Share

Tak boleh bekerja

Setelah tiga hari dirawat  di rumah sakit, Mas Ahmad bisa pulang. Jangan ditanya biaya rumah sakitnya. Sebanyak dosa tetangga yang suka gibahin aku setiap hari. Beruntung sebagian biaya rumah sakit ditanggung BPJS sehingga aku masih sanggup mmebayarnya.

“Kalau suami sakit itu, nggak usah ngelayap terus,” ucap Mbak Mita dengan nada menyindir saat aku baru hendak pergi ke warung. Sudah seminggu, kondisi Mas Ahmad belum bisa berjalan sendiri dan aku yang harus membantunya banyak hal.

“Mau ke mana, Mbak?” tanya Jani.

“Ke depan. Kenapa? Mau kasih ongkos jalan?”

“Nitip beliin seblak sih,” perintahnya.

“Beli sendiri, kakinya masih kuat jalan kan? Kalau udah nggak bisa jalan, tuker tambah saja sama kaki gajah,” selorohku.

Aku berjalan mengabaikan wajah wajah yang mungkin saja kesal karena ucapanku. Bodo amat lah, aku lagi mode suntuk. Bagaimana tidak, biaya rumah sakit Bang Ahmad yang ditanggung BPJS sisanya aku bayar sendiri. Uang simpanan harus terkuras dan keluarga Mas Ahmad tak ada yang mau tahu. Padahal selama ini gaji Mas Ahmad selalu dibagi rata antara aku, Jani, dan Ibuku.

Keluar dari rumah, aku melihat  Mas Romli datang. Dia mengendarai motornya, lalu menghentikan lajunya tepat di depanku.

“Mas Romli? Mau ke rumah?” tanyaku.

“Iya. Ahmad katanya sudah balik, aku pengen liat kondisinya. Tadi Bos proyek minta gambarnya Mas Ahmad yang sakit.”

“Boleh, masuk aja, Mas. Aku mau ke warung bentar beli minyak angin.”

“Oh, iya, Mbak.”

Aku memang diminta membeli minyak kapak. Mas Ahmad mengeluhkan sakit pinggang jika terlalu lama duduk dan dia ingin aku memijatkan dengan minyak ajaib yang satu itu. Sekitar lima menit perjalanan dari rumah ke warung, aku pun kembali dan mendapati Mas Romli yang sudah keluar rumah.

“Loh, kok buru buru, Mas?” tanyaku.

“Aku ada panggilan mendadak dari Yusuf, uang santunan terakhir  dari bos sudah dikasih sama Ibu. Maaf ya, aku buru buru,” ucap  Mas Romli.

Secepat itu Mas Romli pergi dan aku pun tak bisa mencegahnya. Mas Romli pamit dan pergi kembali menaiki motornya. Aku masuk dan mendapati ibu sedang menghitung uang di tangan, ditemani Jani.

“Mas Romli kasih santunan  terakhir katanya tadi, berapa, Bu?” tanyaku.

“Lumayanlah, bisa buat biaya makan kalian selama nganggur.” Ibu menjawabnya tanpa menatapku, langsung memasukkan uang itu ke dalam saku.

“Kok dimasukin kantong? Katanya buat Mas Ahmad,” tanyaku.

“Kamu kan masih numpang, masih untung nggak ibu tuntut buat kamu kerja gantiin Ahmad.” Ibu langsung beranjak masuk kamar dan menguncinya, sedangkan Jani tersenyum mengejek ke arahku.

“Kalau pengen punya uang itu kerja, Mbak. Masa nggak malu minta uang sama mertua,” ejeknya.

Aku memilih abai. Kalau selalu mendengarkan ucapannya, nggak akan baik untuk hati yang sedang dilanda bingung ini. Bagaimana tidak, tinggal serumah dengan mertua dan ipar yang juldinya kebangetan sungguh menguras emosi jiwa dan raga.

Aku masuk ke dalam kamar. Kulihat Mas Ahmad yang sedang berbaring sambil memegangi sarung lusuhnya. Dia menengok ke arahku, lalu tersenyum dan sedikit bergeser agar aku bisa duduk di sebelahnya.

“Mas gak tahu tah tadi Mas Romli ke sini?” tanyaku.

“Tahu, cuma dia masuk sebentar. Ada telepon jadi dia keluar, udah pulang orangnya?”

“Udah. Dia kasih uang santunan terakhir  dari bos katanya,” ucapku dengan wajah sedih.

“Alhamdulillah, ternyata masih diberi bos yang baik dan pengertian. Kenapa mukanya cemberut begitu?”

“Kalau yang terakhir, berarti Mas udah nggak kerja di sana lagi, kan?"

"Insyaallah nanti akan ada pekerjaan lain. Uangnya ada sama Ibu, ya?" tanyanya.

"Iya."

“Sabar ya, nanti Mas coba minta. Kalau nggak boleh, kamu yang sabar ya. Ibu kan memang gitu,” ucapnya pelan dan mengusap pipiku.

Yang membuat aku bertahan hidup dengan Mas Ahmad adalah sikap baik dan lemah lembutnya. Dia tak pernah membentakku apalagi berlaku kasar dalam rumah tangga kami yang sudah berjalan 3 tahun ini. 

Minyak gosok yang tadi aku beli, aku balurkan ke bagian tubuh Mas Ahmad. Lelaki itu terlihat menikmati panasnya minyak gosok, tapi aku justru bingung dengan hari hari kami ke depannya. Tabungan sudah habis, lalu aku harus bagaimana? Semakin jadi nanti keluarga suamiku menghinaku.

“Kok berenti?” tanya Mas Ahmad saat melihatku menghentikan usapan pada punggungnya.

“Aku bingung, Mas.”

Mas Ahmad berbalik, lalu bangkit dan menyandarkan tubuhnya di dinding ranjang. Dia tersenyum dan meraih tanganku lalu mengecupnya pelan.

“Rezeki itu Allah yang ngatur, Dek. Jangan takut kelaparan, kedinginan apalagi kekurangan. Kita memang sedang diuji ekonomi, tapi kita tidak diharuskan bingung dengan ekonomi. Minta sama Allah, Allah maha tahu kebutuhan hambaNya.”

“Tapi ‘kan sumber pencaharian kita cuma Mas aja, kalau Mas sakit, aku bisa dapat uang dari mana? Semakin senang Ibu mengejekku dan aku pun dibuat babu di rumah ini tiap hari. Apa aku bisa sesabar itu?” Mataku berkaca kaca.

“Nggak ada yang abadi di dunia ini, termasuk kesusahanmu. Doakan saja Mas lekas sembuh, nanti Mas akan cari pekerjaan yang gak begitu berat biar bisa terus nafkahin kamu.”

Aku terdiam. Bingung saja melihat keadaan ini. Di sisi lain kasihan melihat Mas Ahmad yang kesusahan mencari rezeki nantinya lantaran patah kaki, di sisi lain aku juga akan dibuat bingung dengan keinginan mertua yang ada ada saja. Aku berpikir keras, mungkinkah aku akan diizinkan bekerja setelah ini?

“Mas.” Aku menatapnya lekat. “Apa aku boleh bekerja?”

Mas Achmad tersenyum, lalu menggeleng. “Istri itu tulang rusuk, bukan tulang punggung. Sabar ya? Mas pasti akan sembuh.”

Kalau sudah begini, jelas aku tak bisa membantah lagi. Suamiku memang lelaki sejati di mana pantang kodratnya sebagai imam rumah tangga dirusak dengan istri yang bekerja di luar sana. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur
Geram banget !!!! sama nich Keluarga !!!! kok Ama Menantu gitu amat ! belum lagi punya ipar kayak Betina Jahanam !!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status