Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
BAB 1 Pertemuan Dengan Mantan Suami “Mbak, area perlengkapan pesta ulang tahun sebelah mana?” Sebuah suara yang berasal dari arah belakang Arini terdengar. Wanita yang sedang masih memegang sapu itu menoleh. Bibirnya yang sudah terlatih mengulas senyum ramah pada pelanggan tiba-tiba tertarik dengan cepat. Tak ada lagi lengkungan indah di bibir wanita itu. Tangan yang semula ingin menunjuk ke area yang ditanyakan pun terasa begitu kaku dan sulit digerakkan. Wajah Arini menegang. Tak hanya wajahnya saja, wanita di depannya yang memakai dres warna hijau botol itu pun menunjukkan ekspresi yang sama. Arini sudah mendengar kabar itu. Kabar yang membuat jiwa dan tubuhnya hancur berserak tak berbentuk. Kabar yang sesungguhnya seringkali ingin sekali disangkalnya. “Gimana? Udah ketemu, Di?” Suara laki-laki yang terlihat berjalan dari lorong sebelahnya pun terdengar. Laki-laki itu tanpa ragu memeluk pinggang wanita di depannya. “Mbak Anita bilang Giska pengin pernak-pernik kuda poni di
BAB 2Hutang“Ini.” Arini yang sedang merapikan barisan detergen tersentak. Dia menatap bingung pada Wulandari— temannya yang menyerahkan uang dengan jumlah yang lumayan padanya.“Uang kembalian belanjaan Yuda. Kemarin dia belanja lagi kemari dan tidak kuserahkan uang kembaliannya. Aku tahu kamu butuh uang dan juga ada hakmu dalam setiap rupiah dari harta lelaki sialan itu.” Wulandari menjelaskan dengan cepat. Dia mengenal Yuda dengan baik. Arini telah bekerja di sini bahkan sejak sebelum lelaki itu meninggalkan sahabatnya.“Kalau aku jadi kamu, sudah kuteriaki pasangan gila itu biar malu sekalian! Apalagi yang perempuan! Bisa-bisanya maling kok petantang-petenteng seperti itu. Geram aku!" Wulandari menghentakkan kakinya kesal. dia ikut berjongkok dan membantu Arini merapikan barang di depannya. “Terima kasih.” Arini menjawab dengan suara bergetar. Satu rupiah sangat berarti baginya saat ini. Memikirkan uang di dompet yang hanya tinggal selembar sedangkan Naya masih membutuhkan ban
BAB 3Mantan MertuaArini menatap rumah dua lantai di hadapannya dengan hati tak menentu. Hujan gerimis yang sejak jam dua siang tadi mengguyur kota setia menemani langkah wanita itu. Dia memutuskan datang kemari setelah jam kerjanya di toko selesai.Arini menghela napas panjang. Setelah lima menit lagi berlalu, dia memutuskan menyebrang jalan dan mendatangi rumah itu. Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah enam, dia tidak dapat menunggu lagi. Rafa dan Naya pasti sudah menunggunya."Assalamualaikum." Ketukan ketiga, pintu terbuka."Kamu?!" Tanpa menjawab salam, wanita berusia pertengahan lima puluh tahun itu langsung menatap tajam pada Arini.Arini tersenyum sopan pada Ratna, mantan mertuanya. Dia yakin sekali, wanita itu tidak menyangka dia yang ada di depan pintu setelah dua tahun tidak bertemu."Mas Yuda ada, Bu?""Untuk apa kamu mencari Yuda?" Ratna menatap Arini tidak suka."Ada yang harus kami bicarakan.""Bicara saja dengan saya."Arini mengepalkan tangan. Sejak dulu, Ratn
BAB 4PenyesalanYuda menepikan mobilnya ke halaman minimarket tempatnya kemarin bertemu Arini. Dihembuskannya napas kasar sambil menatap bangunan kubikal di depannya saat ini. Telunjuknya mengetuk stir mobil, memastikan tindakannya tak akan berisiko. Entah berapa lama dia terdiam sambil memandang lurus ke arah pintu masuk swalayan Basmalah yang berjarak kurang dari sepuluh meter dengan mobilnya saat ini. Hari kemarin adalah pertemuan pertamanya dengan Arini selepas palu hakim yang menandakan hubungan berakhir diketuk. Selama ini dia berusaha mengabaikan bisikan hatinya mempertanyakan kondisi Arini dan kedua anaknya selepas kepergian dirinya dari kehidupan mereka. Dari sekian swalayan yang dia dan Diandra lewati, entah mengapa tempat itulah yang dipilih oleh keduanya. Hatinya benar-benar tersentil. Mungkinkah ini cara Tuhan menegur dirinya? Pekerjaannya saat ini sungguh memberinya limpahan harta. Apalagi sebagian besar kekayaan kedua orangtuanya pun sudah berada di genggamannya pas
BAB 5Janda Gatal?Yuda mengusap wajahnya kasar mendengar pertanyaan sarkas dari Wulandari barusan. Wanita itu memang sangat dekat dengan mantan istrinya sehingga Yuda maklum jika dia bersikap demikian. Siapapun pasti akan kesal dengan perlakuannya yang abai pada Arini dan kedua anak mereka.“Totalnya dua ratus enam belas ribu.”Yuda menghembuskan napas dengan kencang mendengar suara ketus Wulandari barusan. Beruntung, pengunjung hari itu sepi. Mungkin karena masih jam kerja sehingga tidak terlalu ramai.Yuda menyerahkan tiga lembar uang berwarna merah. “Simpan makanan ini dan kembaliannya untuk Arini.”Raut kaget sangat kentara di wajah Wulandari mendengar ucapan Yuda. Namun dia tak ambil pusing. Wanita itu bergegas menurunkan belanjaan dari meja kasir dan menyimpannya di bawah.“Apa keadaan Naya sudah membaik?”Wulandari mendengus sebal karena Yuda terus-terusan mengulang pertanyaan yang sama seperti radio rusak. Jujur saja, dia mulai muak melihat wajah lelaki zalim di hadapannya.A
Takut Kehilangan "Gue nggak tahu! Kita juga kaget tadi pas denger ada suara benda jatuh. Kirain barang di gudang bergeser lagi. Pas kita lihat keluar, Arini sudah di posisi tergeletak di lantai." "Lan, sudahlah. Aku sama Rista memang tidak terlalu menyukai Arini karena dia dianakemaskan, tapi bukan berarti kami akan mencelakai dia. Apalagi ini tempat kerja …."Arini menautkan alis. Samar-samar dia mendengar keributan antara beberapa orang. Kepalanya pusing. Dia berusaha membuka mata, tapi entahlah kenapa berat sekali. Sulit. Seperti ada lem yang merekatkan matanya hingga susah terbuka. "Rin? Arini?" Wulandari yang baru saja perang omongan dengan Rista dan Dewi langsung menoleh mendengar rintihan sahabatnya.Tadi dia berencana mau ke toilet, tapi langkahnya terhenti saat melihat Rista dan Dewi sedang membopong Arini dengan susah payah ke ruang istirahat karyawan. Dia yang mengetahui dua rekan kerjanya itu tidak terlalu menyukai Arini langsung berpikiran yang tidak-tidak hingga menyeb