IRI “Mas, sudah kubilang percuma kita kemari. Memang Tuhan itu belum ngasih karena dia lihat Mas Yuda belum mampu menafkahi anak kita nantinya, jadi dia lebih milih buat nunda. Kok kamu jadi maksa-maksa gini? Buang-buang waktu tahu nggak?”Diandra mendekap kedua tangannya. Baru saja dia dan Yuda sampai di sebuah klinik kandungan yang direkomendasikan salah seorang temannya. Klinik yang saat Diandra melihat list harga konsultasi dan tindakan yang dilakukan cukup membuat matanya melotot tak percaya. Rasanya sayang sekali uang sebesar itu digunakan untuk hal tidak penting seperti ini.“Mas. Mending uangnya buat liburan atau memanjakan diri di spa seharian. Paling tidak untuk senang-senang dari pada ngendon di rumah seharian. Bukan nggak mungkin gara-gara stress di rumah yang membuatku susah hamil begini!”Yuda hampir membentak istrinya jika tak menyadari posisi mereka saat ini. Rasanya telinganya gatal mendengar istrinya berbicara kasar seolah ibunyalah penyebab dia belum juga diberi ke
“Jadi, nanti perut Mama akan membesar ya, Ma? Terus Adik bayinya keluar dari mana?”Arini menarik napas panjang. Rafa memang banyak bertanya setelah mengetahui kalau di perutnya ada bayi. Anak lelaki itu sangat senang sekaligus juga penasaran. Berbagai pertanyaan dia lontarkan. Pertanyaan yang kadang membuat Arini harus memutar otak dengan keras agar bisa menjawab sesuai dengan umur dan pemahaman anaknya.“Manusia akan melalui tiga alam selama hidup. Pertama, alam dunia, tempat kita saat ini. Kedua, alam barzah, tempat kita menanti hari kiamat tiba. Ketiga, alam akhirat, tempat kita mempertanggungjawabkan semua perbuatan.” Arini menjawab setelah cukup lama terdiam. “Sudah dapat pelajaran di sekolah ‘kan tentang alam-alam ini?” Arini mengelus kepala Rafa pelan.Rafa mengangguk pelan. Anak itu ingat kata guru agamanya, kalau anak nakal, nanti dia akan mendapat balasan di akhirat. Kalau mencuri tangannya akan dipotong berkali-kali. Sebaliknya, kalau dia menjadi anak rajin dan senang memb
“Diminum, Bu.” Arini meletakkan es jeruk dan setoples kue kering. Wanita itu langsung duduk di sofa yang kosong. Dia tersenyum tipis saat melihat sejak tadi tangan Ratna terus-terusan memegang tanga Rafa.“Terima kasih.” Ratna mengambil gelas dan meminumnya beberapa tegukan. Rasa asam, manis dan segar memenuhi mulut Ratna. Minuman itu cocok sekali dinikmati saat hari cerah seperti siang ini. “Sudah berapa bulan?” Ratna memperhatikan perut Arini yang mulai menyembul.“Masuk lima.” Arini refleks mengelus perut. “Apa yang mau dibicarakan, Bu? Tidak biasanya Ibu pergi sendirian. Jarak rumah kesini lumayan jauh.” Arini memperhatikan wajah Ratna yang sejak tadi tampak mendung. Mata wanita tua itu dipenuhi kabut seakan menyimpan kesedihan yang tak berujung.“Ibu mau minta maaf ….” Ucapan Ratna terpotong karena tangis. Mantan mertua Arini mendadak terisak kencang. Dia tidak bisa mengendalikan air mata saat mengingat perlakuan buruknya pada Arini dulu. “Ibu mau minta maaf atas semua kesalahan
Tentang Bahagia Arini memperhatikan pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya berwarna hijau sage dengan kain batik yang membelit tubuh bagian bawahnya tak membuat dirinya berpuas diri. Matanya berkaca-kaca saat berkali-kali memutar dirinya di depan cermin. Kehamilannya di usia sembilan bulan ini membuat berat tubuhnya melonjak drastis. Pipinya membulat sempurna, belum lagi dagu yang seolah berjumlah dua hingga membuat dia kesusahan mengenakan kerudung untuk menutupi mahkotanya.Arini menjatuhkan dirinya di atas tepian kasur. Acara wisuda yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi tiba-tiba membuat dirinya meragu. Penampilannya yang dia nilai akan menjadi bahan tertawaan banyak orang membuat Arini hampir menyerah untuk mempersiapkan diri. Sebuah ketukan ringan dari arah pintu membuat kepalanya menoleh.“Loh, belum siap juga? Kita harus datang di gedung satu jam lagi. Kenapa toga pun belum kamu pakai?” Suara suaminya membuat Arini makin tak bisa menahan laju air matanya. Make up natural
“Mama, senyum! Lihat kemari!” ucap Rafa sambil melambaikan tangan ke arah ibunya. Sebuah buket raksasa berisi foto-foto ibunya dihadiahkan anak laki-laki itu pada Arini. Wanita itu pun memeluk buketnya meski sedikit kepayahan. Berbagai karangan bunga berisi ucapan selamat untuk para wisudawan menghiasi setiap sudut halaman auditorium yang digunakan untuk acara wisuda kali ini.Senyum Arini mengembang sempurna. Suaminya berhasil menegakkan kepala wanita yang sempat kehilangan seluruh kepercayaan dirinya. Yovan pun terlihat amat puas dengan hasil kerjanya membujuk wanita itu. Senyuman menawan laki-laki itu membuat Arini merasa begitu dicintai laki-laki pemilik hidung mancung itu.“Papa ambil posisi di sebelah Mama. Jangan lupa Mama dipeluk!”Arahan dari Rafa membuat Arini dan Yovan tertawa. Mereka takjub sekali dengan perubahan pada diri Rafa. Apalagi setelah dia diberitahu bahwa adiknya akan lahir dalam hitungan hari. Dia makin menunjukkan sikap protektifnya pada sang ibu.“Sekarang Pa
BAB 1 Pertemuan Dengan Mantan Suami “Mbak, area perlengkapan pesta ulang tahun sebelah mana?” Sebuah suara yang berasal dari arah belakang Arini terdengar. Wanita yang sedang masih memegang sapu itu menoleh. Bibirnya yang sudah terlatih mengulas senyum ramah pada pelanggan tiba-tiba tertarik dengan cepat. Tak ada lagi lengkungan indah di bibir wanita itu. Tangan yang semula ingin menunjuk ke area yang ditanyakan pun terasa begitu kaku dan sulit digerakkan. Wajah Arini menegang. Tak hanya wajahnya saja, wanita di depannya yang memakai dres warna hijau botol itu pun menunjukkan ekspresi yang sama. Arini sudah mendengar kabar itu. Kabar yang membuat jiwa dan tubuhnya hancur berserak tak berbentuk. Kabar yang sesungguhnya seringkali ingin sekali disangkalnya. “Gimana? Udah ketemu, Di?” Suara laki-laki yang terlihat berjalan dari lorong sebelahnya pun terdengar. Laki-laki itu tanpa ragu memeluk pinggang wanita di depannya. “Mbak Anita bilang Giska pengin pernak-pernik kuda poni di
BAB 2Hutang“Ini.” Arini yang sedang merapikan barisan detergen tersentak. Dia menatap bingung pada Wulandari— temannya yang menyerahkan uang dengan jumlah yang lumayan padanya.“Uang kembalian belanjaan Yuda. Kemarin dia belanja lagi kemari dan tidak kuserahkan uang kembaliannya. Aku tahu kamu butuh uang dan juga ada hakmu dalam setiap rupiah dari harta lelaki sialan itu.” Wulandari menjelaskan dengan cepat. Dia mengenal Yuda dengan baik. Arini telah bekerja di sini bahkan sejak sebelum lelaki itu meninggalkan sahabatnya.“Kalau aku jadi kamu, sudah kuteriaki pasangan gila itu biar malu sekalian! Apalagi yang perempuan! Bisa-bisanya maling kok petantang-petenteng seperti itu. Geram aku!" Wulandari menghentakkan kakinya kesal. dia ikut berjongkok dan membantu Arini merapikan barang di depannya. “Terima kasih.” Arini menjawab dengan suara bergetar. Satu rupiah sangat berarti baginya saat ini. Memikirkan uang di dompet yang hanya tinggal selembar sedangkan Naya masih membutuhkan ban
BAB 3Mantan MertuaArini menatap rumah dua lantai di hadapannya dengan hati tak menentu. Hujan gerimis yang sejak jam dua siang tadi mengguyur kota setia menemani langkah wanita itu. Dia memutuskan datang kemari setelah jam kerjanya di toko selesai.Arini menghela napas panjang. Setelah lima menit lagi berlalu, dia memutuskan menyebrang jalan dan mendatangi rumah itu. Waktu sudah menunjukkan hampir jam setengah enam, dia tidak dapat menunggu lagi. Rafa dan Naya pasti sudah menunggunya."Assalamualaikum." Ketukan ketiga, pintu terbuka."Kamu?!" Tanpa menjawab salam, wanita berusia pertengahan lima puluh tahun itu langsung menatap tajam pada Arini.Arini tersenyum sopan pada Ratna, mantan mertuanya. Dia yakin sekali, wanita itu tidak menyangka dia yang ada di depan pintu setelah dua tahun tidak bertemu."Mas Yuda ada, Bu?""Untuk apa kamu mencari Yuda?" Ratna menatap Arini tidak suka."Ada yang harus kami bicarakan.""Bicara saja dengan saya."Arini mengepalkan tangan. Sejak dulu, Ratn