Share

Ancaman

Tidurku malam ini tidak tenang memikirkan masalah kemarin. Siapa yang berbuat nekat seperti ini? Dia pikir aku akan menyerah begitu saja. 

Dengan mengumpulkan keberanian, aku tetap pergi ke kantor. Entah, ini adalah panggilan hati. Aku harus bisa melihat siapa musuhku. Seperti sudah dijanjikan temanku, seorang pengawal datang. Dia wanita cantik, bertubuh langsing. 

Namanya Irma. Dia sudah terlatih sebagai pengawal wanita. Kini, dia sudah bertugas sebagai sekretarisku. Sengaja aku minta ia menyamar agar tidak terlalu mencolok.

"Kamu siap, Irma?" tanyaku.

"Siap, Bu."

"Kamu mengerti bukan, bagaimana menjadi sekretaris? Hmm ... dengan tampilan seperti ini, kamu tidak akan dikenali sebagai pengawalku," ucapku sambil melihat penampilan Irma sekarang.

"Bu Raisa, idenya keren. Selama saya menjadi pengawal, mereka hanya menganggap saya, ya pengawal. Jadi, saya tetap berpakaian seperti biasa seragam saja."

"Benarkah?" 

"Iya, Bu. Saya juga dapat dia gaji jadinya."

Aku tidak mungkin membiarkan Irma memakai pakaian seragam. Kalau seperti itu, mereka akan tahu kapan Irma ada dan tak ada.

Siapa tahu Irma bisa membuat mereka mengakui siapa dalang semua ini. Dengan kecantikkannya, siapa saja akan menyukainya. 

Kulirik sekitar ruangan, aku memperkenalkan Irma pada mereka. Beberapa karyawan pria mulai mendekati Irma dan banyak terdengar memuji kecantika wanita itu.

Aku sudah berpesan pada Mas Bambang, untuk sementara waktu tetap berada di rumah. Jangan pernah keluar selagi belum aman. 

Ia menurut, dan aku pun sudah memberikan pengawalan untuknya. Tadinya mas Bambang tidak mau. Akan tetapi, aku memaksanya.

Irma sudah didampingi Anita di ruangannya. Anita yang kebetulan sedang mengandung, senang karena aku sudah menemukan orang yang akan menggantikannya. 

"Anita, tolong ajarkan Irma bagaimana mengatur semuanya. Jadi, kalau kamu cuti, dia sudah bisa."

"Iya, Bu."

Sebelum aku masuk ke ruangan, aku berpas-pasan dengan Harlan. Cara dia menatapku aneh. Apa dia yang menyuruh membunuhku? Namun, ia terlihat kembali santai.

Apa dia pikir aku masih bisa hidup setelah percobaan pembunuhan waktu itu? Atau dia hanya heran denganku kali ini.

"Ada apa?" Aku memulai perbincangan.

"Aku butuh tanda tanganmu. Ada pengeluaran dana. Silahkan baca."

Aku membaca pelan, kata Mas Bambang, aku harus teliti dengan pengeluaran yang akan kutandatangani. Budget kali ini tidak terlalu besar. 

Segera kutandatangani, setelah itu Harlan kembali ke ruangannya. Kali ini pria itu tidak banyak bicara. Mungkin sedang malas berdebat denganku.

"Biarkan aku masuk!" 

Suara gaduh terdengar sampai ke ruanganku. Aku bangkit untuk melihat siapa yang membuat keributan di luar. 

Aku sedikit kaget, saat melihat sosok Rianti mencoba menerobos masuk. Apa dia tidak punya tatakrama? Oh, iya, aku lupa. Dia hanya gadis kampung yang pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, tetapi malah merebut suamiku.

"Ada apa Irma?" 

"Wanita ini memaksa ingin bertemu Ibu."

"Biarkan saja dia masuk," perintahku.

Irma mengangguk. Rianti kupersilahkan masuk ke dalam ruangan. Kulihat dia seperti menatap takjub sekeliling ruang ini. Apa yang dia lakukan sampai ia datang ke sini?

"Benar kata Mas Wiji, kamu sekarang jadi orang kaya. Pergi ke dukun mana kamu?" 

"Hah, dukun? Jaman sekarang masih main dukun? Lucu sekali pikiranmu. Apa jangan-jangan kemarin kamu guna-guna Mas Wiji?" Segera aku menuding dirinya.

"Eh, enak aja. Nggak mungkin, Mas Wiji itu beneran suka sama aku karena dia bosan melihat kamu yang jelek." Pembelaan diri Rianti sungguh menjengkelkan.

"Itu dulu, sekarang, aku lebih cantik dari kamu. By the way, kamu bisa pulang dari salon itu, apa kamu meninggalkan ponselmu atau ktpmu?" Sengaja aku tersenyum mengejeknya. 

"Kamu puas, sudah buat aku seperti itu?"

"Belum."

"Sialan, kamu, Ri."

"Hmm ... belum puas kalau belum buat kamu menderita."

Rianti semakin geram saat mendengar ucapanku. Dia tak mampu menjawab apa yang aku katakan. 

"Langsung saja, mau apa kamu ke sini?"

"Kembalikan posisi Mas Wiji menjadi manager. Kamu gila, langsung menurunkan jabatannya?"

"Aku nggak gila. Selama ini, Mas Wiji banyak menggelapkan uang. Masih bersyukur, aku tidak memenjarakannya. Dia sendiri memilih, untuk turun jabatan."

"Karena kamu membuat ia memilih dengan sulit."

"Jangan banyak bicara, kamu mau Mas Wiji kubuat masuk jeruji?"

Rianti bergeming. Pasti dia tidak mau suami barunya masuk penjara. Baru turun jabatan saja dia sudah kelimpungan. Bagaimana jika kumasukkan dalam penjara. Pasti akan membuat hidupnya semakin menderita. 

Sengaja aku menelepon Mas Wiji untuk datang ke ruanganku. Tidak lama, pria itu datang menghadap. Awalnya ia heran mengapa Rianti ada di sini. Namun, ya, mereka sama saja menyebalkan.

"Kamu sengaja menyuruh istrimu datang? Untuk apa? Memohon?"

"Aku tidak meminta dia datang," ujar Mas Wiji.

"Mas, aku nggak terima dia menurunkan jabatanmu! Dia pikir dia siapa?"

Bagus sekali Rianti, dia menjadi istri yang berbakti. Saat suaminya kesulitan, ia datang menolong. Namun, sayang, aku tidak akan terkecoh denganmu.

"Sa, kembalikan jabatanku. Aku tidak suka dengan pekerjaan yang menyita waktuku dan penghasilan yang rendah. Kamu pikir dong," ucapnya.

"Terserah kamu, apa kamu mau ke penjara saja?"

"Kurang ajar, kamu, Sa. Kamu bakal menyesal, aku akan memisahkan kamu dari Arman!"

"Apa? Apa aku nggak salah dengar? Asal Mas tahu, sampai kapanpun, Arman nggak Sudi tinggal sama kamu. Kamu tahu, bagaimana aku terluka melihat Arman berlari mengejar mobil kamu sampai ia terjatuh dan terluka. Bukan kakinya saja yang sakit, tapi hatinya."

Aku menatap bengis mereka. Dua orang di hadapanku telah membuat hidupku menderita. Saat aku benar-benar terusir dari rumah yang kami beli dari hasil berdua. Kini, mereka menikmatinya. 

"Sa, kamu nggak punya hati. Dengan gaji kecil, mana bisa aku memenuhi kebutuhan hidup yang besar saat ini?" Mas Wiji mulai mengiba.

"Memenuhi kebutuhan hidup atau kebutuhan istri baru kamu!" pekikku. 

Dulu, mana pernah aku menuntut banyak. Yang ia kasih, aku terima dengan lapang dada. Saat jatahku berkurang setengahnya, aku hanya menerima tanpa mengeluh. 

Namun, apa yang dia perbuat. Uangnya dihamburkan bersama sepupuku. Mereka tega menusukku dari belakang.

"Lebih baik kalian ke luar!" 

"Sa, sombong sekali kamu. Mentang-mentang sudah menikah dengan orang kaya!" Kini giliran Rianti berkata.

"Iya, aku berterima kasih dengan kalian, akibat perselingkuhan kalian, aku bisa bertemu suamiku yang kaya."

Mas Wiji mengusap wajah kasar. Ia menarik lengan Rianti ke luar dari ruanganku. 

Aku terduduk di kursi. Membayangkan betapa jahat mereka dulu. Kini, mereka hanyalah butiran debu. 

Aku membuka pesan masuk di ponsel. Aku terhenyak dengan isi pesan itu.

[Bersenang-senanglah, sebelum kamu mati]

Si--siapa yang mengirimkan pesan ini? Tangan ini bergetar sangat hebat, jantung pun seakan berhenti saat ini juga. 

***Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status