Ponsel milik Mutia berdering hingga membuatku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, aku yang saat itu masih terbuai di alam mimpi, tiba-tiba suara ponsel itu berbunyi dengan volume yang sangat tinggi. Aku meraih ponsel milik Mutia, dan ternyata hanya lah alarm yang mungkin saja semalam diatur oleh Mutia.Aku mengusap wajahku, setelahnya kudekatkan wajahku dengan Mutia. Beberapa detik kulit bibirku mendarat pada kening itu. Mungkin karena menyadari sentuhan itu, kedua mata Mutia pun terbuka dan bibir itu mengulas senyum."Sudah jam tujuh, katanya kerja," ucapku dengan halus sembari mengelus pucuk kepala Mutia. Tangan itu langsung melingkar erat di punggungku dengan kakinya yang juga membelit pahaku. Seakan-akan ia enggan sekali untuk terbangun."Aku masih ngantuk, Mas ....""Udah jam tujuh loh. Kamu kan berangkat kerja jam delapan. Buruan mandi, nanti Mas anterin," ucapku. Mutia pun berdecak kesal. Dengan malas, ia pun menyibak selimut yang semalam menghangatkan tubuhnya, dan deng
Pov Rena**"Masak apa, Bu?" tanyaku saat aku berjalan menuju dapur, ternyata ibu sudah ada di sana. Padahal jam masih menunjukkan pukul setengah lima pagi, tetapi ibuku sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan menu sarapan untuk kami. Sudah tiga hari aku pulang ke rumah ini. Keberadaan keluargaku, mampu membuatku merasa lupa akan sakit hadi dan kecewa karena pengkhinatan itu. Orang-orang di sekelilingku, terkusus bapak ibuku selalu berusaha mengajakku bicara. Tak akan membiarkanku duduk sendiri, apalagi sampai melamun dan termenung.Bahkan, sekali pun mereka bertanya soal Mas Yoga dan masalah pengkhianatan itu setelah kubilang pada bapak ibuku kalau aku akan menggugat cerai dirinya. Aku tahu maksud mereka bukan karena tak perhatian, akan tetapi, mereka tak ingin mengingatkanku pada masalah itu. Tak bisa dipungkiri, ada yang berbeda setelah perpisahan kami. Ada rasa sakit dan kecewa di relung hati ini. Pengkhianatan itu benar-benar menorehkan luka pada cinta yang suci. "Lagi gor
"Iya! Sudah ingkar janji, pelit bin kikir pula. Padahal kerjaannya cuma minta duit lakik. Secara tidak langsung kan kamar, rumah dan bekakas lainnya dibeli pakek duit Yoga. Lakik mana yang betah hidup dengan wanita kayak gitu? Idih ... amit-amit deh!"Pletak!"Apa-apaan kamu, Ren!" pekik Mbak Sumi yang tak terima saat tepat di mulutnya kulempari wortel yang masih terlihat begitu segar. Aku terkikik saat melihat bibir itu sedikit dower.Harusnya tadi kulempar mulut itu menggunakan kayu yang dipakai Mas Udin untuk menahan gerobak yang berhenti sekalian. Biar nyonyor, nyonyor deh tuh mulut.Kok gemes aku jadinya."Mbak Sumi yang apa-apaan. Jangan bikin fitnah kayak gitu!""Fitnah apa?! Yang kukatakan itu memang fakta! Bahkan, Yoga sendiri yang mengatakannya!"Tuh, kan. Benar apa yang aku katakan. Pasti yang Mas
"Udah, Mbak? Ini saja?" tanya Mang Udin setelah kuserahkan dua ikat kangkung, satu kantong toge dan satu bungkus telur yang berisi empat butir. "Iya, Mang. Rencana mau masak tumis kangkung dicampur toge. Nanti tinggal goreng telur saja," ucapku. "Totalnya lima belas ribu, Mbak," ucap Mang Udin setelah selesai memasukkan belanjaanku lalu menyerahkannya padaku. Kukeluarkan satu lembar uang pecahan dua puluh ribuan. "Kembaliannya, Mbak." "Terima kasih, Mang," jawabku sembari kuterima kembalian dari Mang Udin. Aku pun bergegas masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke dapur. Dan ternyata Ibu sudah menungguku di sana. "Tadi kok Ibu denger-denger di depan ada keributan, Nduk?" tanya Ibu setelah menyadari kehadiranku yang telah duduk di kursi panjang yang terbuat dari bambu. "Biasalah, Bu. Mbak Sumi," jawabku yang sebenarnya malas sekali menyebut nama itu. Terdengar Ibu menghembuskan napas berat. "Mbok ya dibiarin saja toh, Nduk. Nggak usah digubris. Buang-buang tenaga," protes I
"Kalau enam bulan lagi, Mas Yoga sudah jatuh miskin! Kan seru tuh kalau misal dia miskin, pulang kampung, eh, mantan istrinya ini malah bisa buka usaha," lanjutku. Bahkan, aku sampai senyum-senyum sendiri membayangkan jika apa yang aku ucapkan itu menjadi kenyataan. Pasti seru dan lucu kan?Apalagi nanti akan ada adegan Mas Yoga yang ngamuk-ngamuk kayak orang gila karena hartanya sudah kugadaikan. Belum lagi kalau si perempuan murahan itu meninggalkannya dalam keadaan miskin. Aku yakin, nanti pasti keluarga Mas Yoga akan demo ke sini, tak terima dengan apa yang aku lakukan. Sedangkan aku, akan berdiri di depan mereka sambil mengibas-ibaskan lembaran merah pada wajahku. Euhm ... harum uangnya saja rasanya aku sudah bisa menciumnya. "Heh, Nduk! Itu kenapa senyum-senyum sendiri sambil kipas-kipas pakek seikat kangkung gitu?!" pekikan Ibu seketika menyadarkan aku dari lamunan. Aku menoleh ke arah tanganku, benar saja, kangkung itu kugunakan untuk mengipasi wajahku. Aku tersenyum nyeng
Jam yang menggantung di dinding di dalam kamarku menunjukkan pukul delapan pagi. Bergegas aku kembali berkaca, memastikan jika penampilanku saat ini tidak terlihat begitu memalukan. Hanya pakaian gamis berwarna abu-abu dengan jilbab pashmina berwarna senada yang membalut tubuhku ini. Setelah selesai memastikan penampilanku, aku pun bergegas menuju ke arah ranjang. Di mana aku menumpuk berkas-berkas keperluanku untuk menggugat cerai Mas Yoga. Ya, pagi ini aku akan pergi ke pengadilan. Tentu ditemani oleh seseorang. Seorang perempuan yang dulu adalah teman sekelasku. Sudah berumah tangga akan tetapi nasibnya sama seperti diriku. Belum dikarunia keturunan oleh Sang Maha Pemberi Rejeki. Bedanya, kehidupan rumah tangganya begitu harmonis. Apalagi ia memiliki mertua dan ipar yang sabar dan begitu menyayanginya. Menurutku, dia perempuan yang beruntung. Meskipun keadaan ekonominya tergolong pas-pasan.Namanya Laila. Dia seumuran denganku. Pekerjaannya setiap hari akan menemani orang
"Iya, Mbak. Tadi Laila? Kenapa, Mbak? Mbak mau minta nomornya? Mbak mau suruh temenin dia buat antarin ke pengadilan?""Kamu ini timbang ditanyain gitu aja jawabnya malah nyumpahin!" sungut Mbak Seli yang sepertinya mengerti maksud dari ucapanku. Aku hanya terkikik. "Kamu serius mau gugat suamimu? Sah jadi janda dong nanti?" ucap Mbak Seli. "Memangnya kenapa, Mbak, kalau saya jadi janda? Mbak mau nyari madu? Wah ... boleh juga tuh, Mbak. Apalagi Mas Rifai bekerja sebagai mandor di pabrik besar. Tentu bisa lah ya kalau nafkahin kita berdua?" Kedua bola mata Mbak Seli melotot sempurna ke arahku. "Siapa yang sudi punya madu?! Ogah lah, ya! Dasar gatel! Belum juga cere udah nawarin jadi madu!" sungut Mbak Seli yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Sedangkan kulihat sekilas, Mas Rifai yang merupakan suaminya itu hanya tertawa sembari geleng-geleng kepala. "Loh, Mbak. Siapa tahu kan Mbak butuh madu. Biar kerjaan Mbak Seli ada yang bantuin. Termasuk urus Mas Rifai. Gimana, Mbak?
Sayup-sayup kudengar suara adzan berkumandang dari arah masjid yang tak jauh dari tempat tinggalku. Kurenggangkan otot-otot di tubuhku dengan kuangkat kedua tanganku ke atas. Setelahnya, kusibak selimut tipis yang masih bertengger di atas tubuhku sebatas dada dengan sempurna. Aku mengubah posisi menjadi duduk, menunggu kesadaran kembali dengan sepenuhnya. Kuturunkan kedua kakiku, setelahnya aku pun berjalan menuju ke arah kamar mandi yang ada di belakang rumah setelah menyambar handuk yang menggantung di tempatnya. Kuguyur seluruh tubuhku, dan cepat-cepat kuselesaikan ritual mandiku, sebab udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. ****Ponsel yang ada di atas ranjang berdering, membuat tanganku yang sedang mengumpulkan pakaian kotor seketika terhenti. Kutolehkan kepalaku ke arah sumber suara, setelahnya aku pun melangkah ke arah sana. Saat aku meraih ponsel tersebut, ada nomor asing yang menghubungiku. Nomor itu tak tersimpan di ponselku. Bahkan, saat foto profil yang terpa