Di rumah sakit, Mas Bambang sangat semangat untuk bisa berjalan. Terapi pertamanya, membuat dia sedikit kelelahan. Akan tetapi, tidak mengendurkan semangatnya.
Dibantu dokter dan suster, hari ini cukup baik. Setelah itu, kami kembali pulang ke rumah. Aku sengaja tidak ingin pergi ke mana-mana. Beristirahat karena memang sedang lelah melakukan banyak aktivitas.Otakku pun lelah menghadapi beberapa orang hari ini. Ah, tapi aku butuh refleksi. Sepertinya aku tahu kemana harus pergi merilekskan pikiran."Mas, kalau Mas pulang dengan Pak Ardi, nggak apa-apa?" tanyaku."Nggak masalah, memang kamu mau ke mana?""Ke salon sebentar, kepala agak sedikit pusing, enak kalau di pijat. Nanti, turunkan saja aku di salon, kalau mau pulang, aku minta Pak Ardi menjemputku, Mas.""Iya, sudah terserah kamu saja. Mas cuma bisa bilang hati-hati." Mas Bambang berpesan padaku.Pasti aku selalu hati-hati karena musuh akan semakin banyak saat aku mencoba membuat mereka merasakan kesusahan. Apalagi Mas Wiji, aku tahu dia seperti apa. Tidak akan menyerah untuk mendapatkan keinginannya.Sesampainya aku di salon, mungkin dia berjodoh denganku. Ada Rianti di ruang tunggu. Segera aku ke kasir dan meminta ruang khusus untukku. Dia menganga melihat kehadiranku. Aku yang baru datang sudah masuk ke ruang khusus. Ya, ruang khusus, yang begitu mahal biayanya. "Raisa, kamu sedang apa di sini?" tanyanya sebelum aku masuk."Kamu bertanya padaku? Kamu bisa baca nggak ini ruang apa?"Ia menatap tidak percaya. Lalu, mencoba klarifikasi dengan orang salon. Pasti dia berpikir aku tidak bisa membayarnya."Mba, hati-hati penipu. Dia itu pengemis, gelandangan, masa masuk ruang khusus?""Maaf, Mba, Ibu Raisa sudah membayar full, ko untuk ruangan itu. Jadi, tuduhan Anda tidak terbukti. Maaf, jangan berbuat kegaduhan di sini."Wajah Rianti berubah masam. Ia mendekatiku, sudah pasti ingin mengecek perkataan Mbak salonnya. Ia menatapku dari ujung kepala, hingga ujung kaki."Kenapa, Rianti? Ada yang salah, dari pengemis ini?""Ka--kamu, jangan bercanda. Dari mana kamu mendapatkan semua kemewahan ini?" tanyanya gugup.Pasti dia mengerti, barang apa saja yang sangat mahal. Sengaja, mulai dari kaca mata, tas, sepatu dan blezer yang kupakai. Aku menyunggingkan senyum sambil mengambil uang lima lembar berwarna merah untuk tips yang kumasukkan dalam kotak yang mereka sediakan."Aku duluan, ya, Rianti. Selamat menunggu."Bagaimana? Enak melihat kemewahanku, sedangkan kamu, hanya sebagai penonton saja. Dulu kamu nelempar uang dua puluh ribu saat Arman meminta padamu. Aku tidak pernah mengajarkannya, tetapi, karena saat itu aku sedang sakit, dan tidak bisa mencari uang, sat melihatmu, ia berinisiatif meminta uang untuk membeli obat untukku. Teganya kamu pada kami. ***Setelah selesai lulur dan pijat, aku melihat keributan di depan kasir. Rianti sedang beragument di depan kasir. Sengaja aku menghampiri, melihat apa yang sedang terjadi. Wah, Rianti terlihat begitu cemas saat semua kartu yang ia keluarkan sudah tidak bisa berfungsi.Ia melihat aku yang datang menghampiri. Lalu, ia berjalan ke arahku."Sa, pinjamkan aku uangmu. Nanti, aku ganti." "Uangmu yang banyak itu ke mana? Suamimu sudah jatuh miskin, kah?""Jangan banyak bertanya, pinjamkan aku sekarang." Ia meminta setengah memaksa.Untuk apa berlama-lama di sini, tak kuanggap permintaannya. Dulu, perlakuannya lebih menyakitkan."Maaf, Anda, siapa? Jangan sok kenal dengan saya. Permisi."Langsung saja kupakai kacamata hitam, lalu ke luar salon dengan senyum penuh kemenangan."Sa, tunggu aku. Sa, aku mohon, pinjamkan aku lima ratus ribu saja.""Anda, mau pinjam uang sebanyak itu?" "Sa, tolong, aku tidak mau di penjara atau di ambil ponselku sebagai jaminan.""Ck! Aku tidak punya waktu melayani kamu, oh, iya, aku hanya ada uang 50.000 cash, kalau kamu mau, bisa untuk naik angkot pulang ke rumah suamimu."Sepertinya pas sekali, Pak Ardi sudah datang menjemput. Maaf, Rianti. Ini hanya pelajaran kecil untuk kamu.Aku melambaikan tangan dari mobil, sedangkan Rianti, kupastikan dia meratapi nasibnya.Pas sekali, ia tidak bisa menggunakan kartu ya. Aku bisa membuatnya menyesal telah membuat aku menderita.Dalam perjalanan pulang, seperti ada yang tidak beres. Kenapa mobil di belakangku seperti sengaja ingin menabrakkan mobilnya ke arah mobilku?"Pak, lihat mobil yang di belakang?""Iya, Nyonya. Seperti mau menyusul kita."Raisa, tenang, jangan cemas. Hanya kalimat itu yang aku bisa ungkapkan kala aku khawatir dengan mobil di belakang kami. Bagaimana ini, Allah, tolong aku dan Pak Ardi. Jangan sampai aku mengalami hal yang mereka inginkan. "Pak, lampu hijau, kita putar arah, jangan ke kanan, tapi ke kiri, biar saja terobos itu mobil yang sebelah."Pak Ardi mengikuti apa yang aku perintahkan. Benar dugaanku, mobil itu tahunya aku akan berbelok ke kanan karena memang dia tahu arah tujuan kami pulang ke rumah.Aku mengelus dada, begitu juga Pak Ardi. Kini, kami melewati rute yang berbeda. Dan agak lumayan jauh. Aku sengaja menaruh mobilku di bengkel untuk sementara waktu dan pulang bersama Pak Ardi menggunakan taxi online.***"Kamu nggak apa-apa, kan, Sa?" tanya Mas Bambang cemas."Nggak, Mas. Untungnya aku cepat melihat keganjilan itu. Untuk sementara, kita jangan ke luar dulu. Aku mau cari pengawal untuk Mas dan aku. Mas setuju, nggak?""Mas setuju saja. Kalau memang yang terbaik untuk kita.""Siapa yang melakukan itu?""Aku belum tahu, Mas. Nanti aku minta detective untuk mencari info. Mas lebih baik tenang, ya.""Bagaimana aku bisa tenang, Sa. Nyawa kamu sedang terancam."Mas Bambang begitu cemas padaku. Wajar, dia takut bahaya membuat aku terluka. Padahal, aku yang harusnya mencemaskan dia. Bukan dirinya, aku bisa menjaga diri, sedangkan Mas Bambang, berjalan saja sulit. "Mas, tenang, ya. Aku sudah menghubungi temanku. Semua akan dilacak, siapa yang berusaha melukai aku."Setelah itu, aku merebahkan diri di kasur. Jujur saja, aku merasa takut dengan ancaman ini. Namun, aku harus tenang, untuk saat ini, aku tida ingin gegabah. Armand masih membutuhkan aku. Aku harus kuat, Ya Allah, kuatkan aku menghadapi banyak cobaan untuk naik kelas.Siapa tersangkanya? Apa Mas Wiji? Atau kelima anak Mas Bambang yang ingin menyingkirkan aku? Atau orang yang tidak suka dengan kehadiranku di rumah ini dan di kehidupan Mas Bambang?Aku harus kuat, bersabar dalam menghadapi semuanya. Baru saja aku tersenyum melihat Rianti menderita, kenapa kini aku yang cemas oleh orang yang tidak bertanggung jawab.Untung saja aku bisa melarikan diri dari kejaran mereka. Hari ini aku selamat, entah esok hari. Bagaimana aku bisa menyelamatkan diri ini?***Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja.Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing.Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok."Kamu siap, Irma?" tanyaku."Siap, Bu.""Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang."Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."
Aku tercekat saat menatap layarponsel.Jantung ini berdetak tak karuan, aku takut? Ya, siapa yang tidak takut saat mendapat pesan ini.Segera kutelepon Irma untuk datang ke ruanganku. Tidak lama wanita itu sudah menghadap. Kuberikanponselitu untuk dibaca oleh Irma."Irma, kamu tahu maksud ini?" tanyaku."Ini sebuah ancaman. Kita bisa melacak nomernya," jelas Irma.Irma terus memperhatikan sekeliling. Ia terus melangkah ke tiap sudut ruangan, sampai ia mendapatkan sesuatu yang membuat aku tercekat.Sebuah CCTV, siapa yang berani memasangnya? Irma mencabut kasar, ternyata wanita itu sangat jeli memperhatikan."Ir, kamu hebat. Bagaimanapun kamu tahu ada yang memasang ini?" tanyaku pelan."Aku sudah lama menjadi pengawal. Aku banyak tahu trik abal-abal seperti ini. Jangan takut, Bu Raisa. Ada saya yang akan menjaga Ibu."Aku tidak
Aku seperti melihat adegan filmaction. Irma ke luar dengan berani dari mobil menghampiri pria tak dikenal itu. Sungguh berani nyalinya, bahkan aku takut Irma terluka.Irma wanita tangguh yang pembera7. Ia sudah terbiasa mungkin denga hal itu.Astaga, pria itu hampir saja membuat Irma terjatuh, tetapi gadis itu lebih cepat menendang perut si penjahat. Ah, Irma, kenapa aku yang deg-degan di sini.Irma mengambil balok, lalu memukul tubuh pria itu. Tidak lama ia berhasil menundukkannya. Kaki Irma kini mantap berada di atas perut penjahat itu.Kubuka kaca mobil dan meneriaki Irma untuk cepat masuk ke mobil. Kulihat dia menarik penutup wajah pria itu, tetapi sepertinya aku tidak mengenalnya.Kulihat Irma menarik kerahnya, lalu beberapa kali menampar wajah pria itu. Keren, seperti melihat adegan dalam sebuah film.Sepertinya Irma akan melakukan sesuatu. Dia mengambil tali di sampingnya. Lalu, mengikat
Aku harus mencari tahu siapa dibalik semua ini. Rekaman itu harus kutemukan, jika tidak ingin berlarut dalam sebuah masalah. Aku menarik napas panjang, lalu mengambil tas danponsel.Segera kutelepon Irma untuk menungguku di kantor. Sepertinya aku harus menemui Mas Wiji, semoga saja bisa membuka kedok siapa yang ada di balik semua ini.Jika benar Mas Wiji yang melakukan itu padaku, kupastikan dia akan membusuk di penjara.Aku meminta Pak Ardi mengantarku ke kantor. Kebetulan, dia ada di rumah dan mobil sudah dibawa dari bengkel kemarin sore."Nyonya, yakin pergi sendiri?" tanya Pak Ardi cemas."Yakin, Pak. Kalau nggak, saya takut masalah akan berlarut."Setelah mendengar penjelasanku. Pak Ardi mengantarku ke kantor, ada rasa takut juga terjadi hal semacam kemarin. Begitu juga Pak Ardi yang sangat cemas."Pak, sebelumnya apa pernah kejadian ini menimpa Mas Bambang?" tanyaku.
Mas Bambang masih saja diam sampai hari ini. Mumet sekali kepalaku. Kenapa harus berhubungan dengan Mas Wiji? Menyebalkan sekali akibat pria itu aku terkena masalah. Lagi pula, pintar sekali mencari celah untuk membuat aku terlihat memiliki hubungan dengan Mas Wiji."Masuk," ucapku saat mendengar orang mengetuk pintu.Pria yang aku pikirkan kini berada di hadapanku. Mau apalagi dia di sini? Kupasang wajah tidak suka padanya. Namun, ia sepertinya tidak peduli. Datang ke ruanganku, pasti ingin membuat kegaduhan."Sa,to the point'aja. Aku datang ke sini untuk meminta kembali jabatanku. Kamu pikir dengan gaji karyawan biasa aku bisa membayar semua pengeluaran aku?""Mana aku tahu tentang itu. Aku hanya melakukan dengan keinginanmu, kan Mas? Kemarin kamu memilih untuk turun jabatan.""Ck! Karena kamu memberikan aku pilihan sulit. Nggak mungkin aku memilih hidup di penjara.""Lebih bagus, kan. Ngg
Sesuai janji, Arfian mengajakku ke tempat yang menurutnya bisa membuat pikiran jernih. Sebelum pergi, Irma sudah mewanti-wanti aku agar jangan mematikanponsel.Irma mengatakan sesuatu bisa saja terjadi, maka dari itu aku harus waspada dannjangan sampai terjadi hal yang membuat aku menyesal.Perasaan ini tak karuan saat Mas Bambang meneleponku. Tak kuhiraukan, karena percuma suamiku akan bertanya macam-macam. Mungkin, fotoku bersama Arfian sudah masuk ke ponselmiliknya.Benar dugaanku, sebuah pesan darinya begitu keras. Ia mengirimkan sebuah foto aku saat memasuki mobil Arfian. Aku menarik napas panjang, setelah itu kubaca pesan darinya.[Mas kecewa][Kamu tidak tulus]Aku menghela napas mencoba untuk meraup pasokan oksigen. Aku tahu ini menyakitkan bagimu, Mas. Namun,semua kulakukan untuk membuktikan jika aku tidak salah.Maaf, Mas. Ini demi nama baik aku yang terlanjur salah di matamu. Ak
PoV IrmaTiba-tiba saja koneksi Bu Raisa menghilang. Sementara, ia bersama Arfian yang sangat berbahaya. Kucoba untuk meneleponnya.Ah, pasti dia masih berdekatan dengan Arfian, sampai tidak mengangkat telepon dariku. Semoga saja Bu Raisha tidak apa-apa. Salahku kenapa tidak mengikutinya dari belakang. Kupikir, Arfian terlalu licik untuk hal ini.Kucoba mengirimkan pesan pada Bu Raisha. Syukurlah, ia sudah membaca dan membalas. Namun, sepertinya aku telat memberitahukannya.[Arfian tidak mau berhenti. Bagaimana ini Irma?]Dalam pekerjaan ini aku tidak pernah kecolongan. Kali ini aku sangat menyesal melepas Bu Raisa sendiri menjalankan misinya.Seperti yang dia katakan, beberapa foto sudah berada di tangan Pak Bambang. Sepertinya aku harus bergegas ke rumahnya sebelum ia berpikiran terlalu jauh.Aku tidak bisa tenang saat Bu Raisha tidak membalas pesan terakhir dariku.
"Bu Raisha sudah sadar?"Kudengar suara Irma menyapa, mata ini masih sangat sulit terbuka lebar. Ya Allah, aku selamat dari hal buruk yang dilakukan Arfian. Terima kasih karena aku masih bisa mendengar suara Irma.Kuanggukan kepala saat lidah begitu Kelu untuk berbicara. Hanya gerakan bada yang bisa dilakukan. Tubuh ini rasanya begitu sakit, teringat berkali-kali terlempar ke tanah.Bagaimana aku bisa di sini? Apa Irma tepat waktu menyelamatkanku? Aku tidak peduli, bagaimanapun, kini diri ini sudah aman bersama Irma.Setelah Irma, kini Mas Bambang sudah berada di hadapanku. Irma membantunya untuk berada di sisi ranjang. Kepala masih terasa berat untuk mengingat semua. Aku masih bersyukur masih bisa selamat."Sa, maafkan saya karena nggak percaya sama kamu. Saya sungguh bodoh, lebih percaya orang lain. Maaf."Samar-samar kudengar permintaan maaf dari Mas Bambang. Allah, terima kasih telah mengembalikan kepercayaa