Share

Menerima Tawaran Pekerjaan

“Din, aku baru saja menghubungi pemilik sekolah International itu dan dia meminta sekilas datamu. Kuberikan saja fotomu, aku bilang surat lamaran dan CV akan menyusul kemudian. Lalu kuceritakan juga rencanamu untuk tinggal di rumahku, dia justru menawarkanmu untuk tinggal di rumahnya yang ada di dalam komplek sekolah.”

“Di rumahnya? Maksudnya tinggal bersama pemilik sekolah itu?”

“Bukan, pemilik sekolah itu tinggal di apartement. Dia memiliki sebuah rumah di dalam komplek sekolah. Rumah itu hanya sesekali dia singgahi jika sedang melakukan kunjungan. Semua perabotan sudah ada di sana. Jadi kau bisa menempati dengan nyaman’

Entah kenapa aku merasa pertolongan Allah begitu cepatnya datang. Seolah DIA mendukung keputusanku dengan memberikan kemudahan. Aku yang tadinya limbung setelah mendengar keputusan Mas Fattan, sekarang lebih kuat. Aku percaya Allah tidak akan membiarkan aku dan Anaya sengsara.

“Adina! Kenapa kau diam saja? Mau nggak? Atau kau mau ke rumahku dulu? Besok baru kita lihat rumah itu. Kalau kau setuju baru deh kau pindah ke sana. Lumayan kan daripada mengeluarkan biaya sewa.”

Ah iya, biaya sewa. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu. Selama ini aku tidak pernah memegang banyak uang tunai. Karena semua pengaturan rumah pun kuserahkan pada Mas Fattan. Aku hanya mengerti untuk meminta apa yang menjadi kebutuhanku.

Dengan bisnis ayahku yang begitu berkembang, tidak terpikir mengenai tabungan atau simpanan pribadi. Uang, bisnis dan rumah tanggaku, semua kupercayakan pada suamiku. Aku selalu berprinsip istri adalah wanita yang mengabdi pada suami. Terlebih lagi Mas Fattan adalah suami yang hangat dan menyenangkan. Aku tidak pernah khawatir tentang apa pun.

Kenyataan pahit ini menamparku. Betapa aku terlalu naif untuk percaya begitu saja. Sekarang saat orang tempatku bergantung melemparkan aku, aku kehilangan pegangan dan bingung apa yang harus dilakukan. Mungkin aku punya sedikit uang di didompetku dan sebuah kartu kredit yang Mas Fattan berikan. Semoga itu cukup sebagai bekal sampai aku bisa memiliki penghasilan.

“Tidak Ris, aku akan langsung ke rumah itu. Lagi pula, aku tidak ingin menyusahkan orang tuamu.”

“Ehh, nggak lagi. Mamah dan Papahku senang aja kalau kamu mau datang. Tapi, kalau kamu mau langsung ke rumah itu ya nggak apa juga. Kamu setir sendiri dan kita ketemu di sana atau gimana?”

“Aku … mobilku masih di bengkel.”

Marisa terdiam beberapa saat.

“Din, kamu sedang bermasalah dengan Fattan ya?”

Marisa mengenal baik diriku. Cukup lama kami tinggal satu kamar saat menuntut ilmu di Madinah dulu. Dia pasti bisa menebak apa yang sedang aku hadapi hanya dengan beberapa penggal kata-kata yang terdengar.

“Nanti aja aku ceritain, ya. Sekarang aku mau siap-siap dulu.” Aku berusaha menyelesaikan pembicaraan.

Waktu semakin singkat dan aku harus bergegas. Aku tidak ingin bertemu dengan Kalila saat Mas Fattan membawanya masuk ke rumah ini.

“Ok! Kalau gitu berikan alamatmu, aku jemput ke sana.”

Sekali lagi kemudahan datang bagai bola menggelinding untuk memberiku kebaikan.

“Nggak ngerepotin, nih?”

“Nggaklah. Lagi pula aku sudah selesai mengajar. Sebelum pulang, aku antar kalian dulu ke rumah itu. Tukang kebun yang menjaga rumah itu kenal baik denganku.”

“Baiklah, terima kasih ya, Marisa.”

Aku menutup telepon dan kembali memandang wajah Mbak Pia.

“Mbak, Ibu dan Anaya akan pindah ke rumah lain. Tidak jauh dari sini. Ibu butuh bantuan Mbak Pia untuk menjaga Anaya karena Ibu akan segera bekerja. Tapi, ibu mungkin tidak bisa menggaji Mbak Pia sebanyak sekarang. Apakah Mbak Pia mau ikut dengan ibu?”

“Bu, saya ikut ibu. Walau nggak dibayar nggak apa-apa. Lagi pula, saya nggak tega kalau Anaya nanti diasuh orang lain,” jawab Mbak Pia tiba-tiba.

Satu lagi kebaikan datang menghampiri. Gadis muda di hadapanku ini seolah muncul sebagai penolong di saat udara sekitarku pun rasanya begitu menyesakkan.

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan keluar dari rumah ini dengan cara yang sangat terhina. Keponakanku sendiri, Kalila telah menjadi badai dalam pernikahanku dengan Mas Fattan. Sebuah rasa sakit yang tidak pernah kubayangkan dan kurasakan.

Marisa yang sedang mengendarai mobil, terus memandang ke depan. Dia fokus pada jalanan yang sedang kami lalui. Tapi, aku yakin dia tahu bahwa aku sedang menahan tangis.

“Din, aku memang belum pernah menikah. Aku tidak tahu bagaimana kemelut yang sedang kau hadapi. Tapi, jika keluar dari rumah Fattan adalah pilihanmu, maka mulailah menguatkan diri. Kau tentu tidak ingin menyeret Anaya dalam kesedihan.”

“Kau benar, Ris. Selama ini aku berpikir aku adalah ratu yang selalu dimanja dan dimuliakan oleh suamiku. Tidak kusangka ternyata di belakangku, Mas Fattan telah menginjak harga diriku.”

“Jika memang Fattan menginjak harga dirimu mulailah berpikir untuk membalikkan keadaan.”

“Maksudmu?”

“Ya, dia mungkin berani melakukan itu karena selama ini kau adalah istri yang dalam segala hal bergantung pada suami. Kau bahkan tidak tahu berapa jumlah uang yang dimiliki oleh keluargamu. Kau serahkan diri dan hartamu seluruhnya pada Fattan.”

Kata-kata Marisa terdengar menyudutkan dan memperlihatkan kebodohanku. Aku tidak punya kata untuk menyangkalnya. Kenyataannya, aku memang sebodoh itu.

“Aku lihat lho, banyak juga teman-teman kita dari Madinah yang menikah dengan pengusaha kaya. Tapi, mereka sebagai istri yang mendampingi suami. Mereka mau tahu dengan semua urusan rumah dan kekayaan. Maaf ya, Din, dalam hal ini aku merasa kau menjadi pelayan. Ya memang Fattan selama ini bersikap baik dan manis di depanmu. Tapi, ternyata dia sedang mencabikmu dari belakang tanpa kau sadari. Sekarang, kau tidak punya kekuatan untuk menahan rasa sakit itu, kan?”

Aku hanya bisa diam. Semua kata-kata Marisa memang benar. Dia juga benar tentang membalikkan keadaan. Mas Fattan begitu berani melakukan hal sejauh ini karena dia pikir apa pun yang terjadi aku akan bertahan. Dia bahkan berani membawa Kalila masuk ke rumah kami.

Dia pikir tanpanya, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Saat aku keluar dari rumah itu pun, dia pasti berpikir ini hanya sementara. Mas Fattan pikir aku tidak punya kemampuan untuk bertahan hidup sendiri. Dia tampaknya yakin suatu hari akan akan kembali dan mengemis padanya.

Itu tidak akan terjadi! Sepanjang perjalanan hingga sampai ke rumah yang Marisa katakan, aku terus menerus menguatkan hati. Sesekali kulirik Anaya yang tertidur pulas di pangkuan Mbak Pia. Malaikat kecil itu adalah masa depanku. Aku harus melakukan yang terbaik untuknya.

Rumah yang Marissa katakan ternyata terletak di dalam gedung komplek sekolah yang sudah dipagar menjulang sehingga secara otomatis aman. Marisa menghentikan mobil dan mengajak kami untuk turun. Setelah sampai di depan rumah, baru kusadari ternyata pintunya terbuka.

Dari dalam rumah muncul seorang pria yang sepertinya pernah kulihat. Aku lupa, di mana melihat pria itu.

“Selamat datang, Adina.”

‘Hah?! Dia tahu namaku?’ aku terkejut.

“Aslan….”

Ans

Aslan... Rencana Sang Pencipta selalu penuh kejutan

| 2
Komen (6)
goodnovel comment avatar
Nurjanah Binti Gumri
đia trtarik sama kamù
goodnovel comment avatar
Runi Candra
seru bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Lisa Liu
Ceritanya keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status