Share

Bab 3. Curiga

POV Sherly

Mas, bayi ini kembalikan ke ibunya saja,” usulku ketika sudah berada di kamar dengan menggendong bayi dan duduk di samping Mas Pram.

“Dek, emang kamu gak ingin ngerasain jadi ibu? Ini kesempatan kamu untuk menjadi ibu tanpa harus mengandung,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku dan masih sibuk bermain dengan ponselnya.

“Tapi, Mas. Aku sudah menyanggupi menerima barang endorse dan juga sudah terlanjur kerjasama sama photograper dan sudah bayar uang muka.“

“Lagian, kenapa kamu gak ijin dulu sama aku kalau mau melakukan hal begituan,” katanya masih tak menghiraukanku.

“Mas, tolonglah, bukannya kemarin mas gak ngelarang saat aku bikin konten dan mengaploudnya? Kenapa saat sudah seperti ini, Mas menyalahkanku?“ Aku menghela napas, rasanya begitu sesak di dalam sini. Perjuanganku untuk mencapai centang biru itu tidaklah mudah. Aku yang membuat konten tutorial make up-nya juga membutuhkan banyak modal. Ketika fondution, lipstik, dan alat lainnya habis itu juga harus membeli itupun tidak gratis.

“Ya sudahlah, emang gak bisa, Kamu sambi momong?“

“Mana bisa, Mas. Anaknya ditaruh mana saat aku bikin konten? Lagian aku bayar photografer itu tidak murah, Mas. Hitungannya per menit. Tidak mungkin saat bikin konten aku sambi momong.“

“Ya sudah, Endorsenya dibatalin saja!“ Dengan entengnya lelaki yang bergelar suami itu menyuruhku untuk membatalkan. 

“Mas!“ Aku melotot memandang Mas Pram yang masih asyik dengan ponselnya.

Aku bangun dan merebut ponsel yang berada di genggamannya. Sudah tidak tahan lagi menahan emosi.

Kutatap tajam Mas Pram yang hendak merebut ponselnya kembali. 

“Mas, kalau istri sedang berbicara itu dengarkan!“

“Sudah! Lagian juga sudah aku jawab! Kurang apa! Siniin ponselnya!“

“Tidak! Mas harus kembalikan bayi ini ke ibunya! Aku tidak mau merawat!“ ucapku sambil menyodorkan bayi itu tepat di depan Mas Pram.

“Sombong sekali kamu, kamu itu hanya isteri yang hanya jadi benalu, harusnya kamu nurut sama suami!“ 

“Benalu katamu? Aku di sini sudah layaknya babu, Mas. Di sini aku yang masak, mencuci dan membersihkan semua yang ada di rumah ini termasuk milik orang tua mu!

 Aku selalu bersabar saat orang tuamu selalu mengejek dan mengatakan mandul dan sekarang kamu menyebutku benalu, Mas?“

“Ya emang seperti itu, bukankah wajar seorang Istri itu melakukan tugas ibu rumah tangga! Kenapa kamu mengeluh? Bukankah benar kamu hanya benalu?“

“Benalu menurutmu itu apa, Mas!“

Aku mencoba menahan air mataku yang sudah mengembun hendak keluar. 

“Orang yang hanya merepotkan saja!“ 

“Merepotkan? Aku sama babu itu malah lebih baik babu. Babu dapat bayaran! Lalu aku? Kapan, Mas ngasih uang lebih untuk perawatan aku? Aku bikin konten saja dari tabunganku, Mas. Gak ada sepeserpun uangmu,” desisku tidak terima.

Aku membanting ponsel mas Pram ke ranjang. Emosiku sudah menguap saja. Kutatap bayi yang aku gendong dengan napas memburu, kalau bukan karena hati nurani. Sudah kulempar saja bayi ini, semenjak kedatangannya, Mas Pram mulai berbicara kasar dan tidak berbahasa lembut.

Mas Pram dengan gesit mengambil ponselnya. “Ponsel ini mahal! Kamu gak mampu untuk menggantinya kalau rusak!“ hardiknya sambil melotot ke arahku.

Luruhlah sudah pertahananku, air mataku sudah mulai tumpah berdesakan.

Badanku bergetar, dengan pelan aku menaruh bayinya ke ranjang. Ia menangis begitu keras.

Aku hanya menatapnya tanpa ingin menyentuhnya kembali. Demi apa aku harus kerepotan mengasuh bayi itu.

Bahkan suamiku kini mulai berani membentakku.

Aku yang tidak biasa dibentak pun tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutan dari dalam. Takut tiba-tiba ditampar. 

Kulihat Mas Pram dengan lembut meraih dan menggendong bayinya. Ia menimang-nimang penuh kasih sayang layaknya seperti seorang ayah dengan anaknya.

Ia membawa keluar kamar. Mungkin saja untuk meredakan tangis sang bayi.

Sekarang tinggal aku sendiri di kamar. Aku terisak mengingat ucapan kasar dari Mas Pram, Mas Pram sudah seperti orang lain tak selembut seperti sebelumnya.

Aku bertahan dalam rumah tangga ini karena kelembutan dan kasih sayang dari Mas Pram. Selebihnya hanya menyakitkan hati yang tak perlu diingat. 

Tapi kini semua sudah berubah, sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Semua sudah jelas di depan mata. Kasih sayang Mas Pram untukku sudah sirna. Mertuaku juga tak menyayangiku selayaknya aku menyayangi mereka.

Kulihat Mas Pram masuk kembali ke kamar beserta bayi dalam gendongan. Sudah tidak terdengar lagi suara tangisan. Aku mencoba mengacuhkan kedatangannya dan berpura-pura memainkan ponselku.

“Sayang! Maafin Mas sudah berucap kasar tadi, Mas kilaf, mungkin Mas kecapekan gara-gara perjalanan jauh,” ucapnya dengan memegang bahuku dari belakang.

Aku bergeming, ada binar bahagia dalam lubuk hatiku, ternyata semua ini hanya pikiran buruk semata. Mungkin benar saja karena kecapekan ia berucap seperti tadi.

Semoga saja!

Aku menoleh perlahan, belum berani menatap ke arah Mas Pram. Kutundukkan wajahku. Aku akui juga sudah berucap dengan nada tinggi tadi.

“Yang, tolong rawat bayi ini, aku ingin merasakan jadi Bapak. Kubawa bayi ini agar keluarga kita lengkap, Sayang,” ucapnya lembut kembali.

“Mas, aku hanya mengeluhkan dengan keadaanku, Mas. Aku sudah terlanjur terima tawaran Endorse, Mas. Itu gak mungkin dibatalkan apalagi sudah proses kirim ke sini,” jelasku dengan perlahan.

“Sayang, coba kamu pikirkan. Ibadah lho mengasuh anak itu, lagian masalah duit kan Mas masih bekerja, kurasa cukup untuk kehidupan kita.“

“Iya, Mas. Tapi Ibu yang selalu mengeluh! Duit kurang terus, lagian di komplek ini banyak sekali undangan dan sumbangan,kita perlu tabungan,Mas.“

“Hm, terus gimana dong?“ tanyanya dengan mengedikkan bahu.

“Gimana kalau bayi ini kita sewa baby sitter,Mas?“ usulku.

“Mana bisa begitu, nanti yang buat bayarnya pake uang apa. Kita begini saja belum punya tabungan,” keluhnya.

“Lagian, sudah tau hidup pas-pasan. Pake gaya segala mau rawat bayi,” protesku. Jujur hati ini masih terasa berat menerima bayi itu. 

“Kita bantu janda kan nanti dapat pahala, Yang. Di dunia ini gak ada yang sia-sia. Semua pasti ada timbal baliknya, anggap aja kita sedang beramal.“

“Loh, asuh bayi itu gak sembarang asal beramal, Mas. Di akhirat nanti semua ada pertanggungjawaban. Mas sanggup? Belum biaya juga tenaga. Itu harus dipikir berulangkali lho, Mas,” jelasku dengan sedikit penekanan.

“Iya, Dek. Mas tahu. Jangan terlalu banyak dipikir ya, jalani saja, anggap aja ini adalah anak sendiri. Nanti bisa iklas juga mudah ngejalaninnya,” jawabnya dengan mengelus punggungku.

Aku menatap lekat ke arah Mas Pram. Kurasa semua ini terasa ganjil dan tiba-tiba, kenapa aku tidak diajak berunding sebelum membawa bayi ini. Pasti dibalik semua ini ada rahasia terselubung. 

Aku tahu, Apalagi watak Ibu yang tak mudah beramal begitu saja.  

Aku harus cari tahu!

Bila nanti kamu ketahuan melakukan kecurangan, awas saja kamu,Mas. Aku akan hancurkan semua milikmu.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status