Share

2. Aku (II)

Penulis: Aoi Yami Hikari
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-15 11:00:42

Melangkah di jalan trotoar yang diteduhi oleh rimbun pepohonan, Corin menghela napas. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepatuh hitam yang menginjak ubin batu yang tersusun rapi. Selangkah demi selangkah, setiap hentakan kaki yang mencumbu lantai terdengar begitu ringan hingga tidak memiliki suara.

Pulang sendirian ... rasanya tidak menyenangkan. Sungguh, Corin ingin sekali bersuara. Mengajak satu atau dua teman yang searah rumahnya, untuk pulang bersama. Sangat sederhana, tetapi ... terlalu sulit untuk dilakukan.

Setiap kali ia membuka mulut untuk mengatakan, rasa malu akan mencengkram, membuatnya kembali dilanda ketakutan untuk ditolak. Kerongkongannya terasa tercekik, jantungnya berdebar begitu kuat. Gugup sekali ... hingga ia lebih cenderung mundur dan berkata 'tidak apa' atau 'tidak jadi' dengan nada lemah.

Pengecut!

Gadis Yudhistira kembali merutuki dirinya. Hanya untuk berbicara ... ia sungguh tidak mampu. Sungguh, kesal sekali hingga membuat dadanya sesak. Kenapa memulai pertemanan terasa sangat sulit?! Bahkan ketika akhirnya duduk di bangku kelas 2 SMA, Corin yakin tidak semua teman sekelas tahu namanya!

Sungguh, apakah ia selamanya akan seperti ini? Tidak memiliki teman dan menatap iri semua orang yang bisa tertawa dan berbicara dengan bebas? Astaga ... hal-hal yang berhubungan dengan bersosialisasi jelas bukan bidangnya. Namun semakin memikirkan, Corin semakin merasa dirinya sangat ... sangat pengecut, sangat lemah, sangat ... tidak berguna.

"Aku ... benar-benar ... payah?" Corin bergumam. Murung memikirkan nasip tragisnya di usia muda. 2 tahun duduk di bangku SMA, ia tidak akan memiliki satu orang pun teman?

"Siapa bilang?"

Deg.

Corin membeku. Jantungnya terasa mencelos. Refleks, ia mengangkat wajah, menoleh ke kanan dan kiri dengan panik. Oh, sungguh, ia mendengar suara seseorang! Tetapi siapa yang berbicara? Corin gelisah. Ia mendengar suara anak kecil, sangat jelas hingga terdengar seperti berbicara tepat di kupingnya. Namun, tidak ada siapapun di sini, jadi siapa yang berbicara?

Corin merinding.

Cepat-cepat melangkah meninggalkan daerah sepi, gadis SMA itu tidak henti mengusap-usap lengannya sendiri. Tepat ketika ia berjalan ke belokan, bukan anak kecil, tetapi teman sekelasnya lah yang sepasang iris hitam itu temukan.

Gadis remaja yang berjalan di trotar itu berada di seberang jalan dengannya. Sosok itu berjalan kaki, terlihat indah diantara rimbun pepohonan yang meneduhinya dari cahaya matahari. Dengan wajah blesteran dan rambut cokelat bergelombang melewati bahu, sosok cantik itu seolah tengah berjalan di atas catwalk dan bukan di atas ubin batu yang kasar.

Masih mengenakan seragam putih abu-abu, Caroline Weish, atau biasa dipanggil Lin, terlihat begitu mempesona.

Namun, yang membuat Corin tidak berhenti menatap bukanlah karena tanpa sengaja ia bertemu dengan teman sekelas yang populer itu, melainkan karena sosok kecil yang selangkah demi selangkah, mengikuti sang remaja.

Kucing hitam berekor panjang seolah terlatih dengan baik. Mengikuti Caroline dengan keempat kakinya yang panjang dan anggun. Melangkah dengan pasti seraya meliuk-liukkan ekornya di udara. Kucing hitam itu sangat indah, bulunya berkilau bak permadani mahal. Mengangkat wajah kecilnya dan menatap lurus ke depan tanpa sedikitpun menoleh ke sekeliling. Sangat angkuh, selayaknya seorang bangsawan tinggi yang berjalan ke tempat rakyat jelatah. Begitu angkuh dan sombong. 

Meski bulu kucing itu tidak panjang dan lebih seperti kucing kampung, cara berjalan kucing hitam ini benar-benar ... hebat. Corin yakin kucing ini tidak mengeong meminta makanan kan? Mengikuti teman sekelasnya dengan patuh seperti itu, jelas bukan karena Caroline membawa makanan kucing di tangannya kan? Mau tidak mau Corin curiga bahwa kucing milik teman sekelasnya ini sering mengikuti kontes kucing. 

Bagaimana tidak? Cara berjalan kucing hitam itu terlalu anggun!

Tap.

Deg.

Jantung Corin melompat. Mendadak Caroline menghentikan langkah, menoleh dan tepat menatap ke arahnya.

Corin merinding. Ia refleks memalingkan wajah.

A-astaga! Astaga! Astaga!

Panik bukan main, remaja itu menundukkan kepala dan mengambil langkah seribu. Oh, sungguh, kenapa mendadak Lin menatapnya?! Tidak tahukah ia bahwa tindakannya membuat Corin terasa terkena serangan jantung?! Bagaimana bila ia mati mendadak karena kaget?!

Namun yang lebih penting ...

KENAPA AKU MELARIKAN DIRI?!

Corin benar-benar bingung. Ia refleks kabur, tetapi tidak tahu salah apa. Sungguh, tidak ada kejahatan hanya karena menatap terlalu lama, bukan? Lagipula yang ditatap adalah kucing! Kucing hitam milik Caroline dan bukan Carolinenya!

"Awas!"

"Ah!"

Corin refleks memekik. Tasnya ditarik dari belakang, membuat sang remaja menghentikan langkah dan nyaris kehilangan keseimbangan. Namun beruntung, sosok di belakangnya menahan, membuat sang remaja tidak jadi terjungkal.

"Kak, ada pohon di depanmu, kamu gak liat?" Nada jenaka terdengar. Corin tidak memperhatikan atau bahkan mendengarkan. Remaja itu mematung di tempat, menatap ngeri pohon yang ada tepat di depannya. Jantungnya melompat-lompat, seolah akan keluar dari rongganya.

Beberapa cm lagi ... Beberapa cm lagi ... Oh, sungguh, bila ia benar-benar menabrak pohon, bukankah itu sangat memalukan?!

Mengambil langkah mundur, remaja SMA itu menjauh dari pohon besar yang menjadi salah satu penghijauan kota. Jantungnya masih tidak tenang, pikirannya terasa berantakan. Bila bukan karena ada seseorang yang menahan tepat waktu, Corin yakin jidatnya akan berciuman dengan pohon. Sungguh sangat tidak etis ketika benjolan di jidat akan menjadi bukti nyata ciuman mesra bersama pohon. 

"Kakak gak apa?"

Corin berkedip dan refleks menoleh ke belakangnya. Sosok bocah lelaki berambut cokelat pendek terlihat. Tingginya sedikit lebih pendek dari Corin. Dengan wajah yang masih kekanakan dan helai rambut agak ikal, mata besar itu berkedip polos.

Sangat cantik.

Hal pertama yang dipikirkan Corin adalah, anak lelaki ini cantik sekali, mirip seperti anak perempuan. Namun dalam setengah detik, gelitik liar mendadak meraba. Sukses membuat wajah yang memucat, berubah menjadi semerah lampion.

Corin gemetar. Rasa malu membuatnya benar-benar ingin menangis. Terlebih, melihat senyuman geli di wajah cantik itu ...

Ia benar-benar ditertawakan?!

Malu bukan main, remaja SMA memalingkan wajah. 

"Aduh!"

"Eh?!" Corin kaget bukan main. Bocah cantik itu langsung bergerak mundur, menutup wajah dengan kedua tangan karena rasa sakit dari cambukan rambut Corin.

"Ma-maaf! Maaf!" Corin benar-benar panik, ia berbalik dan melangkah mendekat, ingin menyentuh tetapi juga tidak berani. Bocah lelaki itu membungkuk, mengaduh dan meringis perihal matanya yang terkena kibasan rambut. Beberapa kutukan keluar, sukese menghancurkan citra malaikat kecilnya.

"Sialan, Kak! Itu rambut atau ijuk?! Sakit bego! Aduh, aduh, ini kalo aku buta gimana?! Mau tanggung jawab?! Situ mau ngeganti mataku?!"

Mendengarnya, membuat wajah Corin memucat.

Apakah bocah ini akan buta karena rambutnya?!

Tubuh anak SMA itu gemetar. Takut bukan main melanda. Mendadak, ia merasa akan ditangkap polisi karena melakukan kejahatan.

Ditangkap polisi ...

Oh, bagaimana bila ia benar-benar akan ditangkap polisi?!

Panik bukan main, remaja SMA refleks menolek ke kanan dan ke kiri. Beruntung, tidak ada siapapun. Tidak ada saksi mata. Jadi, bermodalkan tekat, Corin berbalik dan mengambil langkah seribu.

Selamatkan nyawa! Selamatkan masa depan! Corin tidak mau mendadak masa depannya terancam suram karena dipanggil ke kantor polisi! Beruntung, seragamnya putih abu-abu, selayaknya seragam yang dikenakan oleh sekolah-sekolah negeri pada umumnya!

Lalu ... lalu ...

Bocah itu belum sempat melihat wajahnya kan? Belum sempat melihat namanya di bordir seragam kan?

Corin gemetar.

Semoga tidak ... semoga saja tidak sempat melihat ...

"KUCINGNYA!"

Deg!

Jantung sang remaja mencelos. Teriakan itu kembali terdengar, diiringi dengan suara klakson yang memekakan telinga. Namun kali ini, peringatan bukan untuk Corin, tetapi untuk sosok lain yang berada tepat di tengah jalan.

Corin tidak bisa mencerna dengan jelas. Semua hal terjadi dengan lamban, tetapi juga sangat cepat. Otaknya bahkan belum sempat berpikir ketika tiba-tiba, tubuhnya bergerak dengan sendirinya, seperti sebuah mekanisme yang telah diatur.

Sepasang mata kelabu yang polos mengunci keberadaannya. Seekor anak kucing hitam berada di atas aspal. Duduk manis dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Bulu hitamnya terlihat lembut, membuatnya terlihat seperti bola bulu gemuk yang lucu dan menggemaskan. Namun teriakan dan suara klakson yang memekakan telinga tidak sesuai dengan keberadaan yang begitu polos itu. 

Corin berlari ke tengah jalan, meraih sosok kecil, rapuh dan lembut ke dalam dekapannya. Lalu, seolah semua telah diprediksi, teriakan dan suara klakson semakin besar dan memekakan telinga hanya membuat Corin memikirkan satu hal.

Ia akan mati.

"Phoenix!"

Lalu di detik berikutnya, semua pengelihatannya berubah menjadi putih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 36: Keluarga Alix (III)

    Sebuah meja kayu panjang yang dikelilingi oleh banyak kursi tersedia di tengah-tengah ruangan besar. Lampu gantung kristal dimatikan, hanya menyediakan penerangan dari jendela prancis yang terbuka lebar. Suasana pagi yang langsung menghadap ke arah taman penuh bunga membuat Ruang Makan terasa sangat artistik dan indah.Saat Corin akhirnya turun dari kamar tamu dan memasuki Ruang Makan, gambar indah dari ruangan yang seharusnya menjadi pencuci mata, tidak terlihat seperti itu sama sekali. Mungkin karena tidak ada yang memulai makan atau mungkin karena orang-orang yang duduk di kursi memiliki ekspresi yang begitu suram, Corin benar-benar merasa salah memasuki ruangan.Sungguh, ini bukan ruang rapat kan?Makanan hangat telah tersedia di atas meja, tetapi karena menjadi yang terakhir, kedatangan remaja itu mengundang ba

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chpter 35: Keluarga Alix (II)

    Hembusan lembut udara terasa membelai kulit. Namun cahaya yang hangat menerpa, menyentuh dan membuat Corin tidak bisa begitu saja menutup mata–bagaimana pun, kesadarannya telah kembali. Perlahan, kelopak mata itu bergerak sebelum akhirnya membuka. Silau. Alis Corin terpaut. Matanya terasa tersengat. Berkedip beberapa kali, akhirnya ia bisa menyesuaikan diri. Namun, saat Corin menyadari dimana dirinya berdiri, ekspresi wajah remaja yang semula linglung, berubah menjadi tercenga. Sepasang kelerengnya membola sempurna, menatap tidak percaya apa yang tercemin di matanya. Sebuah padang rumput yang hijau membentang. Ia berdiri di bawah bukit, tepat bermandikan cahaya matahari yang hangat. Hembusan angin menerpa tubuh, menerbangkan dedaunan yang dengan mudah berguguran di tanah. Menyipitkan mata, sebuah pohon besar berd

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 34: Keluarga Alix (I)

    Suhu udara mendadak berubah rendah. Kabut tipis menyelimuti semua orang. Seolah merasakan de javu, Caroline dan Joshua sama-sama memandang tidak percaya ke arah Corin semula berjongkok dan melindungi dirinya bersama Piby.Suara yang mengalun di antara kabut terdengar dengan jelas. Suara yang familier, tetapi entah bagaimana begitu asing. Nadanya sangat tenang, seolah tidak peduli dengan ancaman nyawa yang berada di sekitarnya.Kabut dingin hanya bertahan selama beberapa detik, lalu menghilang dan memperlihatkan sosok remaja yang menggendong seorang gadis kecil. Wajah pucat itu tanpa ekspresi tetapi sepasang iris menatap sekitarnya dengan pandangan jijik yang terlalu kentara.Berbeda dengan melawan para Penyihir, kali ini, arwah asing yang kembali menguasai tubuh Corin memasang ekspresi jijik. Terlihat sangat tidak berminat untuk melawan Manusia Serigala.“Kaing!"Dengkingan Manusia Serigala terdengar—sukses membuat semua orang tersentak

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 33: Perjalanan (IV)

    Manusia Serigala merupakan nama sebuah penyakit. Penyakit sihir yang disebabkan oleh kutukan. Konon, semuanya berasal saat zaman peperangan. Saat itu, seorang Penyihir membuat sihir terbaru, bermaksud membuat eksperimen manusia kuat yang mampu dikendalikan dan mengalahkan banyak musuh. Memiliki fisik yang kuat, kelincahan, juga tahan dengan serangan Sihir.Namun siapa sangka bahwa eksperimen ini akan gagal, menciptakan makhluk yang bukan manusia atau hewan. Hanya Monster yang haus darah, agresif, tidak mampu untuk dikendalikan. Perpaduan dari Manusia dan juga gen Serigala.Sayangnya, peperangan menghalalkan segala cara untuk menang. Manusia serigala dibebaskan untuk menyerang musuh. Sungguh, tidak ada yang menyangka bahwa orang-orang yang selamat dari serangan Manusia Serigala ... akan tertular. Mereka yang digigit, akan berubah menjadi Monster. Rasionalitas mereka menghilang, hanya digantikan insting selayaknya hewan dan agresifitas yang tidak mampu dikendalikan siapa

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 32: Perjalanan (III)

    Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka dibebaskan untuk bertanya apa pun dan Kucing Hitam Perempuan bisa memilih untuk menjawabnya. Selain Corin, semua orang mencoba mengorek informasi apa pun dari mulut remaja berpakaian Maid.“Berapa umurmu?”“Umur yang mana?” Miaw balas bertanya. “Umur saya yang sekarang atau kah umur sesudah kontrak?”Edita yang melontarkan pertanyaan, mendadak diberikan umpan balik pertanyaan. Namun remaja itu tanpa ragu membalas. “Keduanya.”Miaw tersenyum lembut. Kegelapan malam dengan cahaya redup dari bola api yang melayang-layang diudara membuat wajah cantiknya terlihat menyeramkan. “Umur Kucing Saya adalah 1 tahun sementara Umur setelah mengikat kontrak adalah 3 bulan.”Hening.Mendadak, tidak ada lagi yang melontarkan pertanyaan.Corin yang dirundung perasaan bersalah, bahkan menyadari suasana yang mendadak terasa berbeda. kepala hi

  • Kucing Hitam Sang Penyihir   Chapter 31: Perjalanan (II)

    Malam kembali menyapa. Tidak seperti malam sebelumnya yang penuh dengan gemerlap bintang, kali ini langit ditutupi oleh awan. Namun tidak peduli seberapa indah malam sebelumnya atau seberapa suram kali ini, perjalanan yang dilakukan di malam hari merupakan perjalanan yang mencekam.Beberapa bola api melayang-layang mengikuti pergerakan empat ekor kuda yang berlari cepat. Cahaya yang justru cenderung redup, tidak bisa benar-benar memberikan penerangan malam. Namun karena cahaya redup inilah mereka sedikit lebih aman. Bagaimana pun, cahaya di tengah kegelapan merupakan hal yang mencolok dan cenderung mengundang bahaya.Merasakan sakit pinggang, punggung dan bahunya, Corin benar-benar bisa merasa bersyukur akan kenikmatan duduk manis di dalam kereta. Oh, sungguh, ia tidak menyangka akan semenderita ini menunggangi kuda!Hanya ada empat kuda yang tersedia untuk mereka tunggangi. Joshua tentu saja bersama Caroline, Roni dan Eka juga harus bersama. Kedua pasangan ini

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status