"Baiklah. Tapi nanti kamu tak boleh belanja tas dulu dalam setahun ke depan!" Aku mengajukan syarat padanya."What? Setahun? Bisa-bisa aku lumutan nggak beli tas!" katanya."Terserah kamu mau atau nggak. Kalau mau, segera ku bayar sesampainya aku di kantor."Ia berpikir dan memutar bola matanya."Yah, ayo berangkat! Nanti Faiz kesiangan, Yah!" Faiz menarik lenganku. Ia datang menghampiriku."Iya, sebentar ya, Sayang!" Aku menoleh pada Cynthia dan memberikan tanganku padanya. Ia pun mencium tanganku."Iya, Mas. Aku setuju!" katanya dengan bibir mengerucut."Baiklah. Akan segera kubayar nanti di kantor ya!" sahutku sembari mengacak rambutnya."Oke, Mas." Ia tersenyum, walau terpaksa."Ayo, Yah." Faiz menarikku lagi setelah ia mencium tangan ibu sambungnya. Kami pun pergi meninggalkan rumah untuk segera ke sekolah Faiz terlebih dulu.Sesampainya di sekolah, ia melarangku turun. Katanya biar ia masuk sendiri saja. Aku manut dan melihatnya keluar dari mobil. Namun, aku tetap turun dan memp
"Mengapa ia ada di sana?" Aku benar-benar tak menyangka ia ada di sana. Sedang apa?"Sebentar, kucari tau dulu. Nanti aku kabari lagi kalau sudah ada kabar.""Baiklah, ditunggu kabar baiknya, Win!" sahutku."Siap, Pak!"Edwin harus benar-benar tau semuanya, agar aku bisa ke sana dengan anak-anak nanti.Kemudian ada pesan dari Cynthia. Ia tak bisa menjemput Kia, karena sedang ada acara dengan teman-temannya. ART kami masih sakit, ia memintaku untuk menjemput Kia. Mana bisa aku membawanya kerja? Harusnya ia yang lebih paham, acara dengan teman-temannya harusnya bisa ia tinggalkan dulu untuk menjemput anakku. Jangan seenaknya malah memintaku untuk menjemput Kia.Aku yang marah, langsung meneleponnya."Halo, Cynthia ... kamu harusnya tau pekerjaanku seperti apa. Plis jangan bebankan aku dengan anak-anak juga, karena pekerjaan ini sudah cukup berat. Kamu suruh si Ayu--baby sitter itu menjemput Kia dulu karena aku tak mungkin bisa menjemput Kia," cerocosku saat ia mengangkat ponselku."Mas
Sampai juga di rumah. Aku akan bersabar dulu, sebelum meluapkan emosi yang tadi membuncah gara-gara ulah Cynthia yang sengaja terlambat menjemput Kia.Sebelumnya aku menemui Kia di kamarnya. Terlihat ia sedang bersedih. Matanya sembab habis menangis."Kia, kamu habis nangis ya, Sayang!" tanyaku saat aku mendekat padanya."Iya, Yah. Huhuhu." Kia melingkarkan tangannya di leherku. Kepalanya ia tidurkan di pundak kananku. Kuelus kepalanya, kubiarkan ia menangis di sana."Maafkan Ayah dan Mama yang lalai menjemputmu. Insya Allah nanti kami nggak akan telat lagi. Kamu boleh marah sama Ayah sekarang," sahutku."Ayah, aku sedih. Ayah nggak ada. Coba ada Bunda, Yah. Aku pasti dijemput Bunda tiap hari," kata Kia."Maaf ya, Sayang. Kami tak bisa mengabulkan keinginanmu. Ayah harap, kau bisa paham kalau saat ini Bundamu tak bisa bersama kita. Tapi ayah janji akan selalu melindungi kamu," sahutku."Jadi Bunda nggak akan balik lagi, Yah?""Belum tau juga. Kita tunggu saja nanti. Mudah-mudahan Bund
Siapa kira-kira yang datang pagi ini?"Aku ke depan dulu, kamu siapkan minum!" titahku pada Cynthia.Cynthia tak menjawab, ia pura-pura tak mendengar, malah sibuk dengan Andhini.Kutemui tamu yang datang. Mereka adalah teman-teman Cynthia. Ada tiga orang yang datang ke rumah. Namun, aku tak mengenal ketiganya. Darimana Cynthia bisa mengenal mereka bertiga?"Perkenalkan saya Tasya, ini Gaby dan ini Vira. Kami bertiga mau ajak istri anda arisan," katanya."Bukannya udah kemarin arisan?" "Yang ini beda lagi sama komunitas yang kemarin.""Ya Allah, berapa besarnya arisan yang kemarin dan yang ini?" tanyaku penasaran."Sebulan tiga juta kalau yang kemarin, yang ini sebulan lima juta."Besar banget, sebulan harus bayar delapan juta gini. Pantas saja uangnya tak bersisa tiap bulan. Ternyata dibayarkan arisan sampai dobel setiap bulan.Aku harus memberitahu Cynthia agar tak terlalu banyak ikut arisan. Nanti yang ada ia malah jadi keteteran bayarnya."Yang ini udah mulai?""Baru satu kali di
Mereka mengerjapkan matanya, menggisiknya hingga melihat keadaan sekitar yang asing. "Ini dimana, Yah? Kok bangunan rumah?" "Ini tempat kerja Bunda kalian," sahutku."Bunda kerja di sini? Kenapa bisa malah kerja di sini? Memangnya Ayah nggak bisa ngasih uang sama Bunda?" tanya Faiz."Nggak, bukan seperti itu. Ayah masih bisa ngasih uang ke Bunda. Tapi bundanya saja yang memang tidak membutuhkan uang Ayah," jawabku.Mereka mengerutkan dahinya, menggelengkan kepalanya. "Aku tak paham!" Faiz menimpali."Ya udah yang penting kita masuk sekarang, yuk!" ajakku.Kami masuk dari pintu samping. Di sana kami bertemu ibu pengelola yayasan Panti Jompo ini.Sebelum masuk ke ruangan pengelola, kami bertemu dengan beberapa orang tua yang tinggal di sana. Ada beberapa ruangan mereka tinggal.Mereka senang mengobrol sama-sama. Ada juga yang sedang tidur di kamarnya, atau sekedar membuat kerajinan tangan.Saat di dalam ruangan pengelola, kami duduk berhadapan dengannya."Selamat siang, Pak. Ada perl
Bu Hanum memasuki ruangan Bu Imas. Ia melihatku dan mengingat-ingat saat aku pernah ke rumahnya.Aku meminta kedua anakku main di depan saja karena aku akan terlibat pembicaraan yang serius dengan kedua orang ini."Faiz ajak Kia main di depan ya! Ayah mau bicara dulu dengan ibu-ibu ini," sahutku."Baiklah, Yah. Jangan lama-lama. Aku udah kangen sama Bunda. Mana sih Bunda? Kata Ayah tadi ada di kamar yang di sebrang itu!" "Tunggu saja ya, Nak. Ayah mau mengobrol dulu sebentar," sahutku.Faiz dan Kia gegas kubawa keluar. Mereka duduk di kursi tunggu di depan."Silahkan duduk kembali Pak! Oya sampai lupa menanyakan nama Bapak, dengan Bapak siapa ya?" tanya Bu Imas."Perkenalkan, saya Wahyu Hidayat. Dulu Ibu Kartikawati itu adalah istri saya, baru-baru ini kami bercerai. Tiba-tiba ia pergi tanpa pesan. Aku dan anak-anak sudah mencarinya kemana-mana," jawabku sembari menatap mata Bu Imas dan Bu Hanum."Silahkan, Bu Hanum mungkin bisa menjelaskan mengenai seseorang yang diduga Ibu Kartikaw
"Bun, anak-anak kangen loh sama Bunda. Gimana kabar Bunda sekarang?" Ia menoleh padaku, tapi tak menjawab sedikitpun. Hanya memandang dan diam lagi kemudian.Aku menoleh pada Bu Hanum. Ingin bertanya mengenai keadaan Tika. Ada apa dengannya?Lalu kulihat pergerakan badannya tidak selincah dulu. Biasanya ia langsung membelai anak-anak. Kali ini, ia membiarkan anak-anak merangkulnya, ia kebingungan sendiri.Sebenarnya apa yang terjadi padamu? Aku semakin penasaran. Hati ini menangis. Namun aku tetap tersenyum di depan anak-anak."Pak Wahyu, sepertinya Bu Tika butuh istirahat. Bapak pulang saja dulu. Mudah-mudahan nanti Bu Tika lebih sehat lagi," kata Bu Hanum.Apa ia mengalami amnesia? Tapi karena apa? Ia kan mengenalku dan anak-anak. Mestinya ia langsung menyambut mereka.Tika diajak keluar oleh Bu Hanum. Ia lah yang selalu mendampingi Tika. Aku yakin ia orang yang tulus. Itu terbukti ia mau mengabulkan kemauan Tika untuk tinggal di sini.Lalu, apa yang terjadi dengan anak-anak? Mereka
Gegas aku kembali ke ruangan Bu Imas. Anak-anak sudah menunggu. Katanya mereka sudah siap untuk pulang. Entah apa yang dikatakan orang-orang ini sehingga kedua anakku bilang akan pulang dengan mata yang berbinar.Rasa sedih sudah sirna dari diri mereka. Saat ini mereka tertawa dan bahagia."Ayo, Yah. Kita pulang sekarang saja. Aku nggak mau mengganggu waktu istirahat Bunda. Biarkan Bunda di sini dulu, kami akan bertemu Bunda di pekan depan," sahut Faiz.Oh, ternyata mereka dijanjikan akan bertemu bundanya lagi nanti pekan depan. Aku manut saja kalau memang mereka maunya seperti itu."Sekarang kalian udah nggak sedih kan?" tanyaku."Iya, Yah."Kemudian aku meminta waktu untuk berbicara sebentar dengan Tika. Ia kugiring agak jauh dari kumpulan orang, tapi kami nggak hanya berdua, tetap di ruang terbuka."Dek, kamu kalau sakit bilang saja. Apa kamu udah periksakan diri ke dokter?" tanyaku."Sakit apa? Aku sehat kok. Lihat saja sendiri diri ini yang tak kurang apapun. Paling hanya bete se