Tiara mengira telah membangun surga bersama Damar. Selama dua tahun mereka hidup bahagia karena Damar menjadi imam yang sempurna baginya. Siapa sangka ternyata lelaki yang sangat dia percaya tega menorehkan luka teramat dalam. Dia dinikahi hanya untuk melahirkan keturunan karena Lela, istri pertama Damar yang disembunyikan tak bisa memberikannya. Pertemuan Tiara dengan madunya membuat dia seperti di tampar berkali-kali. Wanita yang dia anggap telah memperalatnya ternyata jauh lebih terluka darinya. Mampukah Tiara menerima takdirnya? Atau justru memilih mundur dan pergi dari kehidupan Damar bersama buah hatinya?
view more"Dek, malam ini Mas nggak bisa pulang. Mendadak ditugaskan ke luar kota." Sebuah pesan masuk ke aplikasi hijau milik Tiara.
"Jaga kesehatan ya, Dek. Jangan tidur terlalu malam. Mas merindukanmu." Satu pesan lagi menyusul sebelum Tiara sempat membalas.Wanita yang sudah menjadi istri selama dua tahun ini tersenyum membaca pesan romantis dari suamiya. Selama pernikahan mereka, sang suami selalu bersikap manis padanya terlebih saat dirinya melahirkan putri kecil yang lucu setahun yang lalu. Lelaki bernama Damar itu sangat memanjakan putri kecil mereka. Memang sejak awal merencanakan pernikahan, Damar mengatakan kalau dirinya tidak ingin menunda memiliki momongan. Beruntung satu bulan setelah menikah, Tiara dinyatakan hamil. Sejak itu, Damar selalu bersikap protektif padanya."Iya, Mas. Mas hati-hati ya di sana. Jangan terlalu capek. Kalau sudah selesai pekerjaannya langsung pulang, ya. Ara pasti merindukan papanya," balas Tiara.Wanita satu anak itu senyum-senyum sendiri kala mendapat balasan emot ciuman yang berderet panjang."Mas, Mas, kamu memang tidak berubah," gumam Tiara.Sudah dua tahun usia pernikahan mereka, wanita yang selalu menutup auratnya dengan sempurna itu masih saja berdebar-debar setiap berdekatan dengan suaminya, lelaki yang lemah lembut dan penyayang. Bahkan hanya mendengar suaranya saja dia sudah tak bisa mengendalikan perasaannya.Tiara mengecek seluruh pintu dan jendela, memastikan semuanya sudah tertutup sempurna. Setelahnya melakukan ritual malam sebelum tidur, yaitu menggosok gigi, cuci muka dan memakai skincare."Ya Allah, lindungi suamiku di manapun dia berada. Lancarkan semua urusannya, amin," do'a Tiara sebelum tidur.Baru saja hendak memejamkan mata, sebuah notif pesan kembali berbunyi. Tiara tersenyum mengira itu adalah suaminya yang mengirim pesan lagi."Ra, ini beneran suamimu, kan?" pesan Dina, sahabat baik Tiara sejak di bangku SD.Lalu menyusul sebuah foto yang menampilkan Damar dan seorang wanita yang tengah berbaring di rumah sakit. Tatapan suaminya tampak sedih melihat wanita itu. Tiara berusaha untuk tetap tenang sebelum tahu siapa wanita tersebut. Bisa jadi itu saudara suamiya karena selama menikah, Tiara belum mengenal seluruh keluarga Damar."Kapan kamu mengambil foto itu, Din?" Tiara membalas pesan sahabatnya."Baru saja, Ra. Kamu kenal sama wanita yang ada dalam foto ini?"Seperti ada ribuan jarum yang menusuk hati Tiara. Baru saja suamiya mengirim pesan kalau dirinya mau ke luar kota untuk urusan bisnis. Namun kenapa sekarang dia berada di rumah sakit? Siapa wanita itu?"Tak ingin menerka-nerka, Tiara mencoba mengabaikan pesan dari sahabatnya itu. Bukan dia tak percaya pada sahabatnya, hanya saja dia tak mau salah paham sebelum semuanya jelas. Meski begitu, hati Tiara tak tenang. Berbagai prasangka mulai meraja.Mendadak kamar Tiara yang sudah hening menjadi lebih hening lagi. Hanya suara napas Tiara yang terdengar nyaring karena berulang kali dia menarik dan menghembuskan napas panjang.Tiara masih berusaha untuk berpikir positif. Tidak mungkin suamiya berbuat macam-macam di luar sana. Karena sudah mencoba untuk memejamkan mata tapi tetap tak bisa, akhirnya Tiara memilih untuk bangun dan berjalan menuju ke ruang kerja suaminya. Biasanya, Jika dia merindukan lelaki itu ketika ditinggal ke luar kota, Tiara akan berdiam di ruang kerja suaminya sambil membaca buku atau sekadar duduk diam di sana. Kali ini, Tiara juga melakukan hal yang sama. Dia sangat mencintai Damar, jadi tak ingin mencurigainya. Bisa jadi sebelum berangkat ke luar kota, dia mampir ke rumah sakit karena ada rekan kerjanya yang sakit.Sesampainya di ruang kerja suaminya, Tiara berjalan mengelilingi rak buku yang lumayan banyak. Ada berbagai jenis buku di sana karena Tiara sangat suka membaca dan suaminya memenuhi keinginannya untuk membuatkan perpustakaan di ruang kerjanya.Mata Tiara menyusuri berbagai judul buku hingga menemukan sebuah buku yang tidak terlalu tebal berjudul "Bisnis Management". Dia tahu kalau buku itu adalah buku yang sering dibaca suaminya. Entah ada dorongan dari mana dia akhirnya mengambilnya.Saat dia membuka buku tersebut, sebuah kertas meluncur jatuh ke lantai. Penasaran dengan kertas itu, Tiara mengambilnya."A-apa ini?" Tiara menajamkan matanya membaca sebuah struk belanja yang tintanya sudah memudar. "Kapan Mas Damar membeli ini semua? Perasaan aku tidak pernah menerima hadiah seperti ini," gumam Tiara.Di sana tertulis jenis belanjaan yang menghabiskan sekitar 15 juta. Sampai di sini Tiara masih berpikir positif. Barangkali Damar membelanjakan keluarganya. Wanita itu lalu memilih duduk di kursi kebesaran suaminya. Lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Membayangkan wajah suaminya yang selalu ceria setiap bersamanya.Tanpa sengaja tangan Tiara menyenggol tumpukan berkas yang ada di meja ketika hendak bangkit. Tiara membungkuk untuk memunguti berkas-berkas tersebut. Lagi, dia menemukan sebuah struk belanja. Kali ini barang yang dibeli adalah keperluan orang sakit seperti popok sekali pakai untuk orang dewasa. Tiara melihat tanggal struk tersebut dan ternyata itu dua hari yang lalu.Entah mengapa pikiran Tiara langsung terhubung pada foto yang dikirim Dina barusan. Seketika jantung wanita itu berdetak kencang membayangkan suaminya bersama wanita itu. Spontan Tiara berjalan keluar meninggalkan ruang kerja suaminya dan mengambil gawainya."Ayolah, Din angkat!" gumam Tiara nggak sabaran."Halo, Ra ada apa?" jawab Dina ketika panggilan sudah terhubung."Din, kamu masih di rumah sakit?""I-iya. Emangnya kenapa, Ra? Aku nungguin sepupuku yang lagi opname ini.""Di rumah sakit mana?""Hah?""Di rumah sakit mana?" Tiara setengah membentak. Dia harus memastikan sesuatu malam ini juga. Dia nggak mau didera rasa curiga karena temuan-temuan struk belanja yang aneh.Setelah mendapat informasi rumah sakit dan kamar dari wanita yang ada dalam foto yang dikirim Dina barusan, Tiara langsung keluar mengendarai motor agar cepat sampai. Sebelumnya dia sudah menitipkan putrinya pada pengasuh yang bekerja di rumahnya.Sepanjang jalan, Tiara tak bisa tenang. Pikirannya semakin kacau saat kakinya mulai menginjakkan kaki di rumah sakit. Ia segera mencari kamar yang sudah diberi tahu oleh sahabatnya. Dengan napas ngos-ngosan, Tiara berhenti di depan pintu kamar VIP.Jantungnya berdetak kencang ketika mengintip melalui kaca. Di dalam sana, suaminya yang pamit ke luar kota tengah duduk di samping brankar. Sama seperti yang ada di dalam foto. Mendadak lutut Tiara menjadi lemas. Jantungnya berdetak dengan cepat ketika melihat suaminya menatap khawatir pada wanita yang terbaring lemah di dalam sana."Tiara?" Spontan Tiara menoleh."Din? Mas Damar, dia ... dia-" Tiara tergugu di depan pintu kamar rawat wanita yang belum diketahui identitasnya itu.Dina memeluk tubuh Tiara. "Sabar, Ra. Kita belum tahu siapa wanita itu. Jangan berpikiran negatif dulu. Lebih baik kamu pastikan sendiri.""Tapi, Din, Mas Damar sudah berbohong. Dia bilang mau keluar kota. Nyatanya?" Tangis Tiara pecah."Mungkin dia punya alasan menyembunyikannya. Ayo, kutemani kamu masuk." Dina membuka pintu. Spontan Damar menoleh dan kedua matanya membulat melihat istrinya sudah berada di sana."Dek? Ka-kamu kenapa bisa ada di sini?"Fajar menyingsing, memercikkan jingga keemasan di ufuk timur. Tiara memandang deretan pegunungan yang tampak seperti lukisan, siluetnya berpadu dengan kabut tipis yang masih enggan beranjak. Kalimat singkat yang ia kirimkan pada Damar terasa seperti batu yang baru saja dilepaskan dari dadanya, ringan sekaligus membebani. Apakah ia terlalu cepat? Ataukah justru terlambat?Suara gemerisik daun kelapa yang tertiup angin pagi mengisi keheningan. Tiara memutuskan untuk berjalan-jalan kecil di sekitar desa, menghirup udara pegunungan yang segar. Langkah kakinya membawanya menyusuri jalan setapak berbatu, melewati sawah terasering yang hijau membentang bagai permadani. Aroma tanah basah dan embun pagi menenangkan jiwanya yang bergejolak.Saat melewati sebuah warung kopi sederhana, Tiara mendengar sayup-sayup obrolan dari dalam. Sesuatu tentang “wanita kota” dan “pria mencari” menggelitik telinganya. Jantungnya berdesir. Ia mempercepat langkah, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menusuk.
Malam datang dengan sunyi yang menyesakkan. Di rumah kecil yang hanya diterangi lampu gantung temaram, Tiara masih belum juga bisa memejamkan mata. Putri semata wayangnya sudah tidur sejak dua jam lalu, tapi gelisah dalam dada sang ibu terus bergejolak. Sudah hampir enam purnama ia pergi dari rumah. Meninggalkan semua kenangan buruk yang membuatnya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan suaminya. Hingga saat ini tak ada sedikit pun kabar dari rumah. Bahkan Tiara yakin suaminya kini sedang sibuk mengurusi istri satunya. Mengingat wanita yang mengaku bernama Lela itu sedang sakit parah, Tiara meyakini lelaki yang pernah membuatnya seperti dicintai dengan sangat itu mencarinya hanya karena rasa bersalah dan takut kehilangan. Kehilangan cinta dan wanita yang memujanya.Tiara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan pandangannya menerawang ke jendela yang tak tertutup rapat. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menyelimuti malam dengan irama al
Namun bukan wajah Tiara yang menyambut pandangannya. Damar tercekat. Yang menatapnya dengan mata penuh iba adalah Rani—keponakannya yang sejak tadi membantu Wina beres-beres halaman belakang. "Om... nggak apa-apa?" Rani bertanya pelan, setengah ragu. Ia menggigit bibir bawah, tak tahu harus ikut bicara atau membiarkan sang paman dengan kesedihannya sendiri. Damar buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah dan frustasi, tapi juga malu. “Om nggak papa,” ujarnya cepat, lalu berdiri, menepis debu di celananya. Rani menunduk, lalu berkata pelan, “Om cari Tante Tiara, ya?” Damar hanya menatap gadis itu. Pandangan matanya sayu, penuh tanya yang tak terjawab. “Kamu tahu di mana dia?” Rani menggeleng cepat. “Nggak tahu pasti, Om. Tapi waktu terakhir Tante ke sini, dia sempat ngobrol lama sama Mama di gazebo belakang. Setelah itu... Tante pamit pergi, sendiri.” Damar mengerutkan alis. "Sendiri?" Rani mengangguk. “Iya. Kayaknya Tante bawa mobil sendiri, sam
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments