Serta merta Nadine bergerak cepat dan secepat kilat merebut kunci mobil dari tangan Arza.
Sekarang kunci itu akhirnya berada di tangan Nadine.Namun ketika Nadine bersiap menutup pintu mobil, tiba-tiba saja George mengambil gerak cepat melompat dan ikut masuk ke dalam kendaraan.
"Aaaaaa!” Nadine berteriak.
Huupp!
Arza melakukan sesuatu. Telapak tangan kanan Arza yang kasar segera membungkam mulut Nadine. Sementara tangan kirinya menahan tangan wanita itu, hal ini membuat perempuan tersebut tak mampu bergerak bebas.
"Nadine, sudah cukup aku bersabar dengan penolakanmu! Sudah cukup aku mengalah dengan sikapmu yang kasar dan tak bisa sedikitpun menerima kehadiranku." ucap Arza Kasar.
Nadine ingin berontak, namun sama sekali ia tak bisa.
"Kau pikir kau akan dengan mudah lepas dariku? Hahaha." Arza tertawa lirih bak orang Gila.
Batin Nadine mulai menangis. Tidak menyangka akan menemui hal sebegitu pelik.
Bab 68Di kamarnya, Nadine masih saja terbayang akan kejadian yang menimpanya tadi siang."Tunggu saja kau Arza akan kulaporkan kau kepada pihak yang berwajib!" Nadine berkata seorang diri."Berani-beraninya kau bersikap terlalu kurang ajar padaku!"geramnya lagi.Tidak terkira bagaimana besarnya kebencian yang Nadine rasakan atas perlakuan buruk Arza.Tengahnya dalam kekesalannya, sebuah notifikasi muncul di atas layar ponsel.Nadine mengernyitkan dahi."Nomor siapakah ini? Tidak tersimpan dalam kontak telepon." Nadine bingung. Perasaan malas membuatnya mengabaikan notifikasi itu. Notifikasi itu datang berulang kali.Terasa mengganggu, dengan malas, Nadine meraih ponsel. Lagi-lagi Nadine harus mengelus dada. Setelah dicek, nomor asing itu mengirimkan sebuah pesan yang cukup panjang.[Nadine, jangan pernah kau mengatakan apapun kepada orang lain meskipun suamimu sendiri, atas apa yang pernah terjadi denganmu. Khususnya ke
Nadine terkesiap dari lamunannya tatkala didengarnya suara bel. Ia melangkahkan kaki menuju ke ruang depan."Siapa, Bi?" Nadine bertanya kepada asisten rumah tangganya. "Alea, Nyonya." Jawab Bi Lasmi. "Alea?" Nadine mengernyitkan dahi. "Ini kan belum saatnya dia pulang?" Nadine bertanya heran. "Entahlah, Nyonya. Mungkin hari ini jadwal mata pelajaran lesnya memang sedikit, atau apalah. Hehee Bibi tidak tahu pasti masalah pelajaran sekolah. Maklum hanya tamatan SD." Bi Azmi terkekeh. Nadine hanya tersenyum simpul mendengarnya. Hari ini adalah jadwal untuk les privat bahasa Inggrisnya. Namun anak ibu pulang lebih cepat. Membuat Nadine bertanya-tanya. Kebetulan hari ini adalah hari libur nasional. Namun les buat Alea tetap berjalan seperti biasanya. &nbs
"Hentikan bicaramu. Datang-datang cuma ingin menciptakan kegaduhan!" Nadine mengumpat kasar. Untung di dapur sana tidak ada siapa-siapa. Jadi Arza bisa berpikir lebih. "Jikalau sudah selesai urusanmu di sini, pulang sana! Tidak usah berdiam diri berlama-lama di rumah kami!" "Laki-laki busuk!" cemoh Nadine lagi. "Hey, ada apa ini?" tiba-tiba sebuah suara berat mengganggu pendengaran mereka. Arza kaget. Itu suara George. Segera Arza berusaha menguasai keadaan. Mengekspresikan muka sedemikian rupa. Sedangkan George menatap Arza dengan raut muka curiga. "Maaf, Pak George. Saya tidak bermaksud untuk bertengkar dengan siapapun. Seperti yang sudah kuceritakan sama Bapak sebelumnya. Bahwa aku datang hanya dengan niat ingin berbicara biasa soal anak-anak. Tapi
"Ma, sebaiknya beri kesempatan pada Arza untuk menemui anak-anak. Tolong Mama jangan merasa tertekan. Papa hanya ingin Mama mengerti perasaannya Arza. Jika kesalahan di masa lalunya masih meninggalkan amarah di hati Mama. Tolong maafkan dia. Papa lihat, sekarang Arza sudah berubah lebih baik. Mungkin penjara telah menyadarkannya." George berbicara pelan dan hati-hati. Niat dalam hatinya adalah untuk memberi pengertian pada istri tercinta. "Pa, sebaiknya Papa dengar Mama. Mama mohon jangan percaya sama dia. Arza bukan orang baik, Pa. Sampai kapanpun dia bukan orang baik. Hatinya licik, sikapnya licin. Pandai berakting di sana-sini. Dia pendusta. Papa yakin seseorang seperti dia gampang untuk berubah? Tidak, Pa. Percayalah. Aku telah mengenal laki-laki itu sejak lama." Nadine berusaha untuk menjelaskan pribadi Arza kepada sang suami. "Ma, Papa tidak menyangkal ucapan Mama. Hanya saja, ta
Bab 72 "Ah kukira penting. Tanya ini itu, eh ternyata nyasar. Nomor aneh." Gerutu George sembari kembali duduk. "Kok bisa nomor nyasar ya, Pak? Ah zaman sekarang memang tak bisa ditebak. Banyak orang yang berperilaku aneh aneh." Timpal Arza. "Ya begitulah." "Oke Arza. Soal niatmu yang menginginkan nomor kontak Davin dan Divan. Akan kuberi tahu mereka terlebih dahulu. Jikalau mereka mengizinkan, maka sudah pasti aku akan memberitahumu. Tapi kamu tenang dulu. Jangan terlalu berkecil hati, meskipun sekarang mereka kelihatannya kurang berkenan, namun suatu saat aku yakin, mereka perlahan pasti bisa menerimamu kembali sebagai orang tua. Aku mengerti keadaanmu, Arza. Tetaplah untuk bersabar." George berkata dengan niat menghibur dan membesarkan hati Arza. Namun ternyata tanpa George ketahui, lelaki
Bab 73Muka Arza merah padam melihat siapa yang berjalan tepat ke arahnya. Serta-merta Arza mematikan sambungan panggilan seluler bersama Zea."Ya Tuhaan ... lindungilah hambamu ini. Hamba mohon!" Arza berdoa penuh harap. "Mmm ... Pak George?" "Mengapa kamu belum bersiap pulang? Ini kan sudah lewat jam pulang?" tanya George kaget melihat Arza masih beada di lokasi pekerjaan. Arza yang sebelumnya gugup, sekarang bisa bernafas lega. "Syukur. Puji Tuhan, dia tidak bertanya soal percakapanku dan Zea. Semoga saja dia tidak mendengar percakapan kami tadi." Dalam hati Arza kembali berdoa. "Mengapa mukamu kelihatan agak pucat, Arza?" tanya George heran dengan ekspresi Arza. Pertanyaan itu kembali menyuguhkan rasa cemas di benak Arza. Kekhawatiran ket
Bab 74 "Pak. Saya mohon jangan pernah berpikiran untuk memecat saya. Sungguh saya sangat bersyukur karena telah diizinkan untuk bekerja di sini. Andaikan kemarin aku tidak bekerja di sini, sudah tentu aku tidak mempunyai pekerjaan apapun lagi sekarang. Soalnya Bos di tempatku bekerja selama ini, telah memberhentikan semua karyawannya. Padahal di rumah, aku masih mempnyai seorang ibu yang telah berusia lanjut yang perlu aku cukupi kebutuhannya." Arza berkata dengan mata berkaca-kaca. benar-benar mengecoh setiap mata yang menyaksikan tingkahnya. George sungguh semakin tersentuh dengan sikap Arza yang nampak begitu bisa dipercaya. "Semalaman ini aku selalu berpikir akan ibuku yang sudah tua. Alangkah sedihnya jika seandainya aku tidak punya pekerjaaan. Rasanya tak sanggup membayangkan jikalau aku tak mampu untuk menyuguhkan makanan buat Ibu." Arza berucap dalam kesenduannya.&
Bab 75Matanya menatap nanar gambar-gambar kemesraan George bersama seorang wanita. Batin wanita itu terkhenyak pilu. Tidak bisa dibayangkan bagaimana sakit dan perihnya hati Nadine. Hanya orang-orang yang pernah merasakannya saja yang bisa mengerti ketika berada dalam posisi Nadine saat ini. Nadine lemas. Tulang belulangnya terasa tak lagi bertenaga. Berulang kali Nadine memastikan dan berulangkali juga ia memperhatikan foto-foto itu dengan seksama. Namun berulang kali juga ia harus merasakan luka hatinya semakin menganga. "Benarkah semua ini George lakukan? Jikalau benar, Alangkah naifnya aku selama ini terlalu menaruh kepercayaan terlalu besar untuknya." berulangkali Nadine mengusap muka. Batinnya menangis. Tidak terasa mengalirlah butiran-butiran bening dari kedua sudut matanya. Meleleh kian deras hingga ia lupa bahwa saat ini masih saatnya jam kerja.