POV Pram.
Perasaanku mulai tidak tenang, tidak seperti sebelumnya.
Tentu saja setelah aku pergi dari Depok bersama Ibu. Di sana aku menemui Clara mantan pacarku yang sebelumnya telah menghubungiku untuk meminta tolong merawat bayinya.
Yang katanya itu bayi adalah anakku.
Sebelumnya aku mencoba menjelaskan dengan sangat pelan dan hati-hati ke Ibu. Aku berkata bahwa yang tidak sengaja bertemu dan pernah melakukan hubungan terlarang saat pergi keluar kota dengan mantanku dan ternyata membuahkan hasil.
Kukira respon Ibu akan memarahiku dan mengucapkan sumpah serapah, ternyata itu hanya perkiraanku saja. Ibuku malah yang berantusias untuk segera ke Depok dan menemui Clara juga bayinya.
Sekarang aku harus tetap menjaga hati ini untuk tetap mencintai Sherly meskipun sedikit kecewa, apalagi membayangkan betapa capeknya harus bolak-balik periksa ke dokter dan harus menahan malu saat hasilnya yang tidak subur adalah aku.
Buktinya aku melakukan hubungan dan ternyata hamil. Tentu saja sekarang menjadi tau siapa yang mandul di sini.
Memang aku akui Sherly dengan Clara jauh berbeda. Sherly terlihat begitu anggun dan juga semampai, beda dengan Clara yang memiliki badan lebih mungil dan berkulit lebih gelap dibanding Sherly.
Tapi itu semua kurasa tidak begitu penting. Buat apa kalau cantik hanya dimiliki sendiri dan rahimnya kosong. Sampai tua pun aku akan percuma memperistri dia saja.
Sekarang aku harus mulai lebih cerdas lagi bermain peran. Aku tidak ingin kehilangan keduanya. Aku harus selalu bisa memperlakukan Sherly dengan romantis seperti yang ia inginkan, dan juga aku akan memberikan setengah gajiku ke Clara seperti yang Clara inginkan.
Adil bukan? Aku mengabulkan semua keinginan mereka. Kurasa nantinya saat aku meminta ijin menikah lagi tak perlu merisaukan tentang keadilan.
Sungguh dunia ini terasa berada di surga.
Makasih Tuhan, Engkau telah menjadikanku seorang lelaki yang mana bisa berpoligami.
Aku bersenandung ria saat membayangkan kehidupanku nanti. Aku akan menjadi seorang Ayah. Clara menjadi istri keduaku dan mereka pasti akan begitu akur. Ibupun selalu mendukungku kemana pun langkah ini melaju.
Akhirnya kami berangkat ke Depok tanpa mengajak Sherly.
Perjalanan yang panjang akhirnya berhasil kami lalui.
Kami akhirnya bisa menemui Clara. Ibupun langsung begitu bersemangat dan mereka saling mengobrol layaknya hubungan sahabat.
Keningku berkerut, tiba-tiba teringat dengan Sherly. Kenapa sifatnya berbeda sekali saat dengan Sherly? Ada apa dengan Sherly? Kenapa Ibu begitu tidak menyukainya?
Kukira Ibu bersifat kasar sama Sherly emang wataknya yang kasar. Tapi nyatanya Ibu bisa ramah tamah dengan Clara. Bagaimana bisa?
Padahal baru bertemu pertama kali.
Clara memang cerdas mengambil hatinya ibu, tidak seperti Sherly yang hanya bisanya beradu otot.
“Lebih baik, Kamu tinggal bareng aja sama kami, nanti biar Pram nikahin, Kamu Clara,”ajak Ibu yang sontak membuatku menyungging senyum. Ibu peka sekali.
Aku di sini hanya sebagai pendengar setia mereka.
“Lho, bukannya Mas Pram sudah beristri ya, Ma?“ jawab Clara begitu lembut, pantas saja ibu suka. Dia begitu pintar berakting. Tapi itu yang aku suka.
“Aduh, maaf ya tidak sengaja manggil, Tante dengan ungkapan Mama,” ucap Clara yang kini menjadi mendayu-dayu.
Aduh aku jadi gemas sekali ingin menyosor bibir itu dengan mulutku, Eh. Entahlah aku rasa dengan Clara kayaknya lebih bergairah.
“Gak papa, panggil Mama juga gak papa, seenaknya, Kamu saja,” jawab Ibu.
“Ma, bukannya Mas Pram sudah beristri ya?“ tanya Clara.
Ah istrinya mandul, percuma,” jawab Ibu dengan mulut mencebik. Tidak terasa kepala ini ikut mengangguk membenarkan ucapan Ibu.
Tatapanku menyapu semua ruangan. Kamar tamu dengan kamar hanya dibatasi dengan sekat. Kamar mandi juga dapur pun begitu minimalis.
Meja kecil yang terletak di ruang tamu. Clara tinggal di rumah rusun yang mana perbulannya sewa berapa ratus sekian.
Waktu sekitar 1 tahun lebih sedikit aku tidak sengaja membuka messenger yang sudah lama tidak aku buka dan ternyata ada pesan dari Clara yang kebetulan sekali tempat yang ia tinggali tidak jauh dari tempat singgah sementaraku saat bekerja di luar kota menemani bosku untuk ketemu klien.
Dan akhirnya aku ijin semalam untuk menemui Clara. Niat hati hanya ingin bertemu, siapa sangka ternyata Clara memberikan alamat yang kini ia tinggali.
Saat menemui pun Clara sudah banyak berubah. Ia berpakain sangat terbuka apalagi di ruangan yang berisi satu lelaki dan satu perempuan. Lelaki mana yang akan kuat imannya melihat penampilan Clara waktu itu. Kini buah dadanya begitu besar tidak seperti dulu. Bahkan pantatnya yang aduhai membuatku meneguk ludah berkali-kali.
Akhirnya aku melakukan dosa yang mana dosa itu tidak aku sesali. Kami melakukan hubungan terlarang.
Akupun pulang dan memblokir semua nomor Clara demi rumah tanggaku tetap baik-baik saja.
Dua hari yang lalu tanpa angin dan hujan, Clara menghubungiku dan berkata anakku sudah lahir dan kini sudah berusia 3 bulan. Aku terhenyak mendengar penuturannya.
Tanganku bergetar saat membaca pesan itu.
Antara takut dan senang mencampur jadi satu.
Takut bagaimana dengan nasib rumah tangganya nanti, senang akhirnya aku bisa membuktikan ke diri sendiri bahwa aku tidak mandul.
Akhirnya sampailah hari ini karena keberanianku juga dukungan ibu. Kami beralasan sama Sherly untuk menjenguk saudara yang sakit ke Depok.
Tentu saja untuk berpikir ke depannya bagaimana amannya.
“Mama nanti nginep di sini saja, ya?“ tawar Clara yang membuyarkan lamunanku.
“Tidak bisa, Besok harus berangkat kerja,” jawabku memotong pembicaraan Ibu yang hendak berucap.
Bisa mati aku di kantor kalau ijin lagi, bisa-bisa tidak ada uang cuti di bulan ini.
Ibu melotot ke arahku seakan tidak terima dengan keputusanku. Aku menjawab dengan menggeleng pelan.
Saat ini yang penting gaji utuh ples uang cuti. Apalagi sekarang ditambah akan ada kebutuhan bayi.
“Mana bayinya, Clara? Daritadi kok gak kelihatan?“ tanya Ibuku.
“Bentar ya, Ma. Sebentar lagi akan diantar ke sini oleh Embak yang menjaganya.“
“Embak?“
“Iya, di pagi hari sebelum berangkat kerja Clara menitipkan Amira ke rumah Embak dengan ketentuan sejumlah uang per bulan.“
“Amira nama anakmu?“
“Anak kita, Ma. Clara dengan, Mas Pram,” jawabnya dengan melirik ke arahku.
“Iya, emang, Kamu kerja apa?“
“Loh, Mama gak dikasih tahu ya sama Mas Pram?“
Aku mendelik ke arah Clara, Bagaimana aku ngasih tahu. Bahkan tahu pun tidak.
“Itu, Ma. Clara kerja jadi SPG di Mall daerah sini,”ucapnya lagi.
“Owh, la terus nanti kalau Amira sama kami. Kamu gimana jenguknya?“ tanya Ibuku.
“Owh, itu, Ma. Nanti Clara minta pindah sama manager untuk ke Jakarta yang lebih dekat sama Amira.“
“Terus tinggal di mana?“ tanyaku penasaran.
“Pram, gimana sih! Ya ajak ke rumah kita, kayak gitu harus dikasih tau segala!“ desis Ibuku.
“Bukannya begitu, Ma. Di rumah kan ada Sherly. Aku juga belum ngomong sama Sherly nanti baiknya gimana.“ Aku mengemukakan apa yang terlintas dalam benakku.
Aku akan mencoba selalu mencintai Sherly meskipun kenyataan dia yang mandul.
Perasaannya pasti akan sakit kalau pulang langsung membawa Clara sama anakku.
Terlintas ide cemerlang yang tiba-tiba berseliweran di kepala. Dengan segenap rasa aku menarik napas lalu membuangnya. Tentu saja untuk mempersiapkan mental untuk menyatakan ide ini didepan dua orang perempuan yang kini semua menjadi tanggung jawabku.
“Buk, juga Clara. Aku akan membawa anakku. Nanti juga aku akan bertanggungjawab untuk menikahimu. Clara. Tapi aku butuh waktu, agar semua berjalan tanpa menyakiti siapapun. Kuharap Ibu sama Clara mau bekerjasama, ya?“
tanyaku dengan menatap mereka secara gantian.
“Emang apa rencanamu, Pram?“
“Emm. Gini, kita bawa anaknya dulu, nanti Clara menyusul beberapa hari ke depan. Nah, kalau misal Clara nanti berakting dulu sebagai pengasuh gitu gimana, Bu?“
“Ibu sih ngikut saja,” jawab Ibu dengan mengedikkan bahu.
“Gimana, Clara?“
“Gak tau, Mas. Berarti kalau aku jadi pengasuh nantinya aku sudah tidak kerja lagi ya jadi SPG? Terus sampai kapan aku harus pura-pura jadi pengasuh?“ tanyanya bertubi-tubi membuat pening kepala.
Jujur saja otakku belum nyampe ke sana. Kalau Clara berhenti jadi SPG otomatis sudah tidak ada pemasukan lagi dong? Wah. Kalau cuma bantu berapa persen mah, masih mampulah aku. La ini otomatis semua kebutuhan pasti dilimpahkan ke aku. Kenapa bulu kudukku menjadi merinding begini ya.
Tok! Tok!
“Permisi, Ibu. Clara ada?“ tanya perempuan yang sedang menggendong bayi dengan sedikit ngos-ngosan datang dan mengetuk pinggir pintu.
“Eh, Mbak. Amira rewel tidak?“ tanya Clara yang langsung menghampiri dan meraih bayi itu.
“Alhamdulillah, seperti biasa, Amira pintar sekali tidak rewel,” ucapnya dengan menatapku.
Penasaran mungkin.
“Ada tamu ya, Bu?“ tanyanya lagi.
“Eh iya, Mbak. Perkenalkan ini suami dan ibu ini adalah ibu mertuaku,” ucapnya dengan menunjuk kami.
“Bu, Bapak. Kok baru datang? Kasihan lho. Ibu Clara pontang-panting sendirian kemarin,” ucapnya lancang bahkan tanpa memperkenalkan diri. Sok sekali dia.
Ibuku bangun dari tempat duduknya dengan tangan mengepal. Wajahnya memerah.
“Bu, saya pamit dulu. Monggo,” pamitnya langsung kabur begitu saja.
“Kurang ajar sekali dia!“ Desis Ibuku.
“Maaf, Ma. Dia emang begitu, mulutnya tidak ada filternya.“ Clara mengelus-elus punggung Ibu untuk menenangkan.
“Gak usah dibayar aja itu nanti, mulutnya lemes gitu!“ usul Ibuku dan hanya dijawa senyuman oleh Clara.
Badanku menjadi terasa gerah dan tidak nyaman.
Sepertinya lebih baik lekas pamit dan masalah nanti bisa lanjutkan melalui WA.
Apalagi bayinya juga sudah di antar.
“Mana Amira? Sini Ibu gendong!“
Clara mendekat dan menyerahkan Amira ke Ibu. Ibupun meraihnya dan langsung menciumi pipi Amira.
Segitu bahagiakah?
Aku melirik sekilas ke arah Amira. Wajahnya gak ada mirip-miripnya denganku kurasa. Bahkan aku membandingkan dengan Clara. Hanya bibirnya aja yang mirip selainnya mirip siapa ya?
Ah entahlah mungkin itu efek perbaduan dari Kami.
“Clara, obrolan tadi dilanjut lewat WA saja ya. Kamu tolong persiapan baju ganti juga botol, susu segala macam,” suruhku.
“Siap, Mas. Terimakasih ya,” jawabnya dengan meninggalkan kecupan di pipi.
Duh! Bikin menegang saja.
Setelah semua siap kami pun berpamitan dengan Clara.
Semoga saja bayinya tidak rewel. Juga nanti Sherly tidak banyak tanya yang menyebabkan aku keceplosan.
“Sebentar, Aku tuliskan alamatnya dulu,” ungkapnya lalu masuk.“Jaga Amira baik-baik ya, Pram. Sherly sangat menyayangi wanita itu,” ujar Zen berpesan. “Baik. Aku akan kabari perkembangan Amira dan sewaktu-waktu akan membawa ke sini untuk berkunjung.““Kamu adalah lelaki baik.“Aku hanya mengangguk. Lalu tidak lama Sherly keluar lagi dan kini menyodorkan kertas ke arahku. “Ini alamat dan nomor telepon panti. Bisa kunjungi kapan pun,” ujar Sherly kemudian. “Terima kasih. Kami mohon pamit dulu.““Sini Amira, Mama cium dulu.“Amira langsung turun dari gendonganku dan mendekat ke arah Sherly. Mereka berpelukan cukup lama lalu Sherly menghujami beberapa ciuman di pipi Amira. Setelah usai aku menyalami semua orang yang ada di rumah ini. Lalu berjalan ke luar di temani Zen sambil membantuku membawakan barang Amira. “Terima kasih.“ “Hati-hati di jalan.“ Pesan Zen.Aku mengangguk lalu masuk ke mobil dan mendudukkan Amira di jok sampingku dan memasangkan seat belt.Kubunyikan klakson pel
Hening mulai tercipta. Aku menunduk, lalu tanpa sengaja melihat tangan Sherly mengelus tangan Bu Yanti. Jujur, perasaanku kalut saat ini. Andaikan Amira benar tidak boleh dibawa. Aku tidak akan memaksa dan tetap menjalani hidup meskipun tanpa penyemangat.Tidak lama Sherly bangkit pun dengan Bu Yanti lalu pergi meninggalkanku seorang diri. Aku tidak berani mendongak. Aku malu menatap mantan Mertuaku, setiap aku melihat mereka, disitulah aku teringat dengan sikap buruk yang pernah aku lakukan tempo dulu.Aku kembali nunduk, cukup lama hingga ada seseorang menepuk punggungku. Aku mendongak lalu bangkit berdiri saat melihat Pak Anton dan Bu Lastri yang sudah berdiri di depanku. Aku menyalami mereka satu persatu.“Bagaimana kabarmu?“ tanya Pak Anton.Aku mengangguk-angguk. Suaraku sepertinya terhenti di tenggorokan.“Maafkan Pram, Pak. Bu,” ujarku lirih setelah berhasil menguasai keadaan. “Sudah kami maafkan cukup lama. Rileks Pram! Alhamdulillah kondisi kami jauh lebih baik apalagi sebe
Aku melangkah gontai dan kembali ke mobil. Aku harus menemukan Amira bagaimana pun caranya. Kuputar arah lalu melajukan mobil dengan kaca pintu terbuka. Sesekali kepalaku melongok keluar untuk melihat dan berharap mendapatkan Amira di rumah tetangga atau apalah. Sepertinya aku harus mampir ke rumah Bu Yanti. Dia sedikit paham dengan rumah tanggaku. Semoga saja aku bisa mendapatkan info di mana tempat tinggal Amira yang sekarang.Setelah sampai di depan halaman rumah Bu Yanti. Aku sedikit ragu melangkah masuk. Sepertinya di dalam sana sedang ada acara karena ramainya suara yang bersahut-sahutan dari dalam. Aku terpaku untuk sesaat, bingung antara masuk atau pergi, tapi bukankah ini adalah salah satu jalan agar bisa menemukan Amira?Baiklah aku putuskan untuk masuk! Kuhela napas panjang untuk mempersiapkan diri. Tidak kupedulikan nanti bila respon mereka mencaciku lalu mengusir. Yang terpenting usaha dulu. Kubuka gerbang dengan gerakan pelan. Sepelan mungkin agar tidak menimbulkan s
POV PRAMSebulan sudah aku tinggal bersama pak Tony. Rasa rinduku semakin membuncah ke Amira. Apa kabar dia sekarang? Apakah rindu denganku. Bagaimana rupamu sekarang, Nak?Aku memijat pangkal hidung yang terasa gatal. Lalu merobohkan badan ini di teras, menatap beberapa bunga mawar yang sedang berbunga. Aku kesepian di sini. Tanpa ponsel dan teman. Hanya Bapak Tony satu-satunya teman mengobrol. Sherly, apa kabarmu? Apakah kamu bahagia dengan Zen? Sudah hamilkah? Kupejamkan mata ini lalu mendongakkan kepala. Dada ini terasa sesak saat teringat masa lalu. Bukan karena masa yang sulit, melainkan merutuki kebodohanku yang bertumpuk. Tap!Aku terbangun dari lamunanku saat ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku menoleh lalu tersenyum saat Pak Tony menawarkan sepiring roti basah dan ikut duduk di sebelahku. “Saya perhatikan dari tadi Kamu nampak murung? Ada masalah?“ tanyanya setelah menyesap teh di tangan lalu meletakkan di samping badannya.Aku diam, bingung mau menjelaskan bagaiman
“Sherly tolong buka pintu mobilnya!“ Raungku dengan memukul kaca mobil.Mereka tanpa menoleh ke arahku. Suara klakson terdengar nyaring, membuatku terlonjak mundur. Saat itu pula mobil mulai dilajukan tanpa aku di sana.Aku merosot, bersimpuh di atas rerumputan liar. Tidak menyangka kalau akhirnya begini, kalau tahu seperti ini aku tidak perlu melakukan hal bodoh di tempat panti yang sebelumnya ini. Bahkan aku tidak mungkin kabur dari sini, tempat ini sangat terpencil dan jauh dari keramaian. Setengah jam berlalu, tidak ada seorang pun yang mencariku dan mengajakku ke dalam. Bahkan lututku terasa mulai kram. Kenapa nasibku bisa seperti ini. Aku bangkit berdiri lalu melangkah lunglai ke dalam. Menoleh ke kanan-kiri, tidak ada satu orang pun penjaga yang mau menyambutku. Padahal di depan sana, ada segerombolan orang yang tengah mengobrol. Sepertinya mereka adalah bagian dari panti ini. Kuhilangkan rasa malu untuk saat ini, saat ini aku ingin makan dan istirahat. Aku butuh kamar. Aku
“Jadi Zen belum tahu kalau Sherly itu mandul?“ tanyaku ulang.“Bagaimana ya, anak dalam keluarga menurut Ibu itu penting. Meskipun kalian kaya harta, tapi kalau tanpa anak itu akan terasa kosong. Ada yang kurang,” ujarku lagi. Aku tersenyum saat melihat Zen manggut-manggut. “Ibu Leni punya anak ya kan, tapi kenapa anak itu membiarkan Ibunya kesusahan ke sana ke mari hanya untuk tempat tinggal? Dan juga. Bukankah yang mandul itu adalah Anak ibu? Dari mana Ibu tahu kalau Sherly mandul?“Aku terhenyak mendengar penuturan Zen, Cukup lama aku terdiam mencerna ucapannya. Sampai saat ini aku tidak pernah mengakui Pram mandul. Meskipun ada surat DNA itu, bisa jadi kan ada kekeliruan dan Aku yakin itu. “Sudahlah, Bu. Cukup urusi urusan Ibu sendiri. Aku mencintai Sherly tanpa syarat, bahkan aku merasa bersyukur telah memilikinya.““Halah, namanya juga pengantin baru, lihat setahun dua tahun kemudian. Pasti ada saja yang akan kalian keluhkan,” cibirku ke arahnya lalu aku melengos ke samping.
Sherly mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan Layarnya ke arahnya. Duh, kenapa enggak bilang saja ke mana tujuannya. Kan aku penasaran jadinya.Aku memperhatikan mereka dari belakang, Zen menggangguk lalu mulai mengemudikan mobilnya.Aku melongok ke arah panti, selamat tinggal masa lalu. Akhirnya aku berjaya lagi.Zen mulai memutar musik. Aku ikut mengangguk-anggukkan kepala ikut menikmati iramanya. Jiwaku terasa muda kembali, entahlah. Apa mungkin karena rencanaku berhasil, jadi membuatku segirang ini?**Aku mengernyit setelah sekitar 30 menit mobil ini melaju di jalan raya, sekarang sudah mulai masuk ke gang yang sempit lalu berpindah ke gang yang sepi. Banyak pohon liar dan beberapa sampah mengganggu penglihatan. Ini di mana? Aku tidak pernah melewati jalan ini.“Ke mana ini, Sherly?“ tanyaku kemudian.“Nanti Ibu akan tahu sendiri,” jawabnya tanpa mau menoleh ke arahku.“Bu Yanti? Kita mau ke mana?“ Aku menoleh ke arah Bu Yanti yang masih saja diam menatap ke samping jalanan.Bu Y
POV Bu Leni “Sekarang Bu Leni berkemas, kita pulang sekarang!“Aku meremas baju untuk meredakan rasa girangku, sudah kuduga, Sherly sebodoh itu. Aku hanya melakukan bentuk keprotesanku dengan merusak hal-hal di sekitar dan lihat sekarang. Caraku manjur!Aku lekas berbalik, meraih tas dan memasukkan baju ke dalam. Tatapanku ke arah sprei yang sudah banyak bekas guntingan, itu akan menjadi alat bukti sebagai alasan kalau aku di sini dijahati. Tentu saja itu tidak benar, karena aku hanya ingin menarik simpati saja. Memang aku akui tempat ini bersih dan juga pelayanannya ramah, tapi aku ini masih cukup sehat dibanding penghuni lainnya dan lebih muda. Aneh saja aku sudah tinggal di sini. Malu dong. Nanti setelah keluar dari sini, aku akan pamer ke mereka yang pernah menggunjingku. Biar mereka panas. “Sudah, Bu?“ tanya Sherly membuyarkan lamunanku. Aku sedikit tergagap lalu bangkit berdiri dan langsung bersiap.“Sudah, makasih ya, Sherly. Kamu memang anak yang baik.““Sama-sama, Bu. Ma
”Hallo ... assalamualaikum.““Waalaikumsalam, ini dari Rumah Pelita, benar kan ya ini nomornya Bu Sherly, walinya dari Ibu Leni?““Ah ya, benar. Kenapa ya? Apa ada masalah?“ tanyaku lagi. Jujur hatiku berdegup tidak karuan. Jangan sampai Bu Leni berbuat ulah lagi di sana.“Begini, Bu. Apa bisa kalau Ibu ke sini sebentar? Mau membicarakan sedikit masalah yang bersangkutan dengan Bu Leni. Mohon maaf ya, Bu. Kalau mengganggu waktunya ibu.““Harus sekarang ya, Bu?““Ya enggak harus, tapi semakin cepat lebih baik.“Bunda menyenggol lenganku. “Kenapa?“tanyanya tanpa mengeluarkan suara.Aku menggeleng. “Baik, Bu. Kami ke sana sekarang.““Baik, kami tunggu ya, Bu. Hati-hati di jalan.“Sambungan telepon terputus.Lalu aku menoleh ke arah bunda. “Sepertinya ada masalah di panti, Bun. Kita ke sana dulu ya?““Loh, periksa saja dulu, Sherly. Nanti baru ke sana.““Enggak pihak sana sudah menunggu, periksanya bisa kapan-kapan kok. Ini sudah sehat lagi.““Bi, tolong belok ke panti dulu sebentar ya!