Share

Bab 3. Curiga

Author: Turiyah
last update Last Updated: 2022-08-20 00:47:59

POV Sherly

Mas, bayi ini kembalikan ke ibunya saja,” usulku ketika sudah berada di kamar dengan menggendong bayi dan duduk di samping Mas Pram.

“Dek, emang kamu gak ingin ngerasain jadi ibu? Ini kesempatan kamu untuk menjadi ibu tanpa harus mengandung,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku dan masih sibuk bermain dengan ponselnya.

“Tapi, Mas. Aku sudah menyanggupi menerima barang endorse dan juga sudah terlanjur kerjasama sama photograper dan sudah bayar uang muka.“

“Lagian, kenapa kamu gak ijin dulu sama aku kalau mau melakukan hal begituan,” katanya masih tak menghiraukanku.

“Mas, tolonglah, bukannya kemarin mas gak ngelarang saat aku bikin konten dan mengaploudnya? Kenapa saat sudah seperti ini, Mas menyalahkanku?“ Aku menghela napas, rasanya begitu sesak di dalam sini. Perjuanganku untuk mencapai centang biru itu tidaklah mudah. Aku yang membuat konten tutorial make up-nya juga membutuhkan banyak modal. Ketika fondution, lipstik, dan alat lainnya habis itu juga harus membeli itupun tidak gratis.

“Ya sudahlah, emang gak bisa, Kamu sambi momong?“

“Mana bisa, Mas. Anaknya ditaruh mana saat aku bikin konten? Lagian aku bayar photografer itu tidak murah, Mas. Hitungannya per menit. Tidak mungkin saat bikin konten aku sambi momong.“

“Ya sudah, Endorsenya dibatalin saja!“ Dengan entengnya lelaki yang bergelar suami itu menyuruhku untuk membatalkan. 

“Mas!“ Aku melotot memandang Mas Pram yang masih asyik dengan ponselnya.

Aku bangun dan merebut ponsel yang berada di genggamannya. Sudah tidak tahan lagi menahan emosi.

Kutatap tajam Mas Pram yang hendak merebut ponselnya kembali. 

“Mas, kalau istri sedang berbicara itu dengarkan!“

“Sudah! Lagian juga sudah aku jawab! Kurang apa! Siniin ponselnya!“

“Tidak! Mas harus kembalikan bayi ini ke ibunya! Aku tidak mau merawat!“ ucapku sambil menyodorkan bayi itu tepat di depan Mas Pram.

“Sombong sekali kamu, kamu itu hanya isteri yang hanya jadi benalu, harusnya kamu nurut sama suami!“ 

“Benalu katamu? Aku di sini sudah layaknya babu, Mas. Di sini aku yang masak, mencuci dan membersihkan semua yang ada di rumah ini termasuk milik orang tua mu!

 Aku selalu bersabar saat orang tuamu selalu mengejek dan mengatakan mandul dan sekarang kamu menyebutku benalu, Mas?“

“Ya emang seperti itu, bukankah wajar seorang Istri itu melakukan tugas ibu rumah tangga! Kenapa kamu mengeluh? Bukankah benar kamu hanya benalu?“

“Benalu menurutmu itu apa, Mas!“

Aku mencoba menahan air mataku yang sudah mengembun hendak keluar. 

“Orang yang hanya merepotkan saja!“ 

“Merepotkan? Aku sama babu itu malah lebih baik babu. Babu dapat bayaran! Lalu aku? Kapan, Mas ngasih uang lebih untuk perawatan aku? Aku bikin konten saja dari tabunganku, Mas. Gak ada sepeserpun uangmu,” desisku tidak terima.

Aku membanting ponsel mas Pram ke ranjang. Emosiku sudah menguap saja. Kutatap bayi yang aku gendong dengan napas memburu, kalau bukan karena hati nurani. Sudah kulempar saja bayi ini, semenjak kedatangannya, Mas Pram mulai berbicara kasar dan tidak berbahasa lembut.

Mas Pram dengan gesit mengambil ponselnya. “Ponsel ini mahal! Kamu gak mampu untuk menggantinya kalau rusak!“ hardiknya sambil melotot ke arahku.

Luruhlah sudah pertahananku, air mataku sudah mulai tumpah berdesakan.

Badanku bergetar, dengan pelan aku menaruh bayinya ke ranjang. Ia menangis begitu keras.

Aku hanya menatapnya tanpa ingin menyentuhnya kembali. Demi apa aku harus kerepotan mengasuh bayi itu.

Bahkan suamiku kini mulai berani membentakku.

Aku yang tidak biasa dibentak pun tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutan dari dalam. Takut tiba-tiba ditampar. 

Kulihat Mas Pram dengan lembut meraih dan menggendong bayinya. Ia menimang-nimang penuh kasih sayang layaknya seperti seorang ayah dengan anaknya.

Ia membawa keluar kamar. Mungkin saja untuk meredakan tangis sang bayi.

Sekarang tinggal aku sendiri di kamar. Aku terisak mengingat ucapan kasar dari Mas Pram, Mas Pram sudah seperti orang lain tak selembut seperti sebelumnya.

Aku bertahan dalam rumah tangga ini karena kelembutan dan kasih sayang dari Mas Pram. Selebihnya hanya menyakitkan hati yang tak perlu diingat. 

Tapi kini semua sudah berubah, sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan. Semua sudah jelas di depan mata. Kasih sayang Mas Pram untukku sudah sirna. Mertuaku juga tak menyayangiku selayaknya aku menyayangi mereka.

Kulihat Mas Pram masuk kembali ke kamar beserta bayi dalam gendongan. Sudah tidak terdengar lagi suara tangisan. Aku mencoba mengacuhkan kedatangannya dan berpura-pura memainkan ponselku.

“Sayang! Maafin Mas sudah berucap kasar tadi, Mas kilaf, mungkin Mas kecapekan gara-gara perjalanan jauh,” ucapnya dengan memegang bahuku dari belakang.

Aku bergeming, ada binar bahagia dalam lubuk hatiku, ternyata semua ini hanya pikiran buruk semata. Mungkin benar saja karena kecapekan ia berucap seperti tadi.

Semoga saja!

Aku menoleh perlahan, belum berani menatap ke arah Mas Pram. Kutundukkan wajahku. Aku akui juga sudah berucap dengan nada tinggi tadi.

“Yang, tolong rawat bayi ini, aku ingin merasakan jadi Bapak. Kubawa bayi ini agar keluarga kita lengkap, Sayang,” ucapnya lembut kembali.

“Mas, aku hanya mengeluhkan dengan keadaanku, Mas. Aku sudah terlanjur terima tawaran Endorse, Mas. Itu gak mungkin dibatalkan apalagi sudah proses kirim ke sini,” jelasku dengan perlahan.

“Sayang, coba kamu pikirkan. Ibadah lho mengasuh anak itu, lagian masalah duit kan Mas masih bekerja, kurasa cukup untuk kehidupan kita.“

“Iya, Mas. Tapi Ibu yang selalu mengeluh! Duit kurang terus, lagian di komplek ini banyak sekali undangan dan sumbangan,kita perlu tabungan,Mas.“

“Hm, terus gimana dong?“ tanyanya dengan mengedikkan bahu.

“Gimana kalau bayi ini kita sewa baby sitter,Mas?“ usulku.

“Mana bisa begitu, nanti yang buat bayarnya pake uang apa. Kita begini saja belum punya tabungan,” keluhnya.

“Lagian, sudah tau hidup pas-pasan. Pake gaya segala mau rawat bayi,” protesku. Jujur hati ini masih terasa berat menerima bayi itu. 

“Kita bantu janda kan nanti dapat pahala, Yang. Di dunia ini gak ada yang sia-sia. Semua pasti ada timbal baliknya, anggap aja kita sedang beramal.“

“Loh, asuh bayi itu gak sembarang asal beramal, Mas. Di akhirat nanti semua ada pertanggungjawaban. Mas sanggup? Belum biaya juga tenaga. Itu harus dipikir berulangkali lho, Mas,” jelasku dengan sedikit penekanan.

“Iya, Dek. Mas tahu. Jangan terlalu banyak dipikir ya, jalani saja, anggap aja ini adalah anak sendiri. Nanti bisa iklas juga mudah ngejalaninnya,” jawabnya dengan mengelus punggungku.

Aku menatap lekat ke arah Mas Pram. Kurasa semua ini terasa ganjil dan tiba-tiba, kenapa aku tidak diajak berunding sebelum membawa bayi ini. Pasti dibalik semua ini ada rahasia terselubung. 

Aku tahu, Apalagi watak Ibu yang tak mudah beramal begitu saja.  

Aku harus cari tahu!

Bila nanti kamu ketahuan melakukan kecurangan, awas saja kamu,Mas. Aku akan hancurkan semua milikmu.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
othornya kok bisa bikin tokoh ceritanya GOBLOOOOOOOOOOK beri kesempatan Sherly bisa kepikiran tes DNA
goodnovel comment avatar
mayank shinee
duh bodoh bgt sih,katanya dapat centang biru tidak mudah tapi mau" nya jadi Babu plus" klo otak pintar mah tidak sudi di maki''
goodnovel comment avatar
Leynar VaryssaYaryanan
jangan dong mbak cerain Saj itu jalan keluar yang bagus dan pas untuk menenangkan diri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 194. Mengenaskan ( Tamat)

    “Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 193. Bagaimana kabarmu, Bu

    Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 192. Ditolak

    Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 191. Menjemput Amira

    POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 190. Bu Leni pingsan

    “Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku

  • Kubalas Kekejaman Mertua Dan Suami    Bab 189. Ditinggal

    “Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status