Sengaja aku datang pagi untuk memeriksa data tentang anggaran yang dananya begitu besar itu. Kutelusuri semua berkas yang berhubungan dengan anggaran besar yang begitu saja ada di laporan keuangan.
Kuteliti lagi, tapi aku membutuhkan beberapa staff auditor. Kutelepon Arfian untuk datang ke ruangan. Tidak lama pria muda itu datang."Jangan panggil saya Nyonya. Ibu saja," pintaku karena dia kemarin memanggilku Nyonya.""Iya, Bu.""Tolong telepon auditor yang biasa mengurusi laporan keuangan. Tolong datang hari ini, bisa?" tanyaku memastikan."Sebentar saya telepon."Aku menunggu beberapa saat Arfian menelepon. Aku menggeleng saja, kenapa Mas Wiji seberani itu dalam bertindak. Berengsek sekali dia membuat aku menahan uang belanja dengan irit. Sementara, uang gaji sebesar itu dia gunakan sendiri. "Bu, mereka akan datang siang ini. Adabyang bisa saya bantu lagi?" tanyanya."Tidak, kmu bisa kembali.""Bu, boleh saya bertanya?"Sepertinya aku melihat hal yang tidak mengenakkan. Apa yang akan ditanyakan Arfian? Benar dugaanku, ia menanyakan hal pribadi. Jujur saja aku tidak suka jika ada yang bertanya tentang pernikahanku."Ibu masih muda, apa tidak berniat menikah dengan pria muda?" Pertanyaan Arfian membuat aku tertawa miris."Untuk apa mencari pria muda kalau hidup susah? Jaman sekarang, uang adalah segalanya." Aku puas membuat Arfian tidak berkutik.Benar bukan, menikah dengan Mas Wiji, hidupku susah. Setelah diselingkuhi, aku semakin menderita. Kini, saat Mas Bambang menawarkan diri sebagai suamiku, mengapa harus menolak?Tujuanku bukan harta, tapi aku ingin hidup layak. Membuat anakku keluar dsri penderitaannya. Dan, membuat Mas Wiji, merasa menyesal telah meninggalkanku."Fian," panggilku lagi."Iya, Bu.""Jangan sekali lagi bertanya hal pribadi. Karena aku tidak segan membuatmu mengundurkan diri."Wajahnya semakin pucat mendengar penuturanku. Biar saja dia kapok dan tidak banyak bertanya. Aku hanya ingin bekerja dengan profesional di sini."Maafkan, saya.""Ok, kembali ke ruanganmu."***Auditor telah memanggil akuntan di kantor sekaligus team mereka. Termaksud Mas Wiji, yang bertanggung jawab sebagai manager keuangan.Mereka semua terduduk lesu saat aku mengintrogasi mereka. Salah satu dari mereka bilang, hanya mengikuti perintah. Ck! Sama saja, jika mereka dapat uang dan menikmati hasilnya.Mas Wiji sengaja aku panggil ke ruanganku. Ayah dari anakku ini masih santai setelah semuanya terbukti. Namun, aku tahu dia pasti sangat cemas."Ada apa kamu mendatangkan auditor saat belum waktunya kantor ini di audit?" tanya Mas Wiji."Aku pemimpin di sini, bebas melakukan apa yang aku inginkan. Termaksud mengaudit keuangan perusahaan ini. Bahkan, menendang kamu dari sini." "Sombong sekali kumu, kamu pikir kau hebat?""Memang aku hebat, buktinya aku berada di atas kamu. Jangan lupa, dunia berputar. Jangan harap kamu bisa selamat dari masalah ini."Mas Wiji tertawa sinis, ia seperti menyepelekan aku. Kita lihat, Mas, aku atau kamu yang akan hancur "Aku bisa saja membawa kasus ini ke kantor polisi, tapi, aku masih berbaik hati padamu. Mulai hari ini, kamu kembali menjadi bawahan. Staff biasa, tanpa embel-embel jabatan." Aku menatap bengis pria yang telah menduakan cintaku.Mas Wiji menggebrak meja dengan keras. Wajahnya memerah, entah apa yang ia pikirkan sekarang. "Kamu nggak bisa seenaknya menurunkan jabatan aku!""Kenapa tidak, apa kamu mau aku buat langsung ke penjara?""Awas kamu, Sa!""Kamu mengancam aku? Aku nggak takut, Mas. Kamu harus merasakan saat aku terluntang lantung di jalan. Aku masih berbaik hati, tidak membuat kamu langsung menjadi gembel!"Aku tidak peduli, aku tahu resiko yang akan aku terima setelah ini. Aku pun sudah berencana mencari bodyguard untuk aku dan Mas Bambang. Mas Wiji ke luar dengan tampang kesal. Harusnya aku langsung memasukkannya ke dalam penjara. Akan tetapi, aku ingin melihatnya terpuruk perlahan. Rianti pun harus merasakan hidup seperti aku, gaji 100 persen Mas Wiji, akan berubah menjadi 50 persen. Selamat mengirit untuk kalian berdua. Apa masih bisa Rianti ke salon? Mobil yang di cicil Mas Wiji, aku pun tahu masih sisa satu tahun lagi. Rumah mewahnya, pun masih mencicil bank. Bagaimana, kejutan dariku, cukup untuk pemanasan.Baru saja ingin kembali bertemu dengan Auditor, Harlan tanpa permisi datang ke ruanganku. Pasti dia akan membahas tentang audit dadakan yang aku datangkan hari ini."Apa kamu tidak punya sopan santun, Harlan?""Halah, untuk apa berbaik hati padamu. Untuk apa kamu datangkan auditor tanpa sepengetahuanku?" "Untuk apa aku ijin padamu? Aku sudah bicara dengan Papamu. Hari ini aku mengungkap aliran dana yang tidak ada dalam anggaran. Harusnya kamu berterima kasih padaku."Harlan keras kepala sekali. Aku paham, ia masih tidak terima dengan apa yang aku lakukan di sini. Pria ini masih berpikir dirinya adalah CEO."Kamu lupa ingatan, aku sudah menurunkan jabatanmu menjadi wakilku. Lupa?"Harlan menatapku dengan tatapan tidak bisa diartikan. Entah, duda satu anak itu memang sangat arogan."Wanita serakah!" Ia berteriak seperti tak punya malu."Serakah? Aku atau kamu?" tanyaku dengan santai."Kamu tidak punya malu, menikah dengan pria sudah tua dan hanya ingin mendapatkan harta Papaku. Di mana otakmu?" "Otakku tetap di dalam kepala. Hanya saja, aku berpikir dengan jernih. Menikahi papamu itu dengan keikhlasan." Sedikit menaikkan dagu, aku ragu jika ia akan percaya dengan apa yang aku katakan."Ikhlas? Kamu itu racun dalam keluargaku," ujar Harlan."Kamu harusnya sadar, kalau saja kamu lebih perhatian dengan papa kamu, mungkin dia akan berbaik hati berbagi perusahaan denganmu. Jangan teruskan hidup hanya untuk bermain wanita. Ingat, anak kamu perempuan.""Jangan ceramah."Terserah kamu mau berkata apa. Harlan pergi dengan emosi. Anak Mas Bambang yang pertama memang sangat arogan. Padahal, Mas Bambang pernah cerita, Harlan dulu sangat perhatian, semenjak istrinya meninggal, ia semakin menggilai kerja dan wanita. Tak pernah perhatian pada Mas Bambang.Sungguh miris hidupnya. Ketiga anaknya yang lain berada di lain kota. Jangan salah mereka tiga wanita tangguh yang sekali melabrakku waktu itu. Hidup ini pilihanku, menjadi istri pria tua pun aku sudah memikirkan resikonya.Lebih keras dari Raya, yang sudah membuat aku geram. Namun, mereka tidak kembali lagi, karena suami mereka tidak ingin mereka ikut campur urusan sang papa.Salah satu dari mereka pun suatu saat akan kembali datang dan membuat aku kembali menyumpah serapah. Mereka tak tahu diri, orang tua sudah baik malah diabaikan. Anak macam apa itu? Hartanya mereka gerogoti, tapi tak mau mengurusi.Gegas aku merapikan pekerjaan, dan cepat untuk pergi karena Mas Bambang menelepon sudah berada di lobbi menungguku.***Bersambung...Ibunya Rianti memeluk Raisha dengan berlinang air mata. Wanita tua itu tidak menyangka jika putrinya sudah meninggal. Setelah penguburan yang tidak memakan waktu banyak, Raisha kembali ke rumah Budenya."Bagaimana bisa terjadi seperti ini?" tanya wanita tua itu.Suasana masih sangat berkabung. Raisha kembali berpikir ulang untuk menceritakan kejadian semula. Mereka masih sangat berduka dan tidak mungkin bisa mendengar cerita Raisha."Sa, ceritakan pada Bude." Wanita tua itu memulai memaksa."Bude, nanti saja. Kalian masih berduka, aku tidak mungkin bercerita tentang hal itu." Sebisa mungkin Raisha menolak."Tolong." Wanita itu terus memohon.Setelah memohon berulang kali pada Raisha, akhirnya wanita tua itu menjerit mendengar kelakuan Rianti sebelum meninggal. Ia berulang kali memukul dada yang sesak. Tak tahan, Raisha memeluk Bude dengan pedih. Itu sudah masa lalu dan ia pun sudah memaafkan Rianti.Ibunya Rianti tidak menyangka
Raisha merebahkan tubuh di kasur setelah lelah membuat Rianti terpojok. Ia sudah tenang karena wanita itu sudah mau di pulangkan ke kampung. Setelah berdebat panjang lebar dan Rianti tidak bisa menolak lagi.Akhirnya satu masalah terselesaikan.Bambang masuk ke kamar setelah pulang dari rumah Harlan. Wajahnya masih sangat tegang saat emosi memuncak membuat dirinya harus meminum obat untuk menenangkan diri."Mas, sini aku pijitin," ujar Raisa pada suaminya."Nggak usah, Sa. Kamu juga lelah sepertinya." Bambang menolak karena melihat Raisah pun sudah lelah."Sa, waktu penyelidikan audit, kamu memeriksa Harlan juga?""Iya, kenapa?""Apa yang kamu temukan tentang dia?""Tidak ada hal aneh. Dia bersih."Bambang menggeleng. Tidak mungkin Harlan bisa bersih, sedangkang Wiji saja bisa tertangkap auditor. Ia kembali mengambilponsel,lalu mencoba menghubungi beberapa audito
"Makan yang banyak, aku tahu kamu sudah lama nggak makan enak," cibir Raisha.Rianti tidak memperdulikan ucapan Raisha. Kini, hanya makanan enak di hadapannya yang begitu menarik. Raisha pun paham dengan sikap Rianti karena ia pernah menjadi seperti dia."Kamu akan diantar pulang ke kampung."Rianti memberhentikan aktivitas makannya, lalu menantap bingung pada Raisha."Pulang ke mana?" Rianti bertanya balik."Kampung, bertemu dengan keluargamu. Untuk apa lagi kamu di sini? Apa kamu mau aku antar ke kelab malam itu?""Ja--jangan, Sa." Makanan dari mulutnya hampir saja ke luar saat ia berbicara.Raisha tertawa renyah melihat Rianti yang sangat takut dengan ancamannya. Dia pikir Raisha akan membawanya ke rumah besar suami barunya. Namun, ternyata tidak. Setelah makan, Rianti dititipkan di rumah Irma setelah itu besok akan diantarkan oleh supir."Apa aku bisa tinggal di rumah kamu sementara saj
Bambang menghapiri Raisha di kamar, pria itu mengelus lembut telapak tangan sang istri, lalu mengecupnya. Ia merasa menyesal sempet tidak percaya dan seolah-olah berpikir sang istri sedang berhalusinasi.Pria itu berjanji akan melakukan apa pun untuk membuat Raisha bahagia. Walaupun dia tidak bisa melindunginya secara langsung, setidaknya akan ada banyak yang menjaganya.Bambang kembali ke ruang kerja dan berbicara empat mata dengan Heri. Tidak lama Irma datang untuk ikutmeetingdengan mereka tanpa sepengetahuan Raisha."Maksud kamu Wiji bebas bersyarat?" tanya Bambang."Iya, Pak. Sudah beberapa hari Bu Raisha seperti diteror, tetapi Wiji berbuat seolah-olah Ibu berhalusinasi."Bambang berpikir sejenak dengan apa yang dituturkan Irma. Kalau benar, berarti kejadian tadi memang nyata. Dan, Wiji sangat pintar membuat semua orang percaya kalau Raisha itu berhalusinasi.Sampai dirinya saja tidak p
Keduanya terkesiap melihat mobil terbakar. Tubuh Raisha mendadak lemas, lututnya pun tak mampu bangkit dari duduknya. Sementara Irma, menarik napas panjang dan bergegas menelepon pihak polisi."Bu, tenang."Kalimat itu selalu Irma lontarkan kala melihat Raisha cemas. Hal ini tidak bisa didiamkan karena sudah masuk kriminal. Irma membantu Raisha duduk di pinggir jalan. Masih dengan kondisi sangat syok, Raisha hanya bisa terdiam."Ini sudah kriminal, Bu. Saya sudah telepon polisi untuk menuntaskan semua.""Bagiamana kita melaporkan ke polisi, sedangkan mereka saja menutupi jika Wiji sudah ke luar dari penjara? Apa kamu yakin mereka akan menindak jika memang ada persekongkolan?"Irma membenarkan apa yang dituturkan Raisha. Kini, dia harus memutar otak untuk mencari tahu semuanya. Sepertinya memang benar ada persekongkolan orang dalam hingga membuat mereka mudah membuat pihak Raisha panik."Saya pikirkan lagi, yang
Raisha sudah mulai pergi ke kantor menyelesaikan beberapa hal yang harus diselesaikan olehnya. Ia melangkah masuk ke lobi, beberapa karyawan mulai menyapanya.Dia masuk ke dalam lift, lalu tidak lama masuk seorang pria mengenakan jaket hoodie ikut masuk ke lift. Raisha tidak memperhatikannya semula, tetapi pria itu memangilnya dan membuatnya tersentak."Mas Wiji?" Tubuhnya bergetar hebat saat tahu pria yang harusnya di penjara itu kini berada di sampingnya."Kamu akan membalas semua yang telah kamu perbuat padaku. Perlahan, tapi pasti."Lift terbuka, Raisha langsung bergegas meningalkan Wiji. Wajah putihnya berubah menjadi pasi, ia melangkah dengan cepat ke ruangan Irma untuk memberitahukan apa yang ia lihat tadi."Ada apa Bu Raisha?" Irma bertanya saat melihat Raisha begitu cemas."Mas Wiji mengancamku!""Mengancam? Bagaimana bisa, kan dia ada di penjara?""A--aku, nggak tahu. Tiba-tiba sa