“Kalian bisa berpisah lagi kalau kamu mengakui anak Mila,” cetus Bu Sinta dengan kesal.Raka diam saja. Hati kecilnya berbisik, apakah dia bisa melakukan itu semua? Membuang darah dagingnya sendiri? Sementara bayi itu tidak salah sama sekali.“Bu, bayi itu tidak bersalah. Apa perlu aku melakukan kejahatan seperti itu?”“Kamu itu terlalu pakai perasaan. Kalau memang tidak tega, tinggal kasih nafkah saja setiap bulannya untuk anak itu. Tapi, itu pun kalau memang dia anak kandungmu. Intinya, jangan dibuat pusing dengan hal yang belum pasti.” Bu Sinta gampang sekali mengatakan itu, karena hanya bisa merintah. Sementara yang menjalankan adalah Raka. Pria itu lagi-lagi tak bisa mengatakan apa-apa.Sementara itu, Adiba sudah bersiap dengan Maura. Sebenarnya gadis itu merasa malas sekali jika berurusan dengan Adiba. Sebab, pasti ada saja masalah yang timbul.Sementara Lusi mengamati Maura yang tampak gusar. Sejak Adiba memperlihatkan bukti tentang Maura, wanita itu jadi merasa harus waspada.
“Ngapain di situ saja? Ayo, masuk!” seru Adiba saat dia hendak masuk ke restoran, tapi Maura hanya diam di tempat.Maura berdecak keras. Dari pada melihat Adiba, lebih baik dia tunggu saja di mobil. Begitu pikir sang gadis. Namun, tampaknya Adiba tidak mau.“Mbak aja. Aku kan udah dipecat, malu kalau ke dalam. Dikira nanti ngarep balik lagi.”“Bukannya memang ngarep balik lagi, kan?” celetuk Adiba, membuat Maura mendengkus kesal.“Sudahlah, kamu datang buat nemenim makan. Kalau ada yang tanya kenapa ke sini, jawab saja jadi pelanggan, bukan pelayan.”Adiba tidak mau menerima alasan apa pun, langsung menarik tangan Maura untuk ikut dengan gadis itu.Saat sampai di dalam, mereka berdua disambut oleh Arya yang kebetulan ada di dekat pintu. Pria itu sontak terdiam, lebih tepatnya terpana dengan penampilan Adiba.Mungkin saja pria itu sama sekali tidak mengenali Adiba yang dimaksud oleh Maura tempo hari.“Silakan masuk,” ucap Arya, sedikit gugup.Pria itu sempat melirik sekilas pada Maura,
“Kartu namaku.”Adiba merasa puas, ternyata membuat pria ini terpesona semudah ini? Mana yang katanya tidak tertarik dengan wanita manapun? Tetapi, buktinya? Arya hanya perlu seorang gadis yang berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya.Gadis itu menaikkan sebelah alis, seolah bertanya apa maksud dari pria itu memberikan kartu namanya.“Nanti kalau mau makan menu yang ada di sini, tinggal hubungi aku saja.”Adiba tersenyum kecil. “Kupikir tidak ada layanan seperti ini.”“Hanya untuk pelanggan spesial.”Arya sama sekali tidak memberikan senyumannya. Tetapi, sorot mata dan raut wajahnya tampak sekali sedang berusaha menarik perhatian Adiba.“Aku tidak tahu soal itu. Tapi, terima kasih atas layanan spesial ini.”Setelah itu, Adiba dan Maura pun pergi dari sana. Arya hanya bisa melihat kepergian keduanya dengan perasaan campur aduk.Selama di perjalanan, Adiba diam. Sesekali menyeringai aneh. Gadis itu sudah banyak menyusun rencana, yang pasti selanjutnya dia akan membuat sebuah kejadia
Sesampainya di timezone, Alia begitu antusias. Dia menghabiskan waktu dengan kedua orang tuanya. Sesekali, Lusi dan Raka bermain bersama anaknya secara bergantian.Saat ini Lusi yang sedang bermain dengan Alia, sementara Raka menunggu dari kejauhan. Kala itu, Raka langsung terpikirkan tentang rencananya. Ini peluang yang sangat bagus.Sang pria melihat botol minuman di tas Lusi. Pria itu bergegas membuang isinya, lalu mengganti dengan air ajian dari dukun. Mungkin terlihat licik, tapi dari awal memang cara ini sudah salah. Jadi, sekalian saja melakukannya dengan jalan yang salah juga.Selang 15 menit kemudian, Lusi dan Alia pun menyudahi permainannya. Alia hendak meminum air di botol milik Lusi, tapi langsung dicegah.“Ini punya Ibu, Alia minum yang baru saja, ya?”Pria itu mengeluarkan botol minum miliknya yang masih tersegel rapi. Sementara itu Raka menyerahkan botol milik Lusi.Wanita itu sama sekali tidak curiga dengan apa yang sudah dilakukan oleh sang pria. Meminum air itu hingg
Raka berpindah tempat, duduk di samping Lusi. Dia akan memberikan dokrin kepada Lusi, agar wanita itu mau mengikuti semua perintahnya.“Kalau begitu, kita rujuk saja, ya?”Lusi menoleh kepada Raka. Lagi-lagi tatapan wanita itu tampak tak karuan, lebih terlihat kosong.“Rujuk?”“Iya, rujuk. Kita bersama lagi, seperti dulu. Aku, kamu dan Alia. Mau kan?”Lusi tampak bingung. Raka berusaha mendesak Lusi untuk segera menjawab. Tetapi, didahului dengan suara dering ponsel Lusi.Wanita itu tampak kaget, sementara Raka dan Bu Sinta yang melihatnya hanya berdecak keras.Tertera nama Adiba di sana. Wanita itu langsung menolaknya. Raka kalah cepat, harusnya sang pria melarang. Bisa-bisa berabe kalau sampai Adiba tahu di mana mereka.“Halo, Lus. Kamu di mana?”“Aku—“Raka langsung meraih ponsel Lusi dan mematikan sambungan telepon. Sang wanita sempat kaget dengan pergerakan Raka, tapi Lusi sama sekali tak protes.Bu Sinta berdecak kagum. Kalau sebelumnya, wanita itu pasti akan menolak dan menganc
Sementara itu di tempat Mila, dia tampak tak tenang. Menunggu hari esok, keputusan apakah dia masih bisa mempertahankan Raka atau tidak. Sang wanita mengelus perutnya dengan lembut, berusahan berkomunikasi dengan anaknya agar besok bisa bekerja sama, menyemogakan agar mereka bisa kembali bersama dengan Raka.Untunglah, usaha butik dari hasil dia ‘bekerja’ di tempat lahirnya beberapa minggu yang lalu membuahkan hasil. Banyak peminat dari produk-produk di butik Mila. Wanita itu juga memasarkannya lewat on line, makanya lebih cepat terkenal. Tentu tanpa wajahnya.Mana mungkin Mila memasang wajahnya yang sempat viral karena kasus perselingkuhan. Wanita itu memakai pegawai yang live dan admin untuk mengelola toko onlinenya. Tentu saja di bawah pengawasannya.Untuk ekonomi, Mila memang membaik. Tetapi untuk percintaan, tampaknya Mila harus lebih ekstra usaha keras.“Nak, kita berdoa, ya. Semoga kamu adalah anak kandung dari Ayah Raka. Dengan begitu, kita bisa bersama lagi.”Di rumah Bu Sint
Alia begitu bahagia saat tahu kalau dia akan diantarkan sekolah oleh Ayah dan ibunya, sama seperti dulu sebelum orang tuanya berpisah. Raka juga merasa kalau kebahagiaa akan segera menghampiri sebab perubahan Lusi memang sangat drastis.Awalnya dia dan Lusi akan berangkat jam 9 pagi, sesuai dengan kesepakatan awal. Tetapi, entah kenapa Bu Sinta tiba-tiba saja menyuruh Raka berangkat lebih awal meninggalkan rumah. Mengajak Lusi sarapan di luar sebelum pertemuan mereka dengan Mila.Raka tidak mau ambil pusing itu, yang penting semua rencana ibunya demi kebaikan dirinya.Di sela-sela sarapan mereka di sebuah restoran, Raka mulai berbicara dendan Lusi. Sang pria akan memberikan dokrin dan sebuah sugesti yang akan dipatuhi oleh Lusi.“Lus, aku sengaja mau ajak kamu keluar untuk bertemu Mila.”Tubuh Lusi menegang mendengarnya. Tetapi, wajahnya terlihat bingung dan khawatir. Tampaknya ajian yang masuk ke tubuh Lusi membuat wanita itu melupakan kisah tentang Mila.“Kenapa, Mas? Kamu memilih d
“Kenapa kamu tidak bilang kepadaku?!” tanya Devan, malah ikutan kesal pada Maura.Gadis itu mendelik, greget juga. Harusnya sang pria tahu kalau dirinya masih kesal perihal pemecatannya di restoran milik sang pria.“Buat apa? Mas Devan saja sudah memecatku, jadi untuk apa aku memberi informasi itu.”Devan menoleh dengan wajah tak percaya. Sang pria sampai tak bisa berkata-kata. Di saat seperti ini Maura malah membicarakan perihal pekerjaan.Padalah bagi sang gadis itu bukan hanya sekedar pekerjaan belaka, tapi sebuah usaha untuk mendekati pria yang disukainya.“Kalau masalah itu, kita bahas nanti. Sekarang, fokus ngurusi mereka dulu. Oke?”Maura hanya diam saja dan melihat ke depan. Sesekali melirik ke samping. Walaupun dalam keadaan seperti ini, tapi Maura sudah sangat senang.Kapan lagi bisa semobil dengan Devan? Berdua pula. Hatinya benar-benar merasa bahagia, berharap momen seperti ini terus terulang.Sementara itu selama dalam perjalanan, Raka terus mengobrol dengan Lusi. Bahkan
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se