisahan Anda. Tapi tolong pahami posisi kami. Kami tidak bisa memproses permintaan seperti ini hanya berdasarkan prasangka. Anda bahkan tidak bisa menyebutkan unit ma
Tyo menatap adiknya lama, seperti ingin menembus isi kepala Bintang. Namun sebelum ia sempat mengucapkan kata-kata yang lebih tajam, Bintang cepat angkat bicara.“Kak, yang terpenting sekarang adalah mencari anakmu,” ujarnya dengan nada mendesak. “Aku tidak menemukan ada tanda-tanda mencurigakan di rumah. Mama memang drop lagi kesehatannya, hampir sepanjang hari hanya terbaring. Aku juga sudah menyadap panggilan masuk ke telepon rumah, tapi kalau HP Mama … aku belum punya kesempatan.”Nada Bintang bergetar ketika menambahkan, “Dan … Papa marah-marah terus. Dia menyalahkan kita. Seolah semua ini gara-gara kita tidak bisa menjaga perasaan Mama.”Tyo memejamkan mata sejenak. Napasnya berat, seperti menahan ledakan frustrasi. “Aku tahu,” desisnya. “Aku juga tidak ingin memperburuk keadaan Mama. Itu sebabnya … aku belum melapor polisi.”Bintang menatapnya tajam. “Tapi, Kak … bagaimana kalau pelakunya bukan Mama?”Pertanyaan itu membuat Tyo seketika menoleh, sorot matanya menusuk. “Apa maks
Tyo berdiri terpaku di sisi sofa. Sesaat ia hanya memandang tubuh lemah itu yang meringkuk dengan mata terpejam. Wajah Gladys pucat, sembab, dan penuh jejak air mata. Sesekali tubuhnya bergerak gelisah, namun akhirnya terlelap juga karena kelelahan.Dengan hati-hati, Tyo menarik selimut dan menyelimutinya. Gerakannya pelan, seakan takut membangunkan wanita yang akhirnya mendapatkan sedikit istirahat itu. Napas Gladys masih berat, bibirnya pucat karena seharian belum menyentuh makanan.Tyo berdiri menatapnya cukup lama, lalu mengembuskan napas berat. Hatinya semakin perih. Ada luka yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: kehilangan anak yang baru saja ia sadari sebagai bagian dari hidupnya.Di mana Gavin sekarang? Siapa sebenarnya yang menculiknya? Tidakkah orang itu punya perasaan? Memisahkan bayi dari ibunya adalah perbuatan keji. Gladys bahkan sejak tadi menceracau jika Gavin takut tidak diberi makan dan susu dengan benar. Dan itu pula yang ia rasakan. Bagaimana jika anak itu kelap
Langkah Tyo berderap kencang menembus halaman rumah besar itu. Rumah yang lama ia tinggalkan, namun kini seakan menyambutnya dengan udara berat. Napasnya memburu, dadanya naik turun penuh bara. Beberapa pelayan yang kebetulan lewat di teras saling pandang, wajah mereka memancarkan keheranan. Mereka tahu, anak sulung keluarga itu jarang sekali pulang, dan kini ia datang dalam keadaan seperti dikejar setan.“Tuan Muda?” salah seorang pelayan memanggil lirih.Namun Tyo tidak menggubris. Ia terus melangkah cepat menyeberangi lorong luas rumah itu. Suara langkah sepatunya bergema, menyibak keheningan sore yang merayap di dalam rumah.“Kak!”Suara lain menyusul. Bintang. Ia baru saja turun dari tangga ketika berpapasan dengan kakaknya. Matanya membulat melihat Tyo yang terburu-buru dengan gestur mencurigakan.“Kak, syukurlah kamu pulang juga ternyata.”Tyo tidak menoleh. Langkahnya mantap, penuh amarah. Bintang mengernyit, lalu otomatis mengekor, penasaran sekaligus khawatir.“Ada apa, Kak?
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments