Share

Bab 2. Perjalanan ke Depok yang sebenarnya

POV Pram.

Perasaanku mulai tidak tenang, tidak seperti sebelumnya. 

Tentu saja setelah aku pergi dari Depok bersama Ibu. Di sana aku menemui Clara mantan pacarku yang sebelumnya telah menghubungiku untuk meminta tolong merawat bayinya. 

Yang katanya itu bayi adalah anakku.

Sebelumnya aku mencoba menjelaskan dengan sangat pelan dan hati-hati ke Ibu. Aku berkata bahwa yang tidak sengaja bertemu dan pernah melakukan hubungan terlarang saat pergi keluar kota dengan mantanku dan ternyata membuahkan hasil. 

Kukira respon Ibu akan memarahiku dan mengucapkan sumpah serapah, ternyata itu hanya perkiraanku saja. Ibuku malah yang berantusias untuk segera ke Depok dan menemui Clara juga bayinya.

Sekarang aku harus tetap menjaga hati ini untuk tetap mencintai Sherly meskipun sedikit kecewa, apalagi membayangkan betapa capeknya harus bolak-balik periksa ke dokter dan harus menahan malu saat hasilnya yang tidak subur adalah aku.

Buktinya aku melakukan hubungan dan ternyata hamil. Tentu saja sekarang menjadi tau siapa yang mandul di sini.

Memang aku akui Sherly dengan Clara jauh berbeda. Sherly terlihat begitu anggun dan juga semampai, beda dengan Clara yang memiliki badan lebih mungil dan berkulit lebih gelap dibanding Sherly. 

Tapi itu semua kurasa tidak begitu penting. Buat apa kalau cantik hanya dimiliki sendiri dan rahimnya kosong. Sampai tua pun aku akan percuma memperistri dia saja. 

Sekarang aku harus mulai lebih cerdas lagi bermain peran. Aku tidak ingin kehilangan keduanya. Aku harus selalu bisa memperlakukan Sherly dengan romantis seperti yang ia inginkan, dan juga aku akan memberikan setengah gajiku ke Clara seperti yang Clara inginkan.

Adil bukan? Aku mengabulkan semua keinginan mereka. Kurasa nantinya saat aku meminta ijin menikah lagi tak perlu merisaukan tentang keadilan.

Sungguh dunia ini terasa berada di surga.

Makasih Tuhan, Engkau telah menjadikanku seorang lelaki yang mana bisa berpoligami.

Aku bersenandung ria saat membayangkan kehidupanku nanti. Aku akan menjadi seorang Ayah. Clara menjadi istri keduaku dan mereka pasti akan begitu akur. Ibupun selalu mendukungku kemana pun langkah ini melaju.

Akhirnya kami berangkat ke Depok tanpa mengajak Sherly.

Perjalanan yang panjang akhirnya berhasil kami lalui.

Kami akhirnya bisa menemui Clara. Ibupun langsung begitu bersemangat dan mereka saling mengobrol layaknya hubungan sahabat.

Keningku berkerut, tiba-tiba teringat dengan Sherly. Kenapa sifatnya berbeda sekali saat dengan Sherly? Ada apa dengan Sherly? Kenapa Ibu begitu tidak menyukainya?

Kukira Ibu bersifat kasar sama Sherly emang wataknya yang kasar. Tapi nyatanya Ibu bisa ramah tamah dengan Clara. Bagaimana bisa?

Padahal baru bertemu pertama kali.

Clara memang cerdas mengambil hatinya ibu, tidak seperti Sherly yang hanya bisanya beradu otot.

“Lebih baik, Kamu tinggal bareng aja sama kami, nanti biar Pram nikahin, Kamu Clara,”ajak Ibu yang sontak membuatku menyungging senyum. Ibu peka sekali.

Aku di sini hanya sebagai pendengar setia mereka.

“Lho, bukannya Mas Pram sudah beristri ya, Ma?“ jawab Clara begitu lembut, pantas saja ibu suka. Dia begitu pintar berakting. Tapi itu yang aku suka. 

“Aduh, maaf ya tidak sengaja manggil, Tante dengan ungkapan Mama,” ucap Clara yang kini menjadi mendayu-dayu.

Aduh aku jadi gemas sekali ingin menyosor bibir itu dengan mulutku, Eh. Entahlah aku rasa dengan Clara kayaknya lebih bergairah.

“Gak papa, panggil Mama juga gak papa, seenaknya, Kamu saja,” jawab Ibu.

“Ma, bukannya Mas Pram sudah beristri ya?“ tanya Clara.

Ah istrinya mandul, percuma,” jawab Ibu dengan mulut mencebik. Tidak terasa kepala ini ikut mengangguk membenarkan ucapan Ibu.

Tatapanku menyapu semua ruangan. Kamar tamu dengan kamar hanya dibatasi dengan sekat. Kamar mandi juga dapur pun begitu minimalis.

Meja kecil yang terletak di ruang tamu. Clara tinggal di rumah rusun yang mana perbulannya sewa berapa ratus sekian. 

Waktu sekitar 1 tahun lebih sedikit aku tidak sengaja membuka messenger yang sudah lama tidak aku buka dan ternyata ada pesan dari Clara yang kebetulan sekali tempat yang ia tinggali tidak jauh dari tempat singgah sementaraku saat bekerja di luar kota menemani bosku untuk ketemu klien. 

Dan akhirnya aku ijin semalam untuk menemui Clara. Niat hati hanya ingin bertemu, siapa sangka ternyata Clara memberikan alamat yang kini ia tinggali.

Saat menemui pun Clara sudah banyak berubah. Ia berpakain sangat terbuka apalagi di ruangan yang berisi satu lelaki dan satu perempuan. Lelaki mana yang akan kuat imannya melihat penampilan Clara waktu itu. Kini buah dadanya begitu besar tidak seperti dulu. Bahkan pantatnya yang aduhai membuatku meneguk ludah berkali-kali.

Akhirnya aku melakukan dosa yang mana dosa itu tidak aku sesali. Kami melakukan hubungan terlarang. 

Akupun pulang dan memblokir semua nomor Clara demi rumah tanggaku tetap baik-baik saja.

Dua hari yang lalu tanpa angin dan hujan, Clara menghubungiku dan berkata anakku sudah lahir dan kini sudah berusia 3 bulan. Aku terhenyak mendengar penuturannya.

Tanganku bergetar saat membaca pesan itu. 

Antara takut dan senang mencampur jadi satu.

Takut bagaimana dengan nasib rumah tangganya nanti, senang akhirnya aku bisa membuktikan ke diri sendiri bahwa aku tidak mandul.

Akhirnya sampailah hari ini karena keberanianku juga dukungan ibu. Kami beralasan sama Sherly untuk menjenguk saudara yang sakit ke Depok.

Tentu saja untuk berpikir ke depannya bagaimana amannya.

“Mama nanti nginep di sini saja, ya?“ tawar Clara yang membuyarkan lamunanku.

“Tidak bisa, Besok harus berangkat kerja,” jawabku memotong pembicaraan Ibu yang hendak berucap.

Bisa mati aku di kantor kalau ijin lagi, bisa-bisa tidak ada uang cuti di bulan ini.

Ibu melotot ke arahku seakan tidak terima dengan keputusanku. Aku menjawab dengan menggeleng pelan.

Saat ini yang penting gaji utuh ples uang cuti. Apalagi sekarang ditambah akan ada kebutuhan bayi.

“Mana bayinya, Clara? Daritadi kok gak kelihatan?“ tanya Ibuku.

“Bentar ya, Ma. Sebentar lagi akan diantar ke sini oleh Embak yang menjaganya.“

“Embak?“

“Iya, di pagi hari sebelum berangkat kerja Clara menitipkan Amira ke rumah Embak dengan ketentuan sejumlah uang per bulan.“

“Amira nama anakmu?“

“Anak kita, Ma. Clara dengan, Mas Pram,” jawabnya dengan melirik ke arahku.

“Iya, emang, Kamu kerja apa?“

“Loh, Mama gak dikasih tahu ya sama Mas Pram?“

Aku mendelik ke arah Clara, Bagaimana aku ngasih tahu. Bahkan tahu pun tidak.

“Itu, Ma. Clara kerja jadi SPG di Mall daerah sini,”ucapnya lagi.

“Owh, la terus nanti kalau Amira sama kami. Kamu gimana jenguknya?“ tanya Ibuku.

“Owh, itu, Ma. Nanti Clara minta pindah sama manager untuk ke Jakarta yang lebih dekat sama Amira.“

“Terus tinggal di mana?“ tanyaku penasaran.

“Pram, gimana sih! Ya ajak ke rumah kita, kayak gitu harus dikasih tau segala!“ desis Ibuku.

“Bukannya begitu, Ma. Di rumah kan ada Sherly. Aku juga belum ngomong sama Sherly nanti baiknya gimana.“ Aku mengemukakan apa yang terlintas dalam benakku. 

Aku akan mencoba selalu mencintai Sherly meskipun kenyataan dia yang mandul. 

Perasaannya pasti akan sakit kalau pulang langsung membawa Clara sama anakku. 

Terlintas ide cemerlang yang tiba-tiba berseliweran di kepala. Dengan segenap rasa aku menarik napas lalu membuangnya. Tentu saja untuk mempersiapkan mental untuk menyatakan ide ini didepan dua orang perempuan yang kini semua menjadi tanggung jawabku.

“Buk, juga Clara. Aku akan membawa anakku. Nanti juga aku akan bertanggungjawab untuk menikahimu. Clara. Tapi aku butuh waktu, agar semua berjalan tanpa menyakiti siapapun. Kuharap Ibu sama Clara mau bekerjasama, ya?“ 

tanyaku dengan menatap mereka secara gantian.

“Emang apa rencanamu, Pram?“

“Emm. Gini, kita bawa anaknya dulu, nanti Clara menyusul beberapa hari ke depan. Nah, kalau misal Clara nanti berakting dulu sebagai pengasuh gitu gimana, Bu?“

“Ibu sih ngikut saja,” jawab Ibu dengan mengedikkan bahu.

“Gimana, Clara?“ 

“Gak tau, Mas. Berarti kalau aku jadi pengasuh nantinya aku sudah tidak kerja lagi ya jadi SPG? Terus sampai kapan aku harus pura-pura jadi pengasuh?“ tanyanya bertubi-tubi membuat pening kepala. 

Jujur saja otakku belum nyampe ke sana. Kalau Clara berhenti jadi SPG otomatis sudah tidak ada pemasukan lagi dong? Wah. Kalau cuma bantu berapa persen mah, masih mampulah aku. La ini otomatis semua kebutuhan pasti dilimpahkan ke aku. Kenapa bulu kudukku menjadi merinding begini ya.

Tok! Tok!

“Permisi, Ibu. Clara ada?“ tanya perempuan yang sedang menggendong bayi dengan sedikit ngos-ngosan datang dan mengetuk pinggir pintu.

“Eh, Mbak. Amira rewel tidak?“ tanya Clara yang langsung menghampiri dan meraih bayi itu.

“Alhamdulillah, seperti biasa, Amira pintar sekali tidak rewel,” ucapnya dengan menatapku.

Penasaran mungkin.

“Ada tamu ya, Bu?“ tanyanya lagi. 

“Eh iya, Mbak. Perkenalkan ini suami dan ibu ini adalah ibu mertuaku,” ucapnya dengan menunjuk kami.

“Bu, Bapak. Kok baru datang? Kasihan lho. Ibu Clara pontang-panting sendirian kemarin,” ucapnya lancang bahkan tanpa memperkenalkan diri. Sok sekali dia.

Ibuku bangun dari tempat duduknya dengan tangan mengepal. Wajahnya memerah. 

“Bu, saya pamit dulu. Monggo,” pamitnya langsung kabur begitu saja.

“Kurang ajar sekali dia!“ Desis Ibuku.

“Maaf, Ma. Dia emang begitu, mulutnya tidak ada filternya.“ Clara mengelus-elus punggung Ibu untuk menenangkan.

“Gak usah dibayar aja itu nanti, mulutnya lemes gitu!“ usul Ibuku dan hanya dijawa senyuman oleh Clara.

Badanku menjadi terasa gerah dan tidak nyaman. 

Sepertinya lebih baik lekas pamit dan masalah nanti bisa lanjutkan melalui WA.

Apalagi bayinya juga sudah di antar.

“Mana Amira? Sini Ibu gendong!“

Clara mendekat dan menyerahkan Amira ke Ibu. Ibupun meraihnya dan langsung menciumi pipi Amira.

Segitu bahagiakah?

Aku melirik sekilas ke arah Amira. Wajahnya gak ada mirip-miripnya denganku kurasa. Bahkan aku membandingkan dengan Clara. Hanya bibirnya aja yang mirip selainnya mirip siapa ya?

Ah entahlah mungkin itu efek perbaduan dari Kami.

“Clara, obrolan tadi dilanjut lewat WA saja ya. Kamu tolong persiapan baju ganti juga botol, susu segala macam,” suruhku.

“Siap, Mas. Terimakasih ya,” jawabnya dengan meninggalkan kecupan di pipi.

Duh! Bikin menegang saja.

Setelah semua siap kami pun berpamitan dengan Clara. 

Semoga saja bayinya tidak rewel. Juga nanti Sherly tidak banyak tanya yang menyebabkan aku keceplosan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Erwin Suganda
mantaap pisan euy...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status