Arini Dafina, janda dengan dua orang anak yang tahun ini genap berusia tiga puluh dua tahun. Dia harus berjuang membesarkan kedua buah hatinya setelah ditinggalkan oleh Yuda. Kesalahan masa muda, mereka menikah tanpa restu orangtua. Arini bahkan mengorbankan kuliahnya agar bisa merajut rumah tangga dengan belahan jiwa. Naas, kehidupan pernikahan tak selalu indah seperti bayangan. Mantan suaminya itu tak kuat hidup menderita hingga tega meninggalkannya dan kembali pada keluarganya yang orang berada. Arini meneguhkan hati. Sekuat tenaga dia berusaha membesarkan kedua anaknya walau tanpa nafkah sepeserpun dari sang mantan suami. Bagi Arini, hidup adalah perjuangan tanpa henti. Pantang baginya menangisi masa lalu apalagi mengemis belas kasihan pada orang-orang yang hatinya telah membatu.
ดูเพิ่มเติมBAB 1
Pertemuan Dengan Mantan Suami “Mbak, area perlengkapan pesta ulang tahun sebelah mana?” Sebuah suara yang berasal dari arah belakang Arini terdengar. Wanita yang sedang masih memegang sapu itu menoleh. Bibirnya yang sudah terlatih mengulas senyum ramah pada pelanggan tiba-tiba tertarik dengan cepat. Tak ada lagi lengkungan indah di bibir wanita itu. Tangan yang semula ingin menunjuk ke area yang ditanyakan pun terasa begitu kaku dan sulit digerakkan. Wajah Arini menegang. Tak hanya wajahnya saja, wanita di depannya yang memakai dres warna hijau botol itu pun menunjukkan ekspresi yang sama. Arini sudah mendengar kabar itu. Kabar yang membuat jiwa dan tubuhnya hancur berserak tak berbentuk. Kabar yang sesungguhnya seringkali ingin sekali disangkalnya. “Gimana? Udah ketemu, Di?” Suara laki-laki yang terlihat berjalan dari lorong sebelahnya pun terdengar. Laki-laki itu tanpa ragu memeluk pinggang wanita di depannya. “Mbak Anita bilang Giska pengin pernak-pernik kuda poni di pesta nanti.” Tangan Arini mencengkeram kuat gagang sapu yang sedari tadi dipegangnya. Giginya beradu kuat, bergemeletuk hebat akibat emosi yang hampir tak mampu dia kendalikan. Laki-laki yang seharusnya mendampingi anak perempuannya yang tengah meringkuk berjuang melawan sakitnya itu justru memeluk pinggang wanita lain yang sampai detik ini belum sah menjadi pasangannya. “Di sana. Ambil lorong ini, lurus terus hingga ujung. Di sana rak pernak-pernik pesta ulang tahun.” Suara Arini bergetar hebat. Matanya mengarah ke arah lain agar kedua orang di depannya itu tak mampu menangkap raut kehancuran dari netranya. Sama dengan kedua wanita itu, laki-laki bernama Yuda itu pun memandang Arini dengan mata terbelalak. Begitu syoknya dia mendapati wanita yang pernah hidup berumah tangga dengannya selama lima tahun kini berjarak kurang dari dua meter. Tangannya yang semula merengkuh hangat pinggang Diandra terlepas begitu saja. Sekian lama berpisah baru kali ini dia bertemu kembali dengan wanita itu. Rasa bersalah itu menyeruak mendapati Arini yang makin terlihat kurus. Entah dimana otaknya bersarang hingga membuat dirinya melupakan tanggung jawab yang semestinya berada dalam pundaknya. “Mas,” panggil Diandra lirih namun penuh dengan tekanan. Siapapun akan sepakat Diandra baru saja mengurai kecemburuan di depan pasangan yang pernah berjanji sehidup semati itu. “Silakan,” ucap Arini sambil mengangguk tanpa ekspresi. Dia berjalan menjauhi kedua pasangan itu. Rasanya hancur. Kedua anaknya tak pernah sekalipun merayakan pesta ulang tahun dengan hiasan kartun kesukaan mereka selama ini. Bahkan sedihnya, mereka berdua yang hidup sangat sederhana dengan Arini sebagai orangtua tunggal seringkali menelan kekecewaan karena teman-teman seusia mereka enggan mengundang Rafa dan Naya ke pesta anak-anak itu. Alasannya sungguh sederhana. Mereka yang tak mampu memberikan kado seolah sangat pantas untuk tersisih dan tak layak menyuapkan sepotong kue ulang tahun ke mulut mereka. Mereka yang hanya menumpang makan enak tentu masuk ke daftar hitam anak-anak yang tak perlu diundang ke pesta ulang tahun. Lalu kini Yuda justru sibuk dengan pesta ulang tahun anak dari satu-satunya kakak perempuan yang dimiliki oleh lelaki itu? Apakah otaknya benar-benar tumpul untuk mengingat kedua anaknya masih ada hingga saat ini? Arini memekik dalam hati. Sebegitu percayakah Tuhan pada dirinya, hingga beban seperti ini ditimpakan dengan begitu dahsyat ke pundak wanita itu? Baru saja akan berbalik dia merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang di belakangnya. Refleks Arini menoleh. Amarahnya perlahan naik kembali. Wanita bergaun selutut di depannya menyilangkan kedua tangan di dadanya. Mata itu mengintimidasi Arini begitu kuat. "Kami akan menikah," ucap lantang Diandra pada Arini. Bibir Arini beku. Dia tak langsung bisa menanggapi kalimat singkat wanita yang dulu pernah satu almamater dengannya. "Berhenti berharap banyak atas pertemuan barusan dengan Mas Yuda." Arini mendecih sinis. Kalimat Diandra terdengar begitu sumbang di telinganya. "Apakah penting memberitahu diriku?" Arini membalas Diandra dengan tatapan serupa. Betapapun dia tersakiti dengan apa yang didengarnya tadi, bukan saatnya lemah menangisi takdir yang sudah digariskan untuknya. Apalagi dia tahu sekali Diandra akan makin menekannya. "Aku hanya ingin kau paham posisimu saat ini. Di mata Mas Yuda, kau hanya orang dari masa lalunya yang tak berarti apa-apa lagi baginya. Kau dan anak-anakmu, tak lebih dari sampah berserakan yang lambat laun akan terlupakan oleh laki-laki itu." Diandra makin menegakkan kepalanya. Bahkan tarikan napas wanita itu makin menegaskan apa yang baru saja dia sampaikan. Sebuah kepuasan. Puas atas nasib Arini, wanita yang bertahun-tahun lalu berhasil memiliki hati laki-laki yang diincarnya sudah lama. Puas usahanya memisahkan mereka berhasil. Puas sekali saat Arini makin menderita tanpa nafkah apapun dari mantan suaminya. Tidak sia-sia dia memutar otak agar tujuannya mendapatkan Yuda kini hampir berada dalam genggaman. Arini menarik napas kuat-kuat. Perih yang dirasakan Arini segera dia lupakan. Menghadapi Diandra tak cukup dengan kepasrahan. Dia harus menegakkan kepala hingga tak seorang pun mampu melihat bagaimana luka hatinya itu menganga. "Benarkah? Mengapa harus kau yang mengatakannya? Aku sangsi sekali jika bukan Mas Yuda sendiri yang mengatakan hal itu padaku!" "Kau?!" Diandra mengacungkan telunjuknya di depan Arini. "Tenang saja. Jangan panik. Kalian berdua sama-sama cocok. Laki-laki pecundang seperti yang kau gilai itu sangat cocok dengan wanita murahan sepertimu. Bersenang-senanglah. Mudah-mudahan karma tak terlalu cepat datang dan memainkan peranannya." Arini berbalik. Dia sadar sekali berdebat dengan Diandra di tempatnya bekerja akan memberinya masalah baru. Secepatnya dia melangkahkan kaki sebelum Diandra yang tempramental itu membuat kekacauan di tempat ini. Secepat kilat Arini menuju ke arah toilet karyawan swalayan tempatnya bekerja. Setelah berusaha sekuat tenaga untuk kuat, nyatanya dada Arini yang sesak itu akhirnya tak mampu menopang beban berat yang dirasakan olehnya. Dia memukuli dadanya kuat-kuat berharap sakit yang bersarang di sana segera lenyap. Digigitnya bibir merah jambu miliknya agar tangisan itu tak bersuara. Sakit sekali. Hingga sebuah ketukan terdengar begitu kuat. Arini buru-buru mengusap air matanya dan memastikan tak ada jejak apapun di pipi miliknya. "Rin, kamu di dalam? Cepatlah keluar!" Suara Wulandari teman kerjanya terdengar panik. Gegas Arini keluar guna memastikan apa yang terjadi dengan wanita itu. "Umi memintamu cepat pulang. Tadi ada telepon ke bagian administrasi, anakmu dilarikan ke rumah sakit!" ***“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
KECEMASAN ARINI Arini meremas tangan suaminya. Laki-laki itu tersenyum. Setelah perdebatan panjang akhirnya Arini bersedia ke klinik yang sudah direkomendasikan dokter Wisnu saat Yovan menanyakan dokter kandungan yang bagus untuk istrinya. Sebenarnya bisa saja dia membawa Arini ke klinik yang dulu selalu dia datangi bersama Raline saat istri pertamanya itu hamil.Tetapi dia mengurungkan hal tersebut demi menjaga perasaan istrinya. Pasti Arini akan merasa tak nyaman karena menganggap Yovan sengaja membawa dirinya ke tempat dimana kenangannya bersama Raline sebagian besar terekam di sana. “Mas?”“Ya?” Senyum di bibir Yovan belum juga pudar. Bayangan tentang detik-detik pertama istrinya memberikan benda yang dia angsurkan sebelumnya membuat laki-laki itu tak bisa kehilangan kebahagiannya. Arini menunjukkan trip dua pada benda yang dibeli suaminya melalui layanan aplikasi belanja online itu. Yovan yang sebelumnya berdiri menyederkan tubuhnya di tembok depan itu hampir melompat kegiranga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น