Share

2. Aku (II)

Melangkah di jalan trotoar yang diteduhi oleh rimbun pepohonan, Corin menghela napas. Kepalanya menunduk, memperhatikan sepatuh hitam yang menginjak ubin batu yang tersusun rapi. Selangkah demi selangkah, setiap hentakan kaki yang mencumbu lantai terdengar begitu ringan hingga tidak memiliki suara.

Pulang sendirian ... rasanya tidak menyenangkan. Sungguh, Corin ingin sekali bersuara. Mengajak satu atau dua teman yang searah rumahnya, untuk pulang bersama. Sangat sederhana, tetapi ... terlalu sulit untuk dilakukan.

Setiap kali ia membuka mulut untuk mengatakan, rasa malu akan mencengkram, membuatnya kembali dilanda ketakutan untuk ditolak. Kerongkongannya terasa tercekik, jantungnya berdebar begitu kuat. Gugup sekali ... hingga ia lebih cenderung mundur dan berkata 'tidak apa' atau 'tidak jadi' dengan nada lemah.

Pengecut!

Gadis Yudhistira kembali merutuki dirinya. Hanya untuk berbicara ... ia sungguh tidak mampu. Sungguh, kesal sekali hingga membuat dadanya sesak. Kenapa memulai pertemanan terasa sangat sulit?! Bahkan ketika akhirnya duduk di bangku kelas 2 SMA, Corin yakin tidak semua teman sekelas tahu namanya!

Sungguh, apakah ia selamanya akan seperti ini? Tidak memiliki teman dan menatap iri semua orang yang bisa tertawa dan berbicara dengan bebas? Astaga ... hal-hal yang berhubungan dengan bersosialisasi jelas bukan bidangnya. Namun semakin memikirkan, Corin semakin merasa dirinya sangat ... sangat pengecut, sangat lemah, sangat ... tidak berguna.

"Aku ... benar-benar ... payah?" Corin bergumam. Murung memikirkan nasip tragisnya di usia muda. 2 tahun duduk di bangku SMA, ia tidak akan memiliki satu orang pun teman?

"Siapa bilang?"

Deg.

Corin membeku. Jantungnya terasa mencelos. Refleks, ia mengangkat wajah, menoleh ke kanan dan kiri dengan panik. Oh, sungguh, ia mendengar suara seseorang! Tetapi siapa yang berbicara? Corin gelisah. Ia mendengar suara anak kecil, sangat jelas hingga terdengar seperti berbicara tepat di kupingnya. Namun, tidak ada siapapun di sini, jadi siapa yang berbicara?

Corin merinding.

Cepat-cepat melangkah meninggalkan daerah sepi, gadis SMA itu tidak henti mengusap-usap lengannya sendiri. Tepat ketika ia berjalan ke belokan, bukan anak kecil, tetapi teman sekelasnya lah yang sepasang iris hitam itu temukan.

Gadis remaja yang berjalan di trotar itu berada di seberang jalan dengannya. Sosok itu berjalan kaki, terlihat indah diantara rimbun pepohonan yang meneduhinya dari cahaya matahari. Dengan wajah blesteran dan rambut cokelat bergelombang melewati bahu, sosok cantik itu seolah tengah berjalan di atas catwalk dan bukan di atas ubin batu yang kasar.

Masih mengenakan seragam putih abu-abu, Caroline Weish, atau biasa dipanggil Lin, terlihat begitu mempesona.

Namun, yang membuat Corin tidak berhenti menatap bukanlah karena tanpa sengaja ia bertemu dengan teman sekelas yang populer itu, melainkan karena sosok kecil yang selangkah demi selangkah, mengikuti sang remaja.

Kucing hitam berekor panjang seolah terlatih dengan baik. Mengikuti Caroline dengan keempat kakinya yang panjang dan anggun. Melangkah dengan pasti seraya meliuk-liukkan ekornya di udara. Kucing hitam itu sangat indah, bulunya berkilau bak permadani mahal. Mengangkat wajah kecilnya dan menatap lurus ke depan tanpa sedikitpun menoleh ke sekeliling. Sangat angkuh, selayaknya seorang bangsawan tinggi yang berjalan ke tempat rakyat jelatah. Begitu angkuh dan sombong. 

Meski bulu kucing itu tidak panjang dan lebih seperti kucing kampung, cara berjalan kucing hitam ini benar-benar ... hebat. Corin yakin kucing ini tidak mengeong meminta makanan kan? Mengikuti teman sekelasnya dengan patuh seperti itu, jelas bukan karena Caroline membawa makanan kucing di tangannya kan? Mau tidak mau Corin curiga bahwa kucing milik teman sekelasnya ini sering mengikuti kontes kucing. 

Bagaimana tidak? Cara berjalan kucing hitam itu terlalu anggun!

Tap.

Deg.

Jantung Corin melompat. Mendadak Caroline menghentikan langkah, menoleh dan tepat menatap ke arahnya.

Corin merinding. Ia refleks memalingkan wajah.

A-astaga! Astaga! Astaga!

Panik bukan main, remaja itu menundukkan kepala dan mengambil langkah seribu. Oh, sungguh, kenapa mendadak Lin menatapnya?! Tidak tahukah ia bahwa tindakannya membuat Corin terasa terkena serangan jantung?! Bagaimana bila ia mati mendadak karena kaget?!

Namun yang lebih penting ...

KENAPA AKU MELARIKAN DIRI?!

Corin benar-benar bingung. Ia refleks kabur, tetapi tidak tahu salah apa. Sungguh, tidak ada kejahatan hanya karena menatap terlalu lama, bukan? Lagipula yang ditatap adalah kucing! Kucing hitam milik Caroline dan bukan Carolinenya!

"Awas!"

"Ah!"

Corin refleks memekik. Tasnya ditarik dari belakang, membuat sang remaja menghentikan langkah dan nyaris kehilangan keseimbangan. Namun beruntung, sosok di belakangnya menahan, membuat sang remaja tidak jadi terjungkal.

"Kak, ada pohon di depanmu, kamu gak liat?" Nada jenaka terdengar. Corin tidak memperhatikan atau bahkan mendengarkan. Remaja itu mematung di tempat, menatap ngeri pohon yang ada tepat di depannya. Jantungnya melompat-lompat, seolah akan keluar dari rongganya.

Beberapa cm lagi ... Beberapa cm lagi ... Oh, sungguh, bila ia benar-benar menabrak pohon, bukankah itu sangat memalukan?!

Mengambil langkah mundur, remaja SMA itu menjauh dari pohon besar yang menjadi salah satu penghijauan kota. Jantungnya masih tidak tenang, pikirannya terasa berantakan. Bila bukan karena ada seseorang yang menahan tepat waktu, Corin yakin jidatnya akan berciuman dengan pohon. Sungguh sangat tidak etis ketika benjolan di jidat akan menjadi bukti nyata ciuman mesra bersama pohon. 

"Kakak gak apa?"

Corin berkedip dan refleks menoleh ke belakangnya. Sosok bocah lelaki berambut cokelat pendek terlihat. Tingginya sedikit lebih pendek dari Corin. Dengan wajah yang masih kekanakan dan helai rambut agak ikal, mata besar itu berkedip polos.

Sangat cantik.

Hal pertama yang dipikirkan Corin adalah, anak lelaki ini cantik sekali, mirip seperti anak perempuan. Namun dalam setengah detik, gelitik liar mendadak meraba. Sukses membuat wajah yang memucat, berubah menjadi semerah lampion.

Corin gemetar. Rasa malu membuatnya benar-benar ingin menangis. Terlebih, melihat senyuman geli di wajah cantik itu ...

Ia benar-benar ditertawakan?!

Malu bukan main, remaja SMA memalingkan wajah. 

"Aduh!"

"Eh?!" Corin kaget bukan main. Bocah cantik itu langsung bergerak mundur, menutup wajah dengan kedua tangan karena rasa sakit dari cambukan rambut Corin.

"Ma-maaf! Maaf!" Corin benar-benar panik, ia berbalik dan melangkah mendekat, ingin menyentuh tetapi juga tidak berani. Bocah lelaki itu membungkuk, mengaduh dan meringis perihal matanya yang terkena kibasan rambut. Beberapa kutukan keluar, sukese menghancurkan citra malaikat kecilnya.

"Sialan, Kak! Itu rambut atau ijuk?! Sakit bego! Aduh, aduh, ini kalo aku buta gimana?! Mau tanggung jawab?! Situ mau ngeganti mataku?!"

Mendengarnya, membuat wajah Corin memucat.

Apakah bocah ini akan buta karena rambutnya?!

Tubuh anak SMA itu gemetar. Takut bukan main melanda. Mendadak, ia merasa akan ditangkap polisi karena melakukan kejahatan.

Ditangkap polisi ...

Oh, bagaimana bila ia benar-benar akan ditangkap polisi?!

Panik bukan main, remaja SMA refleks menolek ke kanan dan ke kiri. Beruntung, tidak ada siapapun. Tidak ada saksi mata. Jadi, bermodalkan tekat, Corin berbalik dan mengambil langkah seribu.

Selamatkan nyawa! Selamatkan masa depan! Corin tidak mau mendadak masa depannya terancam suram karena dipanggil ke kantor polisi! Beruntung, seragamnya putih abu-abu, selayaknya seragam yang dikenakan oleh sekolah-sekolah negeri pada umumnya!

Lalu ... lalu ...

Bocah itu belum sempat melihat wajahnya kan? Belum sempat melihat namanya di bordir seragam kan?

Corin gemetar.

Semoga tidak ... semoga saja tidak sempat melihat ...

"KUCINGNYA!"

Deg!

Jantung sang remaja mencelos. Teriakan itu kembali terdengar, diiringi dengan suara klakson yang memekakan telinga. Namun kali ini, peringatan bukan untuk Corin, tetapi untuk sosok lain yang berada tepat di tengah jalan.

Corin tidak bisa mencerna dengan jelas. Semua hal terjadi dengan lamban, tetapi juga sangat cepat. Otaknya bahkan belum sempat berpikir ketika tiba-tiba, tubuhnya bergerak dengan sendirinya, seperti sebuah mekanisme yang telah diatur.

Sepasang mata kelabu yang polos mengunci keberadaannya. Seekor anak kucing hitam berada di atas aspal. Duduk manis dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Bulu hitamnya terlihat lembut, membuatnya terlihat seperti bola bulu gemuk yang lucu dan menggemaskan. Namun teriakan dan suara klakson yang memekakan telinga tidak sesuai dengan keberadaan yang begitu polos itu. 

Corin berlari ke tengah jalan, meraih sosok kecil, rapuh dan lembut ke dalam dekapannya. Lalu, seolah semua telah diprediksi, teriakan dan suara klakson semakin besar dan memekakan telinga hanya membuat Corin memikirkan satu hal.

Ia akan mati.

"Phoenix!"

Lalu di detik berikutnya, semua pengelihatannya berubah menjadi putih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status