Melihat ketegangan di antara suaminya dan sang anak, Bu Sinta pun memilih untuk menjadi penengah. Dia tidak boleh membiarkan suaminya itu berkata sembarangan di depan Maura, takutnya Lusi mendengar dan semua uang yang diharapkan hilang begitu saja."Pak, sudahlah. Jangan terus-terusan marah kepada Maura. Biarkan saja dia sesuka hatinya. Lagi pula kita sudah lepas tangan, kan? Dia sudah diadopsi oleh Lusi, dengan begitu beban kita juga sudah berkurang," ungkap Bu Sinta, berusaha mengatakan itu demi menenangkan suaminya.Namun, setiap kalimat yang dilontarkan oleh wanita paruh baya itu malah membuat hati Maura merasa sakit. Ternyata memang kehadirannya itu tidak lebih dari seorang anak yang harus berbakti dengan cara memberikan uang begitu banyak. Bahkan di saat seperti ini, Bu Sinta harusnya memberikan petuah kepada dirinya, agar Maura bisa menitipkan diri dan juga berlaku baik di depan Lusi. Namun sayangnya, tidak ada satu kalimat pun yang dilontarkan Bu Sinta untuk Maura. Wanita i
"Coba bilang sekali lagi! Kamu berani mengatakan seperti itu kepada orang tua?!" tanya suami Bu Sinta. Sekarang wajahnya begitu tegang. Dia bahkan menegakkan punggung, tapi tidak terima dengan semua perkataan yang dilontarkan oleh anak tirinya itu. Maura mengeratkan kedua tangannya. Apa pun yang terjadi, dia harus berusaha untuk memberanikan diri, menentang semua kelakuan ayahnya yang tidak baik. Selama ini Maura diam saja karena dia tidak punya kuasa apa pun, tetapi sekarang Maura akan tinggal bersama Lusi dan mungkin jarang sekali bertemu dengan kedua orang tuanya. Terutama sang Ayah tiri. Jadi, dia akan mencoba untuk mengungkapkan semua perasaannya selama ini saat tinggal bersama sang Ayah tiri. Maura juga punya hati dan perasaan, tidak semestinya diperlakukan seperti itu. Apalagi Maura itu masih remaja harusnya menikmati masa muda dengan sangat baik, agar ada kenangan yang baik pula. Namun gara-gara Ayah tirinya, dia harus merasakan pahitnya hidup. Yang lebih menyakitkan, kare
Mendengar pertanyaan Lusi, kedua orang tua Maura langsung terkesiap. Mereka menoleh kepada Maura, seolah meminta anak itu untuk tidak mengucapkan apa pun. Tetapi kali ini Maura sudah benar-benar muak dengan semua perbuatan kedua orang tuanya, terutama sang Ayah tiri.Selama ini, Maura sudah banyak berkorban. Mengikhlaskan semua penderitaannya meskipun itu sangat menekan dan menyiksa. Tetapi sekarang tidak lagi, ini saatnya Ayah tirinya itu mendapat balasan atas semua perlakuannya kepada Maura, terutama kepada ibunya juga yang sudah berani menyiksa dan menyuruh Bu Sinta untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. "Kenapa kamu diam saja, Maura? Ayo katakan! Apa yang sebenarnya terjadi selama ini, sampai kamu diperlakukan tidak baik oleh Ayah dan Ibu sendiri? Jangan takut! Aku akan melindungimu. Ingat! Mereka sudah mengucapkan untuk melepasmu. Sekarang kamu adalah tanggung jawabku, jadi jangan pernah takut melakukan apa pun jika itu benar," ungkap Lusi, agar gadis itu bersuara. Maur
"Alah! Sudahlah, ngapain kamu nangis dan memukulku seperti itu?! Mau aku pukul balik, hah?!" Suaminya Bu Sinta hampir saja melayangkan pukulan kepada Bu Sinta, tapi langsung dicegah oleh Lusi. Pria itu langsung didorong oleh Lusi sampai terjerembab ke sofa."Jaga tangan Bapak dan perbuatan Bapak di sini, ya! Ini wilayah saya! Ini rumah saya. Kalau Bapak melakukan sesuatu yang membuat rugi, saya tidak akan segan-segan menyeret Bapak ke kantor polisi saat ini juga!" seru Lusi dengan tegas. Dia tidak suka jika seorang pria bermain tangan seperti suaminya Bu Sinta. Sudah masih untung istrinya itu menurut, bahkan rela membuang anaknya sendiri demi pria paruh baya itu, tetapi ternyata malah seperti ini. Ringan tangan sekali. Suaminya Bu Sinta berdiri. Dia hampir saja memukul Lusi kalau Maura tidak ikut melindungi wanita itu, sampai akhirnya yang kena pukul Maura, begitu keras. Sampai menggema di rumah itu. Lusi benar-benar garam. Dia pun akhirnya menelepon satpam untuk segera datang ke
Bu Sinta dan suaminya berjalan keluar dari rumah Lusi dan saat itu pula satpam yang dipanggil oleh wanita itu datang. Sang pria paruh baya kaget melihat kedatangan satpam, pasti ini gara-gara tadi dirinya yang hampir saja menampar Lusi. Dengan cepat pria itu menarik tangan istrinya agar menjauh dari tempat tinggal Lusi, takutnya wanita itu benar-benar melaporkannya ke polisi. Bu Sinta sampai terseret saat berusaha untuk mengikuti langkah suaminya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh suaminya. Mungkinkah marah karena dia sempat membela Maura dan marah-marah karena tahu akan kebusukan pria itu? Namun demikian, Bu Sinta tidak berani bertanya apa-apa. Dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Hatinya benar-benar sedih sebab tahu kalau dirinya tidak bisa bertemu dengan Maura lagi. Kalaupun bisa, wanita itu tak mungkin membawa suaminya. Setelah keluar dari kompleks perumahan elit itu, mereka pun langsung menaiki angkot yang sebelumnya dituliskan oleh Mila. Saat sud
"Tidak, Mas. Aku tahu anak-anakku menderita karena ulah kita. Aku juga tidak menyalahkan kamu seutuhnya. Aku ikut andil dalam permasalahan ini.""Tidak, tidak. Kamu tidak boleh bilang seperti itu. Semua ini kan salahmu. Kamu sendiri yang tidak mengatur uang dengan baik. Uangku juga kamu tidak perlu ikut campur," ujarnya masih mengelak. Bu Sinta ingin menangis sejadi-jadinya mendengar perkataan sang suami. Ternyata, dia benar-benar sudah mengambil keputusan salah, menikah dengan mantan suami yang sudah jelas-jelas tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Hanya karena ingin membuat Mila bahagia, Bu Sinta rela menggadaikan masa depan Maura sampai gadis itu sengsara saat sekolah. Tetapi, ternyata pernikahannya juga malam semakin membuat Mila terpuruk. Niatnya yang mulia itu tergadaikan karena utang-utang yang harus dilunasi oleh anaknya sendiri."Mas, apa kamu tidak kasihan kepada Mila? Dia pasti capek jika banyak bekerja untuk menghasilkan uang bagi kita, sementara dia sendiri sedan
Mila tersenyum miring sembari membuang muka. Dia sama sekali tidak tersentuh ataupun tidak peduli lagi dengan semua yang dikatakan oleh ibunya. Baginya, luka tetaplah luka. Mau bagaimanapun ibunya mengubah segala sikap, yang salah tetap saja di mata Mila sudah terlambat. Sekarang tujuannya adalah satu, dia ingin segera membalaskan dendam kepada kedua orang itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Lusi dan mertuanya. Sebelumnya Mila harus kembali dulu ke rumah orang tuanya untuk melunasi utang-utang. Setelah itu dia akan kembali ke kota ini dan mengontrak saja. Namun demikian, sepertinya dia juga harus membawa kedua orang tua agar tidak dikejar-kejar oleh rentenir, karena Mila tahu kalau utang-utang mereka itu pasti lebih dari puluhan juta. Jadi mau tidak mau harus mengambil tindakan itu. Dia akan mencari kerja di sini, sembari membalaskan dendam. Pokoknya apa pun yang dia inginkan harus terlaksana. Tidak boleh sampai ada yang terlewatkan. Penderitaannya juga harus dirasakan oleh Lusi. "Nah
"Oh, jadi kalian di sini? Pantesan kalian tidak ada di rumah, dari pagi bolak-balik ke sini tidak ada juga. Lalu, kalian dari mana, hah?!" tanya sang rentenir yang sudah sepuh itu kepada kedua orang tua Mila, tetapi keduanya memilih untuk bungkam dan berdiri di balik punggung anaknya. Mila yang paham akan situasi yang terjadi pun akhirnya langsung bertanya berapa utang yang dimiliki oleh kedua orang tuanya itu. "Apakah Ibu ini rentenir yang akan menagih utang orang tua saya?" tanya Mila membuat rentenir itu menelisik penampilan sang wanita hamil mulai dari atas sampai bawah. Walaupun terlihat pucat karena baru saja keluar dari penjara, tetapi Mila punya pesona sendiri, lebih tepatnya tubuhnya yang lebih mengikat dibandingkan wajahnya, karena Mila lebih cantik jika memakai make up. "Oh, jadi ini anak kalian?" tanya wanita tua itu, membuat Bu Sinta dan suaminya terdiam. Mila terdiam juga dia berpikir keras, mencerna apa yang sedang dibicarakan oleh wanita tua itu. "Iya, saya anakn
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se