Jarum jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku pun memasukkan ponsel itu ke dalam tas kerja milikku, lalu meraih tas tersebut. Aku pun lantas melangkah keluar ruanganku dan menuju ke arah di mana mobilku terparkir.Belasan menit kendaraan roda empatku menyusuri jalanan beraspal, hingga akhirnya kendaraanku masuk ke dalam halaman. Saat baru saja aku keluar dari mobil, tiba-tiba Mutia datang menyambut dan melangkah mendekat ke arahku. Cepat mataku menyusuri ke segala penjuru, takut jika Rena akan melihat kejadian ini. "Mas, jangan lupa kamu hari ini harus bilang sama istri tuamu itu ya," ucap Mutia mengingatkanku atas janji yang kuucapkan tadi padanya. "Kan masih ada waktu sampai besok malam," lirihku. "Ya usahakan malam ini, Mas! Jangan lama-lama, pernikahan kita tinggal menghitung hari!" pekik Mutia sembari melotot ke arahku. "Iya, iya. Nanti akan aku bicarakan dengan Rena. Sekarang kamu masuk, jangan sampai Rena melihat ini," pintaku."Halah, Mas. Orang be
"Kenapa kamu baru membahasnya sekarang? Dulu kamu tak pernah membahas perihal anak. Tapi kenapa kamu tiba-tiba meminta izin untuk menikah lagi dengan alasan karena aku tak kunjung memberikan keturunan untukmu? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau kehadiran anak itu mutlak kuasa Allah? Bukankah kamu sudah bilang kalau pernikahan itu tak melulu soal anak? Bahkan, kamu mengatakannya belum ada sebulan yang lalu loh. Apa kamu sudah amnesia?!"Aku menelan saliva dengan susah payah. Yang dikatakan oleh Rena memang benar adanya. Dulu aku selalu mengatakan hal itu jika Rena gelisah karena tak kunjung hadirnya janin di dalam rahimnya. "Tapi sekarang berbeda, Ren! Ibuku sudah semakin tua. Ibu juga menginginkan cucu dari anak lelaki semata wayangnya," ucapku tak mau kalah. Jangan sampai Rena membuatku mati kutu. Bagaimana pun caranya aku harus membuatnya memberikan izin untukku menikahi Mutia. Walau dengan ucapan paling menyakitkan sekalipun.Terlihat Rena mengusap lelehan air mata itu denga
"Sayang ...."Aku pun langsung memeluk tubuh Mutia dari belakang, tentu membuat tubuh yang sedikit berisi itu tersentak kaget. "Kamu apa-apaan sih, Mas! Bikin kaget saja," gerutu Mutia. Aku hanya tersenyum, lantas ia pun langsung mengurai pelukanku lalu memutar tubuh, hingga akhirnya pandangan kami pun saling bertemu. "Ibu kemana? Kok nggak sama kamu?" tanyaku yang saat berjalan menemui Mutia, taku kulihat Ibu sama sekali. Aku hanya melihat Mutia yang sedang berdiri di ruang tamu sembari memainkan ponsel dengan posisi membelakangiku. "Ibu tadi katanya mau ke kamar mandi sih," jelas Mutia yang kubalas dengan anggukan sembari mengulas senyum. Akan tetapi, Mutia tiba-tiba menatapku dengan kening yang berkerut tajam. "Mas ....""Ya?" "Sepertinya kamu sedang bahagia, ya kan?!" tebak Mutia menelisik wajahku dengan seksama. Aku tersenyum lalu mengangguk cepat. "Aha ... aku bisa menebaknya, pasti kamu sudah membicarakan pernikahan kita dengan istri tuamu itu ya?!"Lagi, aku hanya meng
"Apa yang kalian lakukan di rumah ini?! Jangan macam-macam kamu, Yog! Ingat, kalian itu belum menikah!" pekik Ibu dengan suara tertahan. Ibu pun melangkah ke arahku sembari memasang raut wajah yang ... entah. "Apa sih, Bu. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Gil* apa kalau Yoga mau macam-macam di rumah ini," seruku tak terima. Aku tahu apa yang ada di pikiran Ibu, pasti ia menganggap kalau kami tadi sempat menyelami lautan b*rahi. "Terus kamu ngapain di sini? Mana pintu dikunci segala!" Akhirnya aku pun mulai menceritakan semuanya pada Ibu. Termasuk Rena yang akan memberikan syarat kepadaku. ****Pov Author**Setelah kepergian sang suami, Rena pun mengusap wajahnya dengan kasar. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu pun lantas berjalan menuju ke arah kamar mandi setelah ia mengunci pintu kamar. Rena membasuh wajahnya. Setelahnya ia pun menatap cermin yang terpasang di dinding kamar mandi. Ada rasa tak percaya pada diri Rena saat mendengar kejujuran yang dikatakan ole
Setelah acara sarapan itu, Rena memutuskan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yoga beserta ibu dan calon madunya. Rena menghempaskan tubuhnya di ranjang sembari memainkan ponsel, berbeda dengan keadaan di ruang makan. Terjadi perdebatan di antara mereka. "Kamu ini apa-apaan, Yog?" sungut sang Ibu kepada Yoga."Iya, Mas? Kenapa kamu menyanggupi permintaan istri tuamu itu?!" Mutia pun tak kalah terheran-heran. Bagaimana tidak, syarat yang diberikan oleh Rena baru diberikan dan tanpa berpikir panjang Yoga langsung memberikannya keputusan. Bahkan, tanpa merundingkannya terlebih dahulu dengan ibu beserta calon istri keduanya itu. "Sudahlah, Bu ... ibu tenang saja," ucap Yoga dengan santai. Tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ucapan Yoga tentu membuat kedua bola mata Mirna–ibunda dari Yoga itu mendelik dengan sempurna. "Tenang kamu bilang?! Duit darimana sebanyak itu?!" pekik Mirna yang tak habis pikir dengan keputusan sang putra. "Iya ih, Mas. Kan uang kamu di rekening tinggal lima pu
"Ren, kata Ibu beberapa hari ini kamu nggak mau membersihkan rumah dan masak ya?" tanya Yoga dengan hati-hati. Sebenarnya hati lelaki itu sedang kesal. Bagaimana tidak, baru saja ia masuk ke dalam rumah, tiba-tiba sang ibu langsung mengadu perihal tersebut. "Iya. Kenapa? Apa calon istri keduamu itu mengatakan padamu?" tanya Rena tanpa merasa takut sedikit pun. "Bukan Mutia.""Ibumu?" Yoga hanya menganggukkan kepala dengan samar. "Seminggu lagi kalian akan menikah. Aku hanya mengajari Mutia pekerjaan apa yang harus ia lakukan sebagai seorang ibu rumah tangga. Sebab, aku melihat sosok Mutia, dia tak pernah memegang sapu, wajan atau pun yang lainnya," ucap Rena tanpa menatap sang suami. Rena masih disibukkan melipat pakaian miliknya. "Bukankah aku calon madu yang baik, Mas, karena mau mengajari Mutia melakukan hal seremeh itu. Di sini, kamu terbiasa pergi kerja dalam keadaan perut yang kenyang, dan pulang langsung disambut rumah yang bersih dan hidangan yang sudah tertata," lanjut
Pov Rena**Setelah sejumlah uang itu aku terima, Mas Yoga pun berpamitan untuk menemui calon istri keduanya. Dan tentu saja aku membiarkannya. Tak ada sedikit pun niatku untuk mencegah mereka untuk berduaan. Untuk apa?Toh sekarang aku sudah mendapatkan semua hartanya, dan pada akhirnya aku pun akan meminta cerai dengan Mas dirinya. Setelah selesai memasukkan baju di dalam lemari, aku pun segera menghubungi Maya sahabatku. Ada yang ingin aku rencanakan dengan sejumlah uang yang aku terima barusan."Halo, Ren. Ada apa?" Suara itu terdengar saat panggilan terangkat setelah bunyi dering ke tiga. "Kamu besok sibuk enggak?""Enggak, ada apa?" sahut Maya dari seberang sana. "Hm ... besok bisa ikut aku ke tukang jual perhiasan?" tanyaku. "Kamu mau beli perhiasan? Ok, aku temani." "Iya. Tapi aku mau beli perhiasan imitasi." "Untuk apa, Ren?" "Begini, Mas Yoga kemarin malam bilang ke aku, dia meminta izin untuk menikah lagi ....""Apa?! Yoga meminta izin denganmu?! Apa aku nggak sala
"Sama aku saja, Mbak! Hari ini aku nggak ada kesibukan sama sekali. Dan rasanya aku bosan sekali tiap hari di rumah terus." Kali ini suara Mutia memotong pembicaraanku bersama Mas Yoga. Aku memutar bola mata malas sembari mencebikkan bibir. Tak sudi sekali rasanya pergi dengannya. "Iya, Ren. Kenapa nggak ajak Mutia saja? Sebentar lagi kalian akan menjadi kakak dan adik madu. Kalian berdua tak lama lagi sama-sama menjadi istriku. Apalagi semenjak kemarin setiap hari kamu hanya mengurung diri di dalam kamar. Cobalah sesekali kalian pergi bersama. Itung-itung biar kalian bisa saling mengenal. Bukankah tak kenal maka tak sayang?" "Nah, betul, Mas. Apalagi Mutia pengen keluar. Cuci mata. Bosan tiap hari di rumah aja," sahut Mutia. Pandangan perempuan itu beralih ke arahku. "Sama aku saja ya, Mbak. Mbak Rena bisa membatalkan janji Mbak dengan temannya itu. Apalagi aku tahu betul yang namanya perhiasan, jadi nanti Mbak bisa tanya-tanya ke aku," ucap Mutia dengan penuh antusias. "Hm ...