Share

berdua

...

“Habis dari mana? Suami lagi sakit malah kamu ngeluyur,” sembur Mbak Mita.

“Suka-suka Nina. Daripada di sini liat Mbak Mita, lama-lama bisa ikutan sakit. Mas, Nina pulang dulu, ya? Mau balikin motor sekalian ambil baju ganti,” pamitku.

“Eh, nggak usah. Kelamaan nanti di rumah kalau kamu yang pulang. Biar Mbak aja sama Ibu yang pulang ke rumah,” cegah Mbak Mita.

Alah, aku tahu modusnya. Palingan dia malas berlama-lama di rumah sakit. Mana bisa dia direpotkan sama aku dan yang lain. “Nggak usah, Mbak. Nina bentaran doang. Ngapain lama-lama. Kayak nggak ada kerjaan aja di sini.”

“Ya emang gak ada. Kamu kan kerjaannya cuma nyusahin Ahmad.”

Aku memutar bola mata jengah. Ibu mertua hanya diam saja, tak ikut menyela atau mendebat pernyataan Mbak Mita yang terdengar sangat tidak sopan.

“Mad, Ibu pulang dulu, ya? Jani takut nyariin. Malam ini sama Nina saja di rumah sakit nggak apa, kan? Besok Ibu ke sini pagi-pagi sekalian bawa sarapan buat kamu dan Nina. Ya?” pamit Ibu mertua.

“Ya, Bu. Ibu nggak ke sini lagi juga nggak apa. Capek bolak balik Cilacap -Banyumas.”

Perkataan Mas Ahmad tentu membuat Mbak Mita tersenyum. Lihatlah, kakaknya saja sangat antusias jika Mas Ahmad bersamaku saja tanpa direpotkan keluarga. Sungguh tidak etis punya Ipar macam Badak bercula.

“Mana kunci motor?” tanya Mbak Mita menadahkan tangannya.

“Lah, tadi ke sini pake apa? Kok minta kunci motor sama Nina?”

“Tadi Bu Waluyo minta agar Mbak bawa motor yang dipinjam kamu sekalian. Mana mau dia lama-lama dipinjami kamu. Rusak nanti! Mana?” sarkasnya dengan suara naik satu periode.

Aku sedikit nggak percaya sih, masa sih Bu Waluyo meminta motor yang aku pinjami ini segera dikembalikan? Kayaknya mustahil beut kan.

“Mana? Ih, lama!” sentaknya hendak menyerobot tas selempang yang aku pakai.

Aku menariknya kembali. “Sabar napa sih! Nggak sopan banget jadi Ipar. Nina kutuk jadi jelek tahu rasa kamu,” umpatku lirih, semoga saja mendengar biar bisa sadar diri dia.

Ternyata dia tidak membalas umpatan setelah aku memberinya kunci. Aku percaya saja deh, semoga sampai di rumah bisa selamat itu motor. Mengkhawatirkan! Nggak mau dikasih gimana, dikasih juga gimana. Ah, dilema.

Mereka pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun padaku. Ya nggak berharap makasih juga, tetapi setidaknya pamit kek.

“Gitu, tuh, Mbakmu, Mas. Nina khawatir motornya Indah nggak aman sampai rumah,” aduku.

“Hus, ngomong yang bener. Ucapan adalah doa. Mungkin Mbak Mita sengaja bawa motor itu karena mau dipakai anaknya Bu Waluyo itu. Jangan suudzon, nggak baik!” ucap Mas Ahmad terdengar membela mereka.

Sore berganti malam. Kini aku duduk di kursi tunggu ruangan Mas Ahmad dengan bosan. Bagaimana tidak, Mas Ahmad tidur dan bangun makan doang. Aku harus menahan kantuk dan menemaninya. Mana si ipar nggak datang-datang pula. Dah kuduga, janji doang mau anter baju ganti dan datang lagi ke sini, nyatanya hanya hoax belaka.

“Mas, kayaknya Mbak Mita nggak ke sini deh. Ini sudah jam 9 malam,” sarkasku.

“Iya. Nggak apa lah, mungkin nggak sempat.”

“Tapi, Mas, aku belum ganti baju sejak pagi loh.”

“Nggak apa. Mas belum mau cium kamu, kok.”

“Nggak lucu!”

“Serius. Nggak ada yang bakal tahu kamu belum ganti baju. Kamu tetap cantik di mata Mas, meski nggak mandi dan ganti baju berhari-hari.”

“Nggak usah gombal! Kagak mempan.”

Mas Ahmad nggak akan tahu, gimana rasanya nggak mandi dan ganti baju. Sehari saja rasanya udah lengket dan risih. Bagaimana kalau sampai menunggu besok? Oke kalau baju nggak ganti, tapi daleman? Nggak bisa aku tuh. Meski ekonomi di bawah kata cukup, tetapi urusan kebersihan aku juara.

Aku mengirimkan pesan pada Jani, menanyakan Mbak Mita kapan datang. Jawabannya sungguh membuat kepala ini berasap.

“Kata Mbak Mita, nggak bisa ke sana sekarang. Udah malam dan Mbak Mita ngantuk. Takut nggak fokus saat naik motor.”

Ya salam… ingin rasanya aku menelan mereka satu-satu. Tahu begini tadi aku pulang saja dan nggak kasih motor pinjamanku.

“Loh, lalu Mbak gimana? Ini nggak ganti dari pagi loh. Mana lengket semua kena keringat,” balasku dengan ditambahkan emot kesal.

“Nggak apa, Mbak. Nggak usah lebay deh, kayak yang biasanya mandi aja.”

Jani benar-benar keterlaluan. Bocah SMP itu juga tampak menyebalkan, sama seperti kakaknya. Jika sudah begini, aku harus bagaimana?

Aku selonjoran di bawah samping ranjang Mas Ahmad karena ruang rawat kelas ekonomi tentu berbeda dengan rawat biasa. Tanpa sofa dan tentu saja kebanyakan menemani pasien dengan membawa alas tidur sendiri. Namun aku, jangankan alas tidur, baju saja aku tak bawa saking buru-burunya tadi.

Mas Ahmad sudah terlelap, terdengar dari dengkuran halus yang terdengar darinya. Sedangkan aku, dari tadi sibuk menabok nyamuk yang terus saja mengajakku bertarung.

“Nyamuk sialan! Awas ya,” gerutuku pada nyamuk-nyamuk yang seakan ikut menambah deretan kekesalanku.

Daripada nggak bisa tidur, aku memilih keluar rumah sakit. Membeli lotion di minimarket dan juga membeli camilan. Perutku sangat lapar karena tadi sore belum makan.

Rumah sakit yang sangat sepi aku telusuri demi dapat keluar menuju pedagang kaki lima di depan. Hingga kembali aku temukan keanehan suara di belakangku. Saat aku menengok, tak ada siapapun. Aku gegas berlari dan memakai jurus seribu bayangan.

Bukan penakut, tapi rumah sakit yang kerap dikenal sebagai sarang demit membuatku meremang sendiri.

“Nasi goreng satu, Pak. Dibungkus,” pesanku.

“Siap, Mbak. Nunggu ya.”

Aku pun duduk di kursi yang disediakan pemilik kedai kaki lima sambil melihat jalanan yang mulai sepi.

“Beli nasi goreng, Nin?”

Aku menengok lagi. Ternyata Bang Asraf lagi. “Loh, belum pulang, Bang sejak sore?” tanyaku.

“Udah. Tadi hanya ada urusan bentar. Kalau malam ini, baru saja berangkat. Praktik malam soalnya.”

“Kok ada di sini? Lapar juga?”

“Nggak. Tapi liat kamu, aku jalan dari parkiran buat sapa. Aku duluan ya,” pamitnya.

“Iya, Bang. Nggak mau nasi goreng?” Aku menawarinya basa basi, berharap dia nggak mau. Maklum, mode hemat.

“Makasih, lain kali saja.”

Bang Asraf berlalu masuk rumah sakit dan aku yang sudah mendapatkan makanan pesananku gegas membayarnya. Tak lupa, mampir ke minimarket untuk membeli lotion nyamuk.

**

Saat aku kembali, Mas Ahmad tampak masih terlelap. Aku membuka nasi goreng yang aku beli dan menyantapnya.

“Makan apa, Nin?” tanyanya.

“Mas? Kebangun, ya?”

Mas Ahmad mencoba bangkit tetapi aku gegas membantunya. “Mau ngapain bangun?”

“Mas lapar juga.”

Aku melirik nasi gorengku yang baru saja aku buka. “SIni aja, biar Nina ambilkan.”

Aku membawanya ke hadapan Mas Ahmad dan menyuapinya makan. Kami berdua menikmati nasi goreng bersama. Nikmat rasanya, meski ada rasa masih lapar melanda karena satu porsi yang harus dibagi dua. Tapi aku senang dan bersyukur karena Mas Ahmad juga tampak menikmati kesederhanaan ini. Bisa saja dia memintaku membelikan makanan lagi, tetapi dia tidak melakukannya dan memilih memakan nasi goreng yang telah aku beli ini untuk disantap berdua.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marimar
aiss.. romantisnya nasi goreng 1 bungkus berdua... yang sabar ya Nin.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status