Share

1. Aku (I)

Canda tawa terdengar, memenuhi ruangan yang bising dan ramai. Para remaja yang mengenakan seragam putih abu-abu saling bersorak. Tertawa dan mengobrol kala bel berbunyi dan guru keluar dari dalam ruang kelas, menyudahi pembelajaran hari ini.

Membereskan buku-buku yang berada di atas meja. Sepasang kelereng gelap melirik ke bagian depan kelas, di mana beberapa gadis berkumpul dan sibuk mengobrol. Empat gadis remaja yang semuanya mengenakan seragam putih abu-abu terlihat cantik, mengobrol bersama dan saling mengomentari. Di antara para Siswi, keempatnya merupakan sosok yang paling menarik. Baik dari segi fisik, maupun otak.

Caroline, Novi, Sarah dan Putri adalah keempat remaja yang paling populer di kelas XI-A. Bukan hanya pintar, tetapi juga cantik dan menjadi favorite para guru. Kesampingkan perihal orang tua mereka yang kaya, bermodalkan wajah dan otak encer, keempat remaja itu benar-benar bisa dikatakan sempurna.

Oh, benar-benar sempurna ... seperti keluar dari komik-komik cantik. Bila inspirasi sebuah buku adalah kisah nyata, sekarang juga, Corin Yudhistira mempercayainya. Mengenal keempat geng yang sudah bersatu dari kelas X ini, sebagai penggemar komik dan Novel, Corin 100% percaya.

Sayang, kehidupannya sendiri tidak seindah dan sesempurna novel dan komik yang dibaca.

Sepasang iris menyendu, menatap lesu buku tulis yang terbuka dan menampakkan sederet tulisan cakar ayam. Masih bisa dibaca, tetapi bisa membuat mata sakit dan kepala pusing ketika dilihat.

Oh, sungguh ... tidak ada satuhal pun yang bagus dari dirinya.

"Rin."

Remaja itu tersentak. Mendadak, ada yang memanggil. Ia refleks menoleh dan menatap teman sebangku yang berdiri di samping meja. Remaja yang mengenakan seragam putih dan rok abu-abu selutut tersenyum lebar "Gue duluan ya?"

Remaja berkuncir satu tidak terlalu menanggapi salam sopan teman sebangkunya. Terlihat agak linglung. Hal ini sudah biasa. Bila bukan karena pengaturan guru, Corin Yudhistira pasti tidak memiliki teman sebangku. Beruntung, semester ini ia memiliki teman sebangku yang cukup ramah dan mau sesekali mengajak mengobrol.

Mau gak, kita pulang bareng?

Corin gugup. Mendadak jantungnya berdebar keras sekali hingga membuat tangannya berkeringat dingin. Ia ingin mengatakan, tetapi entah bagaimana, lidahnya terasa kelu, kerongkongannya tercekat.

Ayo katakan Corin! Ayo katakan! Kamu mau punya kawan kan?!

Corin mencoba menyemangati dirinya sendiri. Ia menelan liur paksa, menatap Uci yang masih berdiri dengan senyuman manis yang mengembang. Gadis itu benar-benar ramah. Ia tidak terlihat marah sama sekali dengan teman sebangku yang jelas terlihat sangat sulit untuk buka suara.

Menyadari hal ini membuat Corin merasa sangat malu. Rasanya ... agak sulit. Uci jelas cukup peka untuk menyadari bahwa teman sebangkunya ingin mengatakan sesuatu.

"Itu ..."

"Hm?"

"Ci! Gue nebeng dong!" suara gadis lain menimpali. Langsung merangkul Uci yang siap untuk pulang ke rumah. "Papa gak bisa jemput, gue pulang bareng lo ya? Kita kan searah."

AAAAAA! AKU MAU NGOMONG DULUAN!

Corin menjerit di dalam hati, irisnya membola sempurna saat melihat sosok lain justru mengambil start lebih dulu. Sungguh ... sungguh ... apakah ia tidak memiliki kesempatan?! Tidak bisakah ia menyelesaikan ucapannya lebih dulu?!

"Alesan lo! Bilang aja mau sekalian mampir ke Toko Es Krim lagi kan?"

"Ehehehe ... tahu aja lo," sosok itu nyengir kuda, tidak sadar diri telah memotong semua perjuangan batin yang telah Corin bangun.

"Ya tahu lah!" dengus Uci. Lalu mendadak, gadis itu menoleh, menatap teman sebangku yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu. "Oh ya, kenapa Rin? Tadi lo mo ngomong apa?"

Kamu udah buat janji sama yang lain ...

Corin menelan kekecewaannya.

"Gak, gak jadi," Corin menggelengkan kepala. Semangat juangnya telah kempes. Apa yang ingin terucap, tertelan begitu saja. Rasa takut ditolak membuat hatinya kembali dilanda gelisah. Uci mau pergi bersama orang ini, tentu saja ia pasti akan ditolak.

Uci tidak terlalu ambil pusing. Senyuman semakin mengembang dari gadis tomboy itu. "Oke, kalau gitu, gue duluan ya Rin."

"He, eh, kita duluan ya Rin!"

Remaja berkuncir satu mengangguk seraya tersenyum kecil, ia turut melambai, mencoba ikut bersenang-senang saat bel pulang sudah berbunyi dan mengundang seluruh siswa untuk meninggalkan sekolah. Namun tepat ketika kedua gadis remaja itu pergi dan menghilang dibalik pintu ... perasaan kosong itu kembali menghantam.

Senyuman menghilang. Corin menurunkan tangannya yang melambai dan bibirnya yang tersenyum konyol. Rasanya ... agak tidak nyaman. Rasa sepi yang menyakitkan ketika semua orang dapat bersosialisasi dengan mudah, sementara ia harus mengumpulkan begitu banyak keberanian hanya untuk bisa menyapa itu ... sangat tidak nyaman.

Corin mengkatup rapatkan bibir, meraih tas yang berada di kursi dan memangkunya seraya mulai memasukkan buku dan kotak pensil. Suara obrolan masih terdengar. Kanan dan kiri. Depan dan belakang. Semua orang sangat hidup, tetapi semakin membuat perasaannya kosong dan tidak nyaman ketika hanya ia sendiri yang ... tidak mengobrol dengan orang lain.

"Curang! Gimana bisa Lin yang gak pernah belajar bisa dapet nilai yang paling gede!"

Pekikan kesal itu membahana dari keempat remaja yang berkumpul di depan kelas. Corin refleks mengangkat wajah, menatap Novi yang baru saja mengeluh kepada teman satu grupnya.

Caroline menyeringai. Gadis cantik itu mengangkat alis dan dagunya dengan angkuh. "Namanya juga anak pinter."

Satu kalimat, tetapi sukses membuat Novie gatal. Tanpa ragu, tangan nakal bergerak. Menjitak kepala gadis sombong itu begitu saja. Caroline tercenga, sebelum akhirnya wajah sang remaja berubah menjadi Nenek Lampir.

"NOVIIEEE!"

"Ampun! Ampun!" Novie tahu ia salah. Tanpa ragu tertawa dan melarikan diri keluar dari kelas. Caroline tidak mengampuni. Bangkit berdiri dan mengejar teman kurang ajar yang seenaknya main KDRT. Seiring dengan kepergian keduanya, jeritan merana yang terdengar sukses membuat semua orang tertawa.

Oh, sungguh begitu hidup. Begitu menyenangkan ...

Corin tersenyum suram. Hatinya terasa diremas. Semua orang dapat saling berinteraksi, tertawa bersama, mengobrolkan hal-hal tidak penting secara berlebihan, bergosip, bertengkar, membuat kegaduhan ...

Namun untuk dirinya yang suram ini ...

Sungguh, sulit sekali untuk mengajak seseorang untuk mengobrol ...

Mengatup rapatkan bibirnya, remaja berkuncir satu meraih tas dan mengenakannya di punggung. Bangkit berdiri dan melangkah keluar dari dalam kelas. Pada saat sampai di lorong panjang yang menjadi penghubung antara kelas yang satu dengan kelas lainnya, remaja itu kembali melihat banyak kehidupan saling menyapa.

Seumuran, pakaian seragam yang sama, berada di lingkungan yang sama. Cahaya matahari keemasan terlihat memanjang, menyinari wajah-wajah muda penuh fitalitas. Mereka terlihat berwarna, menampilkan berbagai macam ekspresi dan emosi dari hal-hal yang diobrolkan. Salah satu remaja laki-laki membawa gitar, memainkannya dengan gaya seorang pujangga, dikelilingi oleh tawa dan seruan teman-temannya.

Begitu hidup, begitu ... indah.

Langkah kaki Corin tertahan. Bibirnya tanpa sadar melengkung. Namun beberapa detik kemudian, perasaan sesak kembali menyapa. Membuat senyuman yang terbentuk, jatuh menjadi sebuah garus lurus.

Sungguh ... kenapa terasa begitu berbeda?

Mereka semua hidup, penuh warna, tertawa dan bercanda. Namun ia hanya berdiri diam. Sendirian. Suram. Seolah tidak berwarna ... hanya hitam dan putih, selayaknya sebuah tv jadul yang telah ketinggalan zaman. Membosankan, tidak menarik. Sama seperti rok abu-abu yang kerap dikeluhkan tidak modis dan tidak menyenangkan untuk dikenakan.

Corin menghela napas.

Sampai kapan ... ia terus seperti ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status