Share

Bab 4. Tamu misterius

POV Sherly

Aku terbangun di tengah malam saat mendengar tangisan yang menyentakkan tidurku.

Amira menangis semakin menjadi. Membuat seisi rumah ikut bangun. Aku bergegas keluar kamar hendak mencari susu dan temannya.

“Heh, anak nangis itu dibuatkan susu!“ sentak Ibu mertuaku mengagetkan saat aku kebingungan mencari susu di dapur.

Belum sempat menjawab, Ibu mertua melewatiku dengan sedikit menyentakkan kakinya. Ia mengambil susu dan botol yang masih berada di dalam tas besar. 

“Pantas sampe sekarang, kamu belum dikasih anak. Anak nangis malah bengong! Dasar tidak becus!“ desisnya dengan sesekali menatapku dengan sinis. 

Kuhela napas ini, pedas sekali mulut Ibu yang melahirkan suamiku itu. Aku tidak bengong, daritadi memutari dapur dan ruang tamu untuk mencari susu. Karena tak ada seorangpun yang memberi tahuku dimana letak susu sebelumnya.

Aku mendekat untuk melihat cara Ibu membuat susu. Tak kuhiraukan ocehannya. Aku hanya bisa cara membuat susu tapi tidak dengan takarannya.

“Melek! Lihat ini!“ Masih dengan suara kasar ia menuangkan susu dalam botol, baru air panas selanjutnya. 

Aku mengernyit, kenapa beda sekali cara membuat dengan Tanteku dulu, saat membuat, air panas yang sudah dicampur dengan air dingin setelahnya baru susu. Kenapa ini terbalik?

“Bu, bukannya air dulu ya sebelum susu?“ tanyaku memastikan dengan nada yang sangat pelan.

Ibu mertua langsung menoleh ke arahku dengan mata melotot.

“Kamu mau mengajariku? Hah! Lihat itu suamimu! Dia itu anakku, aku pasti paham apalagi hanya membuat susu!“ sentaknya tidak terima.

Aku tersenyum kecut menanggapi, kubiarkan saja Ibu melanjutkan membuat susu dengan caranya, mungkin besok aku akan tanya Tante cara yang benar gimana,

Apalagi suara tangisan Amira sampai saat ini masih terdengar semakin melengking.

“Nih! Kasih ke Amira! Awas saja kalau masih menangis!“ suruh Ibu mertua menyodorkan sebotol susu. Lalu ia meninggalkanku dan kembali ke kamarnya.

Aku menghela napas, lalu berjalan cepat menghampiri Amira. Kusodorkan botol susu ke bibir mungilnya, lucu sekali saat bibir itu menyedot botol dengan begitu cepat.

Kupandangi wajahnya begitu lekat masih dengan tangan yang memegangi botol. Aku dibuat tersenyum sendiri melihatnya. Kurasa aku mulai menyayangi Amira.

Kulirik Mas Pram yang masih pulas tidurnya bahkan mendengkur, kuakui wajah dan tubuhnya begitu tampan dan sangat menawan. Alisnya yang hampir menyatu dengan bulu lebatnya semakin terlihat menggoda. Aku terlalu mengaguminya dan aku bangga memiliki, tidak peduli dia tidak bisa memuaskanku di ranjang. Toh, selama aku diam orang lain tak akan tahu.

Namun saat melihat Amira, ada sedikit rasa hati yang iri andaikan dia keluar dari rahimku. Mungkin rasa bahagia akan berlipat-lipat daripada ini. Tapi itu tak mungkin lagi. Mas Pram sudah divonis mandul.

Aku menghela napas panjang. Tidak terasa hari sudah hampir pagi. Rasa kantuk mulai menghampiri. Kurebahkan badan di samping Amira. 

***

“Dek! Bangun, udah siang ini!“ sayup-sayup aku mendengar suara Mas Pram bersamaan ia menggoyang badanku.

Aku menggeliat, dan membuka perlahan kelopak mataku.

Aku membalikkan badan menghadap Mas Pram.

Saat mata ini menatap celana kerja yang sudah terpasang di kaki Mas Pram. Aku langsung membeliak dan bergegas bangun.

Ah kesiangan!

Aku menoleh ke arah Amira sebelum keluar kamar. Masih pulas dengan badan telentang. Aku langsung keluar kamar dan benar saja. Ibu mertuaku sudah duduk di kursi tamu dengan tangan bersedekap.

Ibu mertua melotot tajam ke arahku, ia beranjak dan sekarang tepat berdiri di depanku.

“Lihat jam berapa ini,” ucap Ibu mertua penuh penekanan sambil menunjuk jam tangan yang menempel di lengannya.

Aku menghiraukan dan berjalan ke dapur.

“Bapak sama Pram makan apa kalau kamu bangun jam segini, Hah!“ cecarnya mengikutiku dari belakang.

Aku berhenti dan menoleh ke arah Ibu mertua.

“Ibulah yang masak!“

“Kamu mulai berani merintahku? Ingat! Kamu di sini itu numpang!“

“Maaf, Bu. Tapi baru kali ini aku kesiangan, itupun karena tadi malam sempat begadang,” lirihku.

Lebih baik aku mengalah, mau bagaimana pun aku tetap kalah kalau bertengkar sama beliau. 

“Awas saja kalau jadi kebiasaan! Sudah mandul, pemalas pula!“

Aku membeliak, bukankah Mas Pram sudah memberikan surat dari dokter hasil periksa waktu lalu ke Ibu. Kenapa ini malah masih saja menyalahkan aku siapa yang mandul.

Ataukah jangan-jangan?

Lebih baik aku tanyakan saja ke Mas Pram.

“Heh! Mau kemana kamu!“ sentak Ibu mertua saat melihat aku berbalik menuju kamar.

“Mau menghampiri mas Pram, Bu.“ 

“Buat apa? Cepat sini lekas masak!“ suruhnya.

“Biar Mas Pram beli sarapan dekat kantornya aja, Bu.“

Aku tahu ini sudah jam mepet sekali, meskipun masak pun tak akan terkejar. Aku ingin memberi tahu Mas Pram untuk makan diluar sekalian tanya tentang surat dari dokter itu.

“Terus bapak sama Ibu makan apa?“

Aku mendengkus, lalu berbalik ke arah dapur. Terlalu banyak tuntutan tinggal di sini. Padahal rumah ini sebagian dibangun oleh orang tuaku. Seharusnya yang numpang bukanlah aku. Melainkan mertuaku.

Kukeluarkan beberapa telur dan sayur bayam dari kulkas. Dadar telur dan buat sop bayam adalah jalan ninjaku saat malas memasak.

“Masak apa ini!“ Ibu mertua meraih bayam dan membanting begitu saja. Aku menepis tangannya dan memungut bayam itu. Sungguh, Ibu mertua dengan usai setengah abad yang sudah menganggur selalu menginginkan ada daging tiap menu perhari.

Padahal bapak mertua juga hanya pengangguran saja.

Semua dilimpahkan ke Mas Pram. Bahkan tabungan seratus ribu pun belum terkumpul sampai saat ini. Aku menggeleng melihat tingkah ibu yang semakin kelewatan. Mana mungkin tiap hari ada daging, bisa tekor bandar.

“Bu, yang penting kita bisa makan,” ucapku pelan. Bukan maksud menggurui namun di jaman yang serba mahal kita harus pintar mengelola uang bukan. Kurasa SOP bayam dan telur tidak terlalu buruk.

“Aku hanya ingin makan enak di usia tuaku. Aku sudah cukup menghabiskan waktuku dengan makan seadanya karena membiayai Pram!“

Lagi-lagi, anaknya sebagai tameng untuk memeras dan menuntut keinginannya harus terpenuhi. 

Apa emang begitu seorang Ibu?

Kurasa tidak. Ibuku selalu menyayangiku bahkan tak menuntut apa-apa.

“Minyak lagi mahal, Bu. Kita harus hemat,” ucapku lagi.

“Kamu aja yang gak pinter ngelola uang!“ sungutnya.

Ku memutar bola mataku dengan malas, andaikan bukan mertua, sudah kucabik-cabik mulut itu. Bahkan untuk membeli baju baru saja aku harus bersabar menunggu hari lebaran, demi cukupnya kebutuhan sekeluarga. Keluarga besar lagi.

“PAKEEETTTTT!“

Aku langsung bergegas keluar ke arah suara. Senyumanku mengembang. Barang endorse sudah datang dan sebentar lagi aku bakal punya pemasukan murni hasil sendiri.

“Dasar! Menantu biadab! Bagaimana tidak habis uang anakku, kamu boros begitu!“ umpat Ibu mertua yang tiba-tiba sudah berada di belakangku.

Aku langsung menerima paket itu dengan perasaan malu, tukang paket masih berdiri dengan paket di tangannya. 

Aku langsung meraih paket agar tukang paketnya segera pergi.

Kepalaku menoleh ke samping, kulihat tetanggaku sedang mengintip ke arahku. Aku langsung berbalik, menatap ke arah Ibu mertua yang masih berkacak pinggang.

“Ini gratis, Bu,” ungkapku dan langsung masuk ke dalam.

“Tunggu! Aku harus lihat apa isi paket itu! Jangan harap aku percaya ucapanmu! Mana ada barang gratisan!“ ucapnya langsung merangsek kasar paket yang kupegang.

Aku menganga dibuatnya, ya ampun punya Mertua kenapa begini amat!

“Ada apa ini ribut-ribut?“ tanya Mas Pram yang sudah rapi dengan tas jinjingnya.

“Itu, Ibu merebut dan langsung membuka paketku.“ Kuadukan saja tingkahnya, biar kena marah, tau rasa.

“Cuma dibuka aja sih! Biarin lah, Dek. Ya sudah Mas berangkat kerja dulu ya,” pamitnya dengan menyodorkan tangannya agar aku mencium punggungnya seperti biasa.

Dengan muka cemberut, aku langsung meraih dan menciumnya. Rupanya seperti itu hanyalah hal sepele menurut Mas Pram.

Padahal bagiku tidak. Itu sudah termasuk bagian yang tidak beradab, seharusnya menghormati si pemilik barang, dan kurasa Ibu mertua sudah tidak memiliki adab lagi.

Aku lihat Ibu Mertua yang masih sibuk membuka sampul paket. Terlihat sangat kesusahan saat melepas solasi besar yang mengelilingi. Kubiarkan saja biar kuku-kukunya sakit. 

Setelah berhasil, dia langsung mengeluarkan isinya. Sebuah gamis dengan lengan balon berwarna hitam. Aku melihatnya, tanpa sadar mulut ini tersenyum kecil dan mengucap syukur. 

Setidaknya tanpa mengeluarkan uang sepeserpun aku bisa mendapatkan baju ganti juga nanti masih ada komisi.

Ya Allah. Memang hasil tidak pernah mengkhianati usaha.

Dengan mulut mencebik ia meremas-remas dan melempar baju itu ke arahku.

“Dasar, menantu kurang ajar! Katanya suruh hemat, eh sendirinya beli baju,” desisnya langsung masuk.

Aku meraih bajunya dan menatap miris, kondisinya sekarang terlihat kusut sekali. Padahal belum sempat aku membuat konten untuk ini.

Empat tahun sudah berjalan tapi kenapa rasa kesalku semakin bertambah, apalagi melihat tingkah Ibu Mertua yang semakin menjadi-jadi. Belum Bapaknya yang hanya bisanya pergi mancing dan pulang malam. Tentu saja aku yang kerepotan karena harus terjaga untuk membuka pintu.

Aku gegas masuk ke dalam, saat samar-samar terdengar tangisan. Mungkin Amira sudah bangun.

“Kamu itu kenapa,sih. Mbok jadi menantu itu yang gesit, pintar kayak menantunya si Ani itu. Sudah mandul! Ah, andaikan dulu Pram nurut ibu. Pasti gak nyesel!“ sembur Ibu mertua yang sudah menggendong Amira.

Nyesel? Bagaimana mungkin, Mas Pram tidak pernah mengeluh tentangku. Ah, tapi saat mendengar itu kenapa rasanya menyakitkan sekali.

“Emang Mas Pram pernah bilang nyesel ke ibu?“

“Kamu aja yang gak tau!“

Aku menghela napas. Kurasa itu hanya akal-akalan Ibu Mertua saja. Sudah sangat hapal betul saat pertama melangkah ke rumah ini, rumah yang dulunya masih berdinding bambu. Namun Ibu mertua selalu melihat aku sebelah mata. Entahlah alasan apa yang membuat seperti itu.

Melihat Amira yang sudah diam dipelukan Ibu mertua, aku berbalik arah hendak mencuci pakaian yang sudah menumpuk di bak mesin cuci. Kebetulan mesin cucinya juga rusak. Terpaksa aku harus menguceknya.

“Heh, mau ke mana, Kamu!“ sentaknya menghentikan langkahku.

Aku menoleh, menghela napas lagi, sabarrr.

“Mau nyuci, Bu. Cucian sudah banyak.“

“Enggak! Ni Amira bawa! Aku lapar daritadi belum sarapan!“

Aku mendengkus menghampiri Ibu mertua dan mengambil Amira. Jujur, rasa sayang sudah hadir di lubuk hati ini. Namun saat kehadirannya mengganggu aktivitas dan pekerjaanku rasanya rasa dongkol yang aku sembunyikan ikut tersentil. Mungkinkah seperti beban?

Sebenarnya siapa Ibu Amira? Kenapa dengan mudahnya memberikan Begitu saja bayi ke orang lain?

Rasa penasaran masih terus menghantuiku. Kuberanikan diri ini untuk bertanya ke Ibu.

“Bu, bayi ini kembalikan saja. Lagian juga aku tidak tau ibunya yang mana.“

Bu mertua yang sedang melangkah keluar kamar menghentikan langkahnya, lalu menoleh padaku. Tatapannya begitu tajam.

“Sherly, baru sehari bayi ini di sini, kamu sudah meminta mengembalikan? Jangan buat Ibu marah berkali-kali. Sudah Ibu gak mau tau. Pokoknya bayi ini tetap di sini sampai besar! Kamu di sini bukan siapa-siapa. Jadi jangan kebanyakan protes!“

Ibu, kenapa setiap kalimat yang kamu ucapkan selalu menoreh luka pada hati ini, aku sudah berusaha semampunya untuk membuat bahagia. Bahkan aku rela melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri demi baktinya seorang menantu yang ingin dianggap seperti anaknya sendiri.

Hanya itu, Bu. Aku tak pernah menuntut apa-apa. Aku hanya ingin dianggap di keluarga ini, lirihku.

Tak terasa bulir mataku berjatuhan bahkan mengenai rambut halus kepala Amira. Kutatap wajahnya yang begitu menggemaskan. Ia menggeliat. Sepertinya minta ditimang-timang.

Kuusap air mata ini, sudah bukan waktunya untuk bersedih. Pekerjaan banyak sedang menanti di depan. Di tambah sekarang untuk membuat Video yang akan ditampilkan di reel I*******m nantinya.

Bukan saatnya aku meratapi kehidupan rumah tangga yang seperti ini. Sekarang waktunya untuk mencari uang banyak, dan tentunya menyisakan tabungan pribadi tanpa sepengetahuan siapapun.

Amira kuletakkan dalam ember besar. Kualasi dengan selimut tebal. Kugeser persis ke depan pintu kamar mandi.

Kuraih sikat gigi agar buat mainan untuknya.

Setelah beres, dengan sigap aku mengucek satu per satu, dan sesekali aku menoleh ke arah Amira yang masih asik bermain mengangkat sikat gigi. Untungnya dia belum bisa merangkak jadi bisa aku sambi melakukan pekerjaan.

Setelah selesai membilas, aku berjongkok di depan Amira. Otakku memutar mencari ide. Mau digimanakan lagi Amira biar aku bisa menjemur.

Lebih baik aku kasih dulu ke Ibu. Mungkin udah selesai makan.

Aku raih tubuh mungil itu dan kuletakkan dalam pelukan. Kuhampiri Ibu Mertua yang rupanya sedang ngedumel sendiri.

“Makan sama telur! Bisa-bisa umurku tidak panjang!“ desisnya saat tau aku sudah berada di dekatnya.

“Amin.“

Aku mendelik saat satu kata itu mudah sekali terlontar. Ya ampun! Semoga saja beliau tidak mendengar jawabanku.

Plak!

Aku terhuyung dan hampir saja Amira terlepas dari pelukanku. Untung saja tanganku mampu menopang tubuh ini. Perih sekali pipi ini mendapat tamparan.

Aku menatap lama ke wajah Ibu mertua, wajahnya merah padam dan melotot ke arahku. Tanpa takut aku tak mengedipkan mata. 

“Assalamualaikum!“ disaat itu pula ada seseorang yang datang.

Aku menelan slavina dan tetap memandang ke Ibu mertua.

ibu mertuaku langsung bergegas ke arah pintu.

Kupandanginya ia saat keluar dan bercakap dengan begitu ramah. Dahiku mengernyit siapa gerangan tamu di balik pintu itu?

Perlahan kaki ini melangkah, Rasa penasaranku membimbing untuk menghampiri mereka.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
paijah08771622
bosan saya , hampir semua cerita dari semua penulis cerita nya ttng mertua yng zholim di barengi suami yng jahat . gk bisa bikin cerita yng bermutu . harusnya mencari ide sendiri jngn semua ikut ikutan .
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status