MELABRAK ARINI“Mama! Ayo, sini makan, ini enak banget. Ayamnya kriuk kriuk, nasinya masih hangat. Supnya juga enak. Makan ini badan jadi tidak dingin lagi.”Arini tertawa mendengar ucapan Rafa. Dia mengangguk dan langsung bergabung dengan dua anaknya setelah menyimpan uang dari Yuda. Entah kapan terakhir kali dia mencicipi makanan cepat saji ini. Rasa-rasanya sudah lama sekali.“Pelan-pelan makannya, Nay. Ini masih banyak, kok. Abang Rafa tidak akan sanggup menghabiskan.” Arini tersenyum sambil merapikan makanan Naya yang sedikit berantakan. Balita itu makan dengan tergesa, takut kehabisan.Sementara Arini menikmati makan sambil bercanda dengan Rafa dan Naya, di sini, Yuda baru saja memasuki halaman rumah. Lelaki itu bergegas berlari setelah keluar dari mobil karena hujan turun semakin deras.“Mas.”Yuda hanya tersenyum tipis melihat Diandra yang sedang ngobrol dengan ibunya di ruang tamu. Lelaki itu melirik jam di dinding. Sudah cukup malam. Sepertinya Diandra memang sengaja menungg
Diandra Membuat KeributanArini yang kalah sigap terpaksa mundur beberapa langkah akibat dorongan dari Diandra. Pintu rumah petak itu akhirnya terbuka sempurna, menampilkan seluruh kondisi ruangan yang amat sederhana. "Wanita munafik, tak tahu diri, gatal, apalagi yang pantas kusematkan pada dirimu?" Diandra menatap Arini seolah dia musuh bebuyutan yang lagi-lagi harus bertempur di tengah-tengah Medan laga. Diandra mencekal lengan Arini hingga membuat kedua anak wanita itu tersudut di kasur lu;suhnya. Anak-anak itu harus melihat sang Ibu diperlakukan buruk oleh orang yang baru mereka lihat. "Apakah kau tak ingat pernah mengatakan meminta calon suamiku itu pergi dari hidupmu?" Diandra mengeratkan cengkraman di tangan Arini. Matanya bengis melihat Arini yang sedang berusaha mengontrol emosinya. "Lalu kenapa kau sekarang bertingkah seperti parasit yang menggerogoti Mas Yuda tanpa rasa malu? Kau sedang menjilat ludahmu sendiri?" Arini menarik tangannya kasar hingga cengkeraman Diand
Diandra Membuat Keributan (2)“Wid, sudah.” Arini menahan Widya yang mulai merangsek maju ke depan ingin menyerang Diandra. Dia mengerti kenapa tetangganya itu sangat emosi. Widya menjadi saksi hidup perjuangannya selama ini.“Biarin, Mbak! Biar wanita pongah ini tahu kalau dia akan menikahi lelaki tak berakhlak. Biar dia hati-hati, jangan sampai nanti mengalami nasib yang sama, ditelantarkan juga.”“Jaga mulut kamu! Dasar miskin! Aneh sekali mewajarkan perselingkuhan. Disogok berapa kamu sama wanita sialan ini sehingga membelanya mati-matian, hah?!” Diandra maju dan mendorong Widya.Widya yang tidak terima langsung menjambak rambut lurus Diandra yang terurai. dengan kencang dia menarik dan memutarnya hingga wanita itu menjerit kesakita. Saat akhirnya berhasil dilerai, di tangan Widya masih tertinggal segumpal rambut Diandra. Dia tersenyum puas melihat penampilan Diandra menjadi berantakan.“Pergilah, Di. Jangan membuat keributan disini. Aku dan Mas Yuda tidak ada hubungan apa-apa. Ka
KEMARAHAN PENGUNJUNG Benturan keras pada tubuh Arini membuat wanita itu mengaduh dan memegangi bahunya. Arini hampir terjungkal saat tubuh Rista yang lebih berisi menabraknya dengan cukup keras. Arini menautkan kedua alisnya heran. Firasatnya mengatakan bahwa Rista sengaja menabrakkan tubuhnya, mengingat lorong penghubung antara gudang dengan bagian store cukup lebar apalagi hanya untuk berpapasan antara dua orang. "Kenapa?" Rista menatap wajah Arini tanpa permintaan maaf. Bahkan tak ada raut penyesalan dari wajahnya. Wajah putih milik Rista justru terlihat amat puas melihat Arini yang masih memegang pundaknya. "Manja? Mau ngadu? Bosen!" Arini makin tak mengerti dengan sikap Rista yang mulai kelewatan. Wanita itu menarik napas dalam-dalam yang mencoba mengabaikan Rista dan memilih berlalu dari hadapannya. Pikirannya tak karuan saat ini. Bayangannya saat berpamitan dengan Naya yang masih lemah tergolek di atas kasur membuatnya sulit sekali berkonsentrasi. Hal itu pula yang mungki
PEMBUAT MASALAH SEBENARNYA "Saya mohon maaf atas kesalahpahaman ini. Mudah-mudahan Ibu berkenan memaafkan keteledoran kami. Jujur saja, hal ini baru pertama kali terjadi di swalayan kami. Mudah-mudahan menjadi pembelajaran yang membuat kami terus berbenah," ucap Umi Hasyim pada wanita yang diketahui bernama Rumi. Wanita itu membulatkan mata tak terima. "Maksud Anda, apakah ini artinya karyawan yang berbuat kesalahan ini lolos tanpa sangsi apapun?" Wulandari, Arini dan security bernama Riki tersengal. Mereka bertiga tak menyangka wanita itu tak kunjung memberikan maaf dan melupakan masalah itu. Dia malah menginginkan hal yang teramat krusial bagi mereka yang masih membutuhkan pekerjaan dari tempat ini. "Mohon maaf, itu masalah intern kami sebagai pemilik tempat ini. Biar saya dan manajemen yang akan mengambil tindakan atas masalah ini," jawab Umi dengan wajah tetap tenang. Hal itu tentu saja membuat ketiga karyawannnya bisa bernapas lega. "Saya akan memberikan ulasan buruk untuk t
Fitnah“Mbak Rista, dipanggil Umi.” Dengan napas tersengal Riki akhirnya berhasil mengejar Rista yang sudah hampir menyalakan sepeda motornya. “Dipanggil Umi sebentar.” Riki menunjuk ke dalam. Lelaki itu mengulangi ucapan karena Rista menatapnya tidak mengerti.“Ada apa?”“Entah.” Riki mengangkat bahu. Dia sengaja tidak memberitahu alasannya karena wajah Rista terlihat sedikit panik.Setelah agak lama berpikir, Rista akhirnya mengikuti Riki. Terlihat sekali wanita itu berat hati memenuhi panggilan pemilik swalayan itu. Namun, bagaimana lagi? Tidak ada alasan dia menolak walau jam kerjanya sudah selesai.“Kamu kenal Bu Rumi?” Umi Hasyim langsung bertanya saat Rista baru saja duduk. “Pembeli yang tadi marah-marah hingga membuat keributan.” Bu Rumi menunjuk layar yang sedang menampilkan adegan Rumi memarahi Wulandari.“Tidak, Bu.” Rista menjawab setelah terdiam sebentar. Dari ujung mata, dia melirik pada Arini dan Wulandari yang duduk di sampingnya. Wanita itu menarik napas panjang. Dia
SenasibUmi Hasyim muda yang sedang menyuapi Harry tersentak. Semangkuk bubur bayi di tangannya terlepas dan tumpah memenuhi lantai. Jempol kaki Dahlia terasa perih karena terkena mangkuk yang jatuh. Dia menatap bingung pada suaminya yang membuang wajah. Tanpa angin tanpa hujan, kalimat talak tiba-tiba dia ucapkan.“Apa maksud Mas menalak Dahlia? Jangan main-main dengan kalimat talak, Mas. Walau diucapkan dengan candaan, dia sah di mata Allah.” Dahlia mengambil Harry yang menangis kencang karena tidak disuapi lagi. Bayi gembul itu baru saja MPASI semingguan ini.“Aku tidak main-main, Dahlia.”“Tidak main-main bagaimana, Mas?” Air mata Dahlia mulai mengalir saat menyadari betapa dingin wajah dan suara suaminya malam ini. Di berjalan cepat mengikuti langkah sang suami yang berjalan menuju kamar.“Mas mau kemana?” Dahlia meletakkan Harry ke dalam box bayi. Umi Hasyim muda dengan cepat memegang tangan suaminya yang mulai memasukkan baju ke dalam tas. Dia benar-benar kebingungan. Hubungan
Selepas Umi menyuruhnya keluar ruangan, Arini berjalan gontai kembali ke tempatnya bekerja. Jam kerjanya tinggal dua jam lagi. Beberapa karyawan yang mengetahui hal yang menimpa Arini menatapnya canggung. Sebagian ada yang abai dan mulai menunjukkan ketidaksukaan padanya, sebagian lagi mencoba tersenyum seraya menguatkan diri wanita itu. Sebisa mungkin Arini tersenyum demi membuatnya terlihat baik-baik saja. Bener sekali apa yang disampaikan Umi tadi. Tak mungkin tempatnya bekerja ini terus menerus memberikan keringanan padanya yang akhirnya berdampak pada karyawan yang lain. Mereka mulai menunjukkan ketidakkesukaannya terhadap perlakuan Umi yang dirasa sedikit berbeda pada hari ini Arini. Tak mungkin membuat Umi yang sudah terlampau baik itu tersudut demi dirinya. Kejadian yang terjadi menunjukkan semuanya. Karyawan mulai berani menunjukkan hal-hal frontal demi menunjukkna protesnya. Rista salah satunya.Dia berani melakukan hal yang masih tetap bisa disangkalnya meski CCTV menun