"Pokoknya kamu harus menempel terus di dekat Devan. Usahakan agar kamu itu bisa mengambil hati Devan, biar bisa dipercaya untuk mengelola restoran. Aku ingin dia bangkrut. Bila perlu, kamu rebut restorannya. Tentu saja kamu harus menghasut Devan, agar mau meninggalkan Lusi. Dengan begitu dia akan benar-benar hancur. Lakukanlah sebagaimana mestinya. Bukankah kamu itu berpengalaman merebut suami orang?" papar Arya, membuat senyuman di bibir Amanda luntur. Sebenarnya dia tidak suka dengan predikat tersebut, tetapi mau bagaimana? Lagi pula, memang kenyataannya Amanda adalah seorang pelakor, yang sudah merebut beberapa pria beristri. Untuk saat ini bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Lebih baik sang wanita melakukan tugasnya dengan benar, agar rencana ini segera terlaksana. Setelah itu dia akan benar-benar mengambil hati Devan."Jangan lupa kamu besok datang ke restorannya. Bukankah kamu diberikan kartu nama oleh Devan?" Amanda langsung menganggukkan kepala. "Bagus! Tugasmu hanya
Hening beberapa saat. Tidak ada yang berbicara. Saat ini Lusi berhasil masuk ke tempat Maura. Gadis itu juga tidak mengucapkan sepatah kata pun, hanya bisa menunduk sembari memainkan jemari tangan. Sungguh, dia benar-benar merutuki diri karena sudah meminta sesuatu yang harusnya tidak dikatakan. Pasti Lusi saat ini murka kepada Maura, begitu pikir sang gadis. Tampaknya sebentar lagi dia harus bersiap untuk pulang ke kampung halaman, bertemu dengan Ayah dan ibunya. Lalu, kembali sengsara dan harus memenuhi kebutuhan kedua orang tua itu.Terdengar helaan napas panjang dari Lusi, membuat Maura memejamkan mata. Karena takut jika sang wanita akan memarahinya. "Coba jelaskan, kenapa kamu meminta hal seperti itu?" tanya Lusi dengan sangat hati-hati. Dia tidak mau melukai hati adiknya. Bagaimanapun situasi saat ini sedang tidak baik, entah dirinya maupun Maura. "Maaf, Mbak. Kalau aku salah bicara, aku hanya refleks saja," ujar Maura, akhirnya mengungkapkan hal itu. Sebab dari tadi dia ta
"Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan melakukan seperti itu. Karena bagiku istri dan anak lebih utama, apalagi istrimu sudah melahirkan sampai nyawanya tidak terselamatkan."Mendengar kata-kata Arya yang begitu menusuk, membuat Devan terdiam. Dia pun memilih untuk bungkam, tidak melanjutkan perkataan itu. Arya juga memilih untuk pergi dari sana. Kalau terus-terusan di depan Devan, bisa-bisa emosinya terpancing. Apa pun yang berkaitan perihal sepupunya, membuat Arya terus-terusan memendam dendam kepada Devan. Sementara itu, Devan juga mulai bingung harus melakukan apa. Masalahnya jadi banyak seperti ini. Satu sisi dia tidak mungkin meninggalkan Amanda karena sudah menabraknya. Sisi lain Lusi juga salah paham dengan keadaan seperti ini. Satu-satunya cara, dia harus segera bertemu dengan Lusi. Kalau tidak, masalah ini akan semakin membesar dan mungkin berefek kepada dirinya.Keesokan harinya, Devan sudah datang ke rumah Lusi. Betapa kagetnya saat mengetahui kalau Lusi ternyata pergi ke
Tiba-tiba saja Adiba mencengkram kedua pipi Anaya, membuat gadis itu terkesiap. Rani yang melihatnya pun kaget bukan main. Adiba mendekat pada Anaya, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter, sampai gadis itu pun membisikan sesuatu kepada Anaya. Tubuh Anaya begitu bergetar mendengarnya. "Lo tahu? Gue itu pernah masukin orang yang pernah bully gue ke rumah sakit. Bahkan, dia itu nggak bisa berjalan sampai sekarang. Jadi, kecil bagi gue buat melakukan hal sama sama lo, kalau lo masih buat masalah sama saudara gue atau lo mau coba sekarang?"Tatapan Adiba begitu menusuk dan mengintimidasi, membuat Anaya kontan menggelengkan kepala. Tiba-tiba Adiba langsung menghempaskan wajah Anaya, membuat wanita itu hampir saja terjerembab ke lantai kalau tidak ditahan oleh Rani. "Ingat, ya! Kalau sampai gue dengar saudara gue dibully atau dianiaya sama kalian, lo berdua nggak akan pernah melihat masa depan. Paham?"Anaya langsung menganggukkan kepala, setelah itu Adiba menghadap kepada Maura
Lusi menghentikan mobilnya di bahu jalan. Entah di mana, yang pasti dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Antara penyesalan dan juga kelegaan bercampur jadi satu. Karena dia sudah bisa melepas Devan dengan alasan jelas. Memang dari awal dia setengah hati menjalani hubungan ini. Hanya terlintas untuk memanfaatkan pria itu dan balas dendam kepada Raka. Tetapi ternyata dia mulai main hati dan merasa sakit saat melihat Devan bersama wanita lain. Padahal harusnya Lusi bersiap untuk menerima semua itu. Lagi pula, pada akhirnya dia akan meninggalkan Devan jika rencananya sudah selesai. Ternyata semua kejadian itu membuatnya bisa mengambil hikmah.Sekarang, Lusi akan kembali ke jalurnya yang seharusnya, tidak melibatkan siapapun. Apalagi seorang pria. Dia tidak mau tertaut hatinya kepada siapapun lagi. Selama rencananya belum berhasil, segala perasaan yang bersarang harus dikendalikan. Mungkin dia bisa memikirkan semua ini dengan matang. Jika orang tuanya masih ada, pasti akan membantun
"Loh, Ibu ngapain di sini?" tanya Raka, suaranya tergagap. Dia benar-benar kaget, berpikir kalau ibunya sudah pergi dari restoran ini. Ternyata Bu Sinta balik lagi. Sebenarnya, wanita itu tiba-tiba saja kebelet saat sudah di luar restoran, jadi dia berpikir untuk menumpang ke kamar mandi terlebih dahulu. Tetapi yang dilihat, anaknya sedang membereskan piring bekas makannya. Apalagi memakai seragam yang sesuai dengan karyawan yang ada di sini."Ibu yang harusnya tanya, kamu lagi ngapain di sini, hah?!" tanya Bu Sinta dengan setengah berteriak, membuat tamu-tamu yang lain mulai menjadikan mereka sebagai tontonan. Arya yang melihat itu pun langsung menghampirinya. Tampaknya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Maaf, ada apa, ya? Kenapa ribut-ribut di restoran kami?" tanya Arya, berusaha untuk menengahi dan berpura-pura secara spontanitas. "Ini loh, Mas. Kenapa anak saya ada di sini? Pakai seragam pula," tanya Bu Sinta menyelidik. Raka tidak bisa berkata-kata. Dia seperti dejavu k
"Lus, kenalkan. Dia calon suamiku."Alis Lusi bertaut kencang ketika mendengar Mila memperkenalkan seorang pria di hadapan sebagai calon suaminya. Daging merah di dalam dadanya berdenyut keras mendapati sosok pria yang sedang berdiri mematung di sana.Suara Lusi pun terasa tersekat di tenggorokan. Matanya berubah nanar melihat pria yang hanya diam memandangnya dengan tatapan yang tak dapat ia artikan. Sungguh, ini bagaikan mimpi buruk bagi Lusi.Pijakan Lusi di atas bumi ini seperti berputar dan suara Mila seakan makin menjauh dari pendengaran wanita itu.'Tuhan, jika ini hanya mimpi buruk, tolong biarkan aku terjaga.' Lusi membatin dengan perasaan yang penuh kegundahan."Kamu kenal dia, kan?" tanya Mila. "Dia Mas Raka, suamimu," ucapnya sembari tersenyum. Ia melontarkan kalimat itu tanpa rasa bersalah.Jelas saja Lusi kenal dengan pria itu!Dulu, Lusi akan ikut senang jika Mila tersenyum seperti itu. Karena, dia adalah sahabatnya. Ya, orang yang Lusi sayangi setelah keluarganya. Aka
Lusi kembali menjerit di depan Raka. Akan tetapi, pria itu tetap bergeming.Tatapan Lusi teralihkan pada sahabat yang sekarang sudah menjadi musuhnya. Padahal, dia menyayangi Mila seperti saudara sendiri. Namun, malah air tuba yang Mila balas untuk susu yang telah Lusi berikan.Senyum itu, kini tampak menjijikkan di mata Lusi. Mila masih saja tersenyum walaupun sudah ia hina. Mungkin urat malunya sudah putus sampai Mila dengan bangga mengakui kehamilan hasil dari perselingkuhan. Luar biasa sekali."Untuk kamu! Aku baru tahu kalau kamu ternyata cuma seorang jalang!"Wajah Mila seketika berubah. Ada kemarahan yang mulai terlihat di rautnya. Entah kenapa, itu justru membuat rasa sakit Lusi pelan-pelan tersamarkan."Aku memberimu kepercayaaan, tapi malah disalahgunakan. Aku tidak tahu kalau selama ini kamu hanyalah barang murahan!"Kali ini ekspresi dua orang itu menegang. Mungkin tidak menyangka jika seorang Lusi bisa mengeluarkan kata-kata pedas dan menohok."Kalau memang kamu mau Mas