Wahyu seorang suami yang berpoligami karena dukungan istri pertamanya. Setelah dua tahun menikah dengan istri kedua, ia harus bercerai dengan Tika--istri pertamanya karena Tika yang memancing ingin bercerai dengan Wahyu. Tika melakukan itu karena ia memiliki penyakit langka yaitu demensia. Biasanya penyakit ini diderita oleh lansia, tapi pada kasus Tika karena faktor genetik. Pada talak pertama mereka sempat rujuk, kemudian terjadi konflik lagi sampai talak tiga yang akhirnya Tika meminta Wahyu untuk mengajukan cerai mereka ke pengadilan agama. Setelah bercerai, Tika tidak membawa kedua anaknya. Ia tinggal sendiri di rumah mereka dahulu. Namun, tiba-tiba Tika menghilang. Kemana perginya Tika? Apakah Wahyu dan kedua anaknya bisa menemukannya lagi?
View More"Mas, selamat ya! Akhirnya Mas Wahyu sudah cerai dengan Tika. Aku sangat senang, akhirnya rencana kita semua berhasil, aku bisa menjadi istrimu yang sah secara negara nanti," ucap Cynthia.
Aku hanya tersenyum tipis saat mendengar ungkapannya. Cynthia malah bersyukur aku cerai dengan Tika. Padahal Tikalah yang mengajak Cynthia masuk ke bahtera kami.
Cynthia adalah istri keduaku yang kunikahi dua tahun yang lalu. Pernikahan kami tentunya atas persetujuan istri pertamaku--Tika. Tika sendiri yang menjodohkanku dengan Cynthia.
Saat itu Tika mengatakan padaku kalau ia kasihan pada temannya yang bernama Cynthia belum punya pasangan. Ia ingin sahabatnya menjadi adik madu baginya.
Aku sebagai laki-laki yang kodratnya mendua, ibarat kucing saat disodorkan ikan, yang gerak cepat memakannya, aku pun akan gerak cepat menyetujuinya.
Namun, seiring berjalannya waktu, Tika justru malah sering komplain kalau aku tak adil dalam memberikan nafkah lahir dan batin.
Saat itu, aku memberikan kedua nafkah itu sesuai kebutuhan kedua istriku. Kalau Tika karena memiliki anak dua, aku berikan jumlah uang lebih banyak dari Cynthia. Kuberikan dua kali lipat dari adik madunya.
Tetap saja katanya tak sesuai dengan yang ia harapkan. Hingga suatu hari, Tika meminta cerai dariku. Aku tak terima jika harus bercerai darinya karena aku takkan menceraikan keduanya.
Namun, Tika tetap memaksa. Aku yang jengah karena setiap hari ia terus merayu, memaksa dan menerorku untuk menceraikannya, akhirnya keluar juga talak itu dari bibirku.
Sedih juga saat mengingat saat-saat itu. Saat dimana aku malah menalak Tika istriku. Namun, aku kembali minta rujuk padanya. Setelah dipaksa alasan anak, ia pun mau rujuk denganku.
Sampai yang ketiga, aku ucap talak untuknya. Otomatis itu sudah kesempatan terakhir untukku.
"Mas, kamu udah menalakku sebanyak tiga kali. Sekarang juga aku minta kamu untuk mendaftarkan perceraian kita ke pengadilan agama!" ucap Tika.
"Baiklah. Sudah tak ada kesempatan untuk kita bersama lagi!" sahutku.
Saat itu aku banyak bertengkar dengannya. Otomatis kedua anak kami tau kerenggangan hubungan kami. Aku tak mau kedua anakku memiliki trauma dari pertengkaran orang tuanya.
Perceraian pun diproses hingga akhirnya kami resmi bercerai secara negara.
***
Semenjak bercerai, aku tak tau dimana Tika berada. Ia menghilang sendirian, tak membawa kedua anak kami. Sesekali anak-anak bersama dengannya. Namun, akhir-akhir ini, ia sudah tak kelihatan dan tak tinggal lagi di rumah yang aku berikan padanya.
Kuncinya ia kembalikan padaku melalui asisten rumah tangga kami. Ia datang untuk memberikan kunci. Tapi aku tak bertemu dengannya.
"Yah, kok nggak ada kabar lagi ya dari Bunda?" tanya Faiz anak pertama kami. Ia kini berumur sembilan tahun.
"Ayah juga nggak tau Bunda kemana karena Bunda tak bilang dulu saat akan pergi."
"Aku kangen sama Bunda. Kemana ya perginya Bunda?" Kia anak kedua kami pun berkaca-kaca, sekarang ia berumur enam tahun.
Tetiba datang Cynthia, ibu sambung mereka. Kini Cynthia sudah memiliki seorang anak berusia satu tahun. Anakku dan Cynthia diberi nama Andini.
"Ngapain nyari Bunda kalian? Ia udah nggak peduli sama kalian berdua kok. Kalau Bunda kalian peduli, ia takkan meninggalkan kalian berdua," ucap Cynthia.
Darahku mendidih saat itu juga. Tak seharusnya ia berkata seperti itu pada anak-anak. Mereka bisa-bisa terluka jika mendengar hal yang jelek mengenai Bunda mereka. Walau aku pun sering dibuat jengkel oleh Tika, tapi aku tak mau menjelekkan Tika di depan anak-anak.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang! Bunda mereka hanya pergi sebentar. Nanti juga balik lagi," timpalku. Aku tak mau anak-anak khawatir. Mereka harus berpikiran positif.
"Ah, kesal aku. Setiap hari cuma Mbak Tika aja yang diinget-inget. Padahal ada aku di sini yang selalu melayani kalian semua saat Mbak Tika tidak mau bertanggungjawab," katanya sambil pergi ke kamar.
Cynthia memang begitu. Ia selalu tempramen dan mudah baper. Aku kadang bingung menghadapi wanita itu.
Aku pun jadi amat sangat rindu dengan sosok istri pertamaku. Ia sosok istri yang baik, cantik, pengertian dan tak pernah marah. Ia selalu bisa menenangkanku di saat aku sedang galau.
"Yah, pokoknya aku mau cari ibu. Kita datangi rumah ibu saja. Siapa tau ada petunjuk di sana," sahut bocah sembilan tahun itu.
Benar juga, mengapa tak terpikirkan untuk menyelidiki rumah yang Tika tinggalkan? Aku memang belum sempat mengecek rumah yang ditinggali Tika selama ini.
"Baiklah. Kita ke sana besok ya! Kebetulan Ayah besok libur."
"Oke."
"Sekarang kalian tidur. Kalau belum salat, silahkan salat dulu. Minta sama Allah agar Bunda kalian segera ditemukan," saranku pada Faiz dan Kia.
"Baik, Yah." Mereka kembali ke kamarnya dan bersiap untuk tidur.
Aku pun kembali ke kamar. Di sana, Cynthia sedang sibuk dengan ponselnya.
"Mas, besok aku ingin jalan-jalan. Aku tak mengizinkan kamu untuk ke rumah itu. Buat apa coba? Nggak ada kerjaan banget sih?" tanya Cynthia. Ia benar-benar kebangetan dan sangat lupa diri.
"Buat apa? Buat cari kemana menghilangnya istriku!"
"Apa? Istrimu, Mas? Istrimu hanya aku! Daripada ngurusin gituan, lebih baik urus pernikahan siri kita agar diakui negara," katanya.
Cynthia benar-benar keterlaluan. Malah membandingkan dengan sesuatu yang memang tak bisa dibandingkan.
"Eh, iya. Dia mantan istriku. Tapi kan tetap menjadi istriku di hati ini. Tak ada yang bisa menggantikannya!" tegasku.
Tetiba Cynthia menangis sesenggukan. Ia membuatku merasa bersalah.
"Mas, kamu tega ya sama aku! Kamu ingin aku pergi juga seperti Mbak Tika?" katanya dengan mata melebar.
Aku kesal dengan sikapnya yang seperti ini. Ia malah membuat diriku tak berdaya dan harus menurutinya.
"Jawab, Mas!"
"Tidak, aku sangat membutuhkanmu, Sayang. Kamu jangan pergi, aku tak bisa hidup tanpamu," jawabku.
Kemudian ia mendekatiku, lalu memelukku. Kalau sudah begini, aku tak bisa apa-apa.
"Mas, besok kita urus pernikahan negara kita ya!" katanya dengan terisak.
"Baiklah. Aku kan cari tau dulu persyaratannya."
"Terima kasih, Mas."
***
Diperlukan berkas untuk diajukan ke kelurahan, pengadilan agama setempat untuk mengajukan Isbat Nikah, hanya tinggal pengesahan secara negara saja.
Insya Allah takkan lama mengurusnya. Setelah pengajuan, biasanya akan menunggu lagi. Oleh karena itu, aku akan tetap ke rumah Tika setelah urusan selesai, tapi tak bisa mengajak anak-anak.
Saat aku sudah selesai mengajukan Isbat Nikah ke pengadilan, aku menuju rumah Tika. Kuhela napas sejenak saat melihat rumah ini dari luar.
Aku memasukinya setelah membuka pintu dengan kunci. Tercium aroma rumah yang sudah lama tak ditempati. Aku mengingat rumah ini adalah rumah kenangan kami berempat. Rumahku sekarang justru rumah baru bagiku.
Kucari di kamar terlebih dulu, tapi aku tak menemukan apapun di sana. Tapi aku hanya menemukan sebuah buku tulis yang isinya.
[Buku diary ku hilang entah kemana. Padahal semua kutuliskan di sana. Semua perasaan cintaku pada Mas Wahyu dan anak-anak pun kucurahkan di sana. Tak apalah, aku bisa pergi dengan tenang sekarang.]
Bersambung
Kesadaranku akhirnya sudah penuh. Aku lepaskan ia, dan ternyata ia Yuni, bukan Tika. Beruntung aku tak menyebut nama almarhumah istriku, takutnya nanti Yuni tersinggung jika aku menyebutnya."Eh, iya. Maafkan ya, Yun. Mas Wahyu masih kangen dan ingin selalu dekat kamu. Kamu benar-benar ngegemesin buat Mas," sahutku sambil menjawil hidungnya yang bangir."Eh, Mas Wahyu terus aja colek-colek. Aku mau wudhu lagi sekarang. Mas jangan gangguin lagi ya!" sahutnya dengan wajah galaknya. Lebih tepatnya sok galak, padahal aku tau kalau Yuni nggak bakal bisa galakin suaminya."Iya, silahkan Dek. Aku juga dari tadi nungguin kamu kok, sampe ketiduran gini."Yuni kembali ke kamar mandi, sementara pandanganku tertuju pada ponselku.[Mas, aku sudah keluar dari sel tahanan kemarin. Bisa kita bertemu?] tanyanya di pesan aplikasi hijau.Mau apa Cynthia menghubungiku? Apa ia mau menjadi istriku kembali? Ah, jangan harap karena aku sudah memiliki istri shalihah seperti Yuni.Pikiranku masih dipenuhi pert
Aku memandangi wajahnya lagi. Menelisik kebenaran yang ada padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk tetap di kamar ini, bersama dengan Yuni dan Kia. Biarlah aku dengan mereka malam ini."Yah, ayo kemari!" Kia menunjuk-nunjuk pada tempat tidur yang sudah ia naiki lebih dulu.Aku melempar senyum dan menghampiri anakku. Yuni pun mengikuti di belakang. "Iya, Sayang. Ayah akan tidur di sebelah Kia. Sekarang udah malam, Kia cepat-cepat tidur karena esok kita ada agenda untuk bertemu bunda," sahutku mengingatkannya.Kia mengerutkan dahinya. Ia baru mengingat agenda kami esok. Atau mungkin Kia belum tau kalau kami memang akan mengunjungi makam Almarhumah Tika."Iya, Yah. Aku mau tidur sekarang aja. Kan mau ketemu Bunda. Tapi, sepertinya aku tidur di kamarku saja. Kasian Kak Faiz tidur sendirian di sana. Biar aku di sana saja, takutnya kakak besok kesiangan, jadi aku harus membangunkannya," jawab Kia.Gadis kecilku malah akan meninggalkan kamar kami. Pandanganku beralih pada Yuni, ia menunduk,
Yuni menganggukkan kepalanya. Setelah terlihat agak sepi, Kia meminta Yuni duduk. Ia memijati Yuni, kulihat Yuni jadi salah tingkah saat kakinya diminta diangkat dan bertumpu pada salah satu kursi yang dibawa Kia. Kia memijat Yuni pada posisi jongkok."Udah ... udah Kia. Nggak usah, nanti aja ya. Kamu juga pasti capek kan?" Yuni berusaha mendaratkan kakinya. Ia merayu Kia dan akhirnya Kia tak meneruskan pijatannya karena tamu datang kembali. Mereka sudah antri untuk bersalaman dengan kami."Kia, udah ya! Tolong bawa kembali kursinya. Nanti kalau acara sudah selesai, kamu bisa pijat kaki Mama," jelasku. Ia mengerti dan tak meneruskannya. Bapak membantu Kia untuk membawakan kursi ke tempatnya kembali.Acara berlangsung lancar dan tak ada kendala yang begitu sulit. Semua bisa diatasi dengan baik oleh tim panitia.Tibalah kami untuk beristirahat. Yuni sudah ke kamar lebih dulu, sedangkan aku masih mengobrol dengan Ibuku dan kedua orang tua Yuni."Nak Wahyu, kalau sudah capek, kamu istirah
Yuni diam. Ia tidak mau berkata-kata lagi terhadapku. Aku masih menunggu ia bicara sambil menghela napas berkali-kali."Maksudnya aku mau jadi istrimu, Mas. Insya Allah aku kan fokus mengurus Kia, Faiz, Andini dan anak-anakku nanti."Aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar dari mulut Yuni. Ia mengatakan mau menjadi istriku.Puji syukur pada Allah yang sudah memberikan jawabannya. Akhirnya Kia dan Faiz punya Bunda lagi, begitu juga Andini, mamanya masih menjalankan hukuman. Tapi, ia bisa menganggap Yuni sebagai mamanya juga nanti."Alhamdulillah, terima kasih, Yun. Setelah ini, aku kan menemui Bapak dan Ibu untuk membicarakan pernikahan kita. Kamu maunya gimana?" Aku harus tau maunya Yuni karena ia masih gadis. Setidaknya seorang gadis ingin melaksanakan pesta pernikahannya nanti. Aku tak keberatan dan akan melaksanakan keinginannya."Kalau aku terserah Mas Wahyu saja. Aku ikut saja keputusan pembicaraan Mas Wahyu dan kedua orang tuaku," sahut Yuni."Kamu juga harus ikut karena
"Kan Kia yang minta Tante Yuni selalu jagain Kia. Masa lupa sih?" Aku menimpali anakku yang kebingungan ada tantenya bersamanya saat ini."Iya, Kia yang minta Tante. Kalau Kia nggak mau Tante temenin, ya udah deh. Tante mau pulang dulu," kata Yuni.Kia mencegahnya dan mengatakan kalau ia sangat senang ditemani oleh tantenya."Tante, kapan jadi bundaku?"Tetiba Faiz datang dan nyeletuk pada Kia."Iya aku juga mau kalau yang jadi bundaku selanjutnya itu Tante Yuni. Aku bisa lihat bundaku pada diri Tante," ungkap Faiz. Anak ini juga bicara berdasarkan hatinya."Ya Allah, Tante nggak nyangka kalian punya pikiran seperti itu. Tante hanya nggak mau kalau dianggap sebagai perebut Ayah kalian dari Bunda Tika," sahut Yuni."Nggak dong, Tante. Kan Bunda udah nggak ada. Pasti Bunda seneng kalau Ayah ada yang urus," jawab Faiz bijak.Aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka. Sesekali tersenyum mendengar ocehan anak-anak cerdas ini."Baiklah, akan Tante pikirkan dulu ya!" sahut Yuni. Semoga p
"Ya, aku yakin Yun. Bagaimana tanggapanmu? Apa kamu mau menerimaku?" tanyaku dengan penuh keyakinan."Aku ... aku butuh waktu, Mas. Aku tak mau jadi pengkhianat bagi kakakku. Kuburan Teh Tika masih basah, Mas. Mas udah mau menikahiku. Rasanya aku merasa bersalah jika itu terjadi," jawabnya.Ia menolakku. Itu berarti ia tak menginginkannya. "Baiklah jika itu keputusanmu. Itu berarti kamu tak mau kan?" Aku menegaskan kembali."Bukan seperti itu, Mas. Aku hanya tak mau dianggap sebagai perebut mantan suami kakakku," sahut Yuni dengan suara bergetar."Tenang, Yun. Takkan ada yang menganggapmu seperti itu. Aku akan menghadapi mereka langsung. Ini juga keinginan Kia dan Faiz. Mereka tak menginginkanku menikahi wanita lain selain kamu, Yun," sahutku."Tapi, Mas. Aku takut. Bolehkah aku berpikir dan meminta pertimbangan pada Bapak dan Ibu?" tanya Yuni."Baiklah kalau seperti itu. Aku akan menunggu jawabanmu. Sebenarnya Bapak udah tau, beliau memintaku untuk bertanya langsung padamu." Aku ber
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments