Pagi-pagi sekali Lusi sudah bersiap dengan pakaian rapi. Tampak sekali seperti akan menghadiri suatu acara. Adiba yang melihatnya pun keheranan. "Kamu mau ke mana?" tanya Adiba sambil menenteng cangkir berisi teh hangat dan duduk di depan Lusi yang ada di ruang makan.Belum juga menjawab, datanglah Alia dengan seragam sekolah. Lusi menyapa Alia dulu sebelum menjawab Adiba dan memilih untuk berbicara dengan Alia dulu. Wanita itu menyiapkan makanan untuk anak tercinta. "Sarapan, ya, Sayang."Alia tersenyum mendengar itu. Hanya ada mereka bertiga di sana. Bu Melati sedang di luar, menyapu halaman. Dia akan makan setelah ketiga wanita berbeda usia itu sarapan, karena menurutnya akan lebih tenang jika pekerjaan rumah selesai dan beres."Jadi, kamu mau kerja di tempat Pak David?" tanya Adiba lagi, yang membuat Lusi terdiam. Seperti sedang berpikir sejenak. "Mungkin di tempat lain aja kali, ya?" "Kok gitu? Kalau aku jadi kamu, pasti aku terima kerjaannya." "Masalahnya bisa itu pasti m
Pria itu ternyata David. Dia melihat sosok Lusi yang begitu cantik dengan pakaian resmi. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Ingin sekali pria itu mengenalkan diri sebagai David. Tetapi sayangnya pasti akan terlalu frontal dan mungkin membuat wanita itu ilfeel kepadanya. Jadi, David pun tiba-tiba saja berpikir untuk mengganti namanya sementara waktu, sampai dia bisa benar-benar mendekati dan mendapatkan hati Lusi. "Perkenalkan nama saya Damian. Saya tetangga baru di sebelah sana," ucap David sembari menunjuk rumah di pinggir Bu melati.Alia, Lusi, dan Adiba menoleh. Sementara Bu Melati mengangguk-anggukan kepala. "Oh, jadi ini yang mengontrak rumah sebelah?" tanya Bu Melati, memastikan.Memang rumah sebelah Bu Melati sudah lama kosong. Bahkan pemiliknya sama sekali tidak mengurus rumah itu dan hampir terlihat seperti bangunan terbengkalai, tetapi Bu Melati tidak menyangka kalau ada penyewa di sana. Bahkan tersebar gosip kalau ada hantu di sana, tetapi Bu Melati memilih untuk
Lusi pamit kepada Bu Melati, sementara David terus memandangi wanita itu sampai Lusi menjauh dari rumah. Bu Melati yang melihat David pun keheranan. Dia lalu menggelengkan kepala. Ya, memang benar Lusi sangat cantik, bahkan banyak pria yang mengantri untuk menjadi suaminya. Tetapi sayangnya Raka malam menyia-nyiakan emas permata demi sebuah batu di jalanan. "Mas? Mas?" ucap Bu Melati, membuat David langsung terkesiap."Iya, Bu?""Mau mampir dulu?" "Nggak usah, Bu. Ini hadiahnya," timpal David, setelah itu sang pria pergi dari sana. Saat perjalanan hingga ke rumah yang akan ditempati, David langsung menelepon Aldo. Tak butuh waktu lama untuk tangan kanannya menerima panggilan dari sang Bos. "Iya, Pak. Ada apa?" "Apa kamu sengaja membuatku berteman dengan hantu?" "Maksud Bapak apa?" tanya Aldo sembari menggaruk kepala. "Rumah itu kotor dan aku yakin sudah lama tidak ditinggali." "Tapi, rumah di sebelah tempat tinggal Nona Lusi," timpal Aldo. David berdesis, menahan amarah. "Ba
David cukup lama terdiam. Sampai akhirnya dia punya ide. Pria itu pun menelepon Aldo dan menyuruh untuk membuka lowongan bagian customer service, yang memang ada shift-nya. Dia yakin Lusi pasti mau jika posisinya customer service, cukup duduk dan menerima panggilan dari beberapa customer yang ada di hotelnya. Sebab David juga punya hotel yang ada di Bandung. Aldo hanya bisa terperangah dan tak mampu berbuat apa pun, kecuali menuruti keinginan bosnya. Sepertinya David sedang mengalami pubertas kedua. Lagi pula dia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengikuti semua kemauan sang bos. David akan berusaha untuk mendekati Lusi melewati berbagai arah, dari pekerjaan dan lingkungan rumah. Berharap kalau wanita itu mau dekat dengannya dan lama-lama bisa takluk di hadapan David. Siang harinya Lusi sudah sampai bersama Alia. David terus memandangi wanita itu. Katakanlah mengutip. Yang penting dia mendapatkan informasi akurat dan memastikan kalau wanita yang sangat digilai itu baik-baik saja.
"Jadi, intinya kamu itu tidak punya siapa-siapa selain aku, begitu?" tanya Mila memancing kejujuran Maura.Dia ingin tahu apakah wanita ini bisa mengatakan hal yang setidaknya bisa menjadi titik lemah untuk mengikat. Dengan begitu sang wanita hamil tidak berusaha supaya mengeluarkan uang sebanyak itu. Maura diam saja. Dia menatap Mila dengan wajah datar. Baginya saat ini dirinya tidak punya siapa-siapa. Mila juga bukan harapan untuk dijadikan saudara atau tumpuan terakhir. Dari dulu pun Mila tidak pernah menganggapnya ada dan hanya menjadikan Maura sebagai beban bagi wanita hamil itu. Jadi, menurut Maura untuk apa dia menganggap kalau Mila adalah keluarga yang bisa dijadikan tempat untuk bersandar? "Tidak, aku anggap Kakak itu bukan keluarga yang bisa diandalkan," ucap Maura, tiba-tiba saja membuat Mila terdiam.Ekspektasi sebelumnya langsung terhempaskan dengan perkataan anak itu. "Aku pikir dulu dengan menemui Kakak setelah kejadian viral, berharap kalau Kakak mau menjalin hubun
Mila menatap adiknya dengan sinis. Dia benar-benar muak dengan semua yang dilakukan oleh Maura. Anak itu selalu saja menantang dan memojokkannya. "Baiklah kalau begitu. Lihat saja, aku akan pastikan kamu keluar dari sini sebelum minggu depan," ujar Mila, memilih untuk pergi ke kamarnya. Sementara Maura hanya bisa terdiam sembari memandangi kepada sang Kakak. Dia akan pastikan kalau dirinya keluar dari tempat ini sembari membawa uang 200 juta. Sekarang bagi Maura tidak masalah putus hubungan darah, yang penting dirinya bisa hidup dengan makmur di kota besar seperti ini. Tidak mau lagi dimanfaatkan oleh orang-orang atau dirinya akan menderita. Sementara itu di tempat lain, saat ini Devan sedang membuka kembali restorannya dibantu oleh Amanda. Sebelumnya wanita itu sudah mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi karena Devan tiba-tiba saja menginginkan Maura dan ternyata kata orang pintar yang didatangi oleh Amanda kalau Devan itu mendapatkan guna-guna.Awalnya Amanda tidak percaya. Ka
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"Devan bukannya menjawab pertanyaan Amanda, malah balik bertanya. Membuat wanita itu menautkan kedua alisnya. "Kok kamu malah nanya, sih, Mas? Harusnya menjawab semua pertanyaanku tadi," ucap Amanda, heran dengan apa yang dilakukan oleh Devan barusan. Pria itu menganggukkan kepala sembari mengelus tangan kanannya yang berada di meja. "Oke, kalau begitu duduk saja. Aku akan menjelaskan semuanya," ucap Devan, tiba-tiba membuat Amanda kembali menautkan kedua alis. Wanita itu pun tetap duduk di depan pria itu dengan rasa penasaran yang tinggi. "Kamu ingin tahu kenapa aku menolak semua makanan dan minuman yang kamu berikan?" tanya Devan, membuat Amanda menganggukkan kepala dengan mata waspada. "Karena aku tahu apa yang kamu kerjakan," cetus pria itu, membuat Amanda tadi yang terlihat penasaran, wajahnya tiba-tiba saja pucat. Menandakan kalau dirinya sudah tahu apa yang dimaksud oleh pria itu. "Kenapa kamu diam saja? Tidak mau menjelaskan atau kam
"Benarkah seperti itu? Tapi, kenapa aku meragukannya, ya? Ingat, kalau kamu itu yang mati-matian untuk mendekatiku. Bahkan menghalalkan segala cara atau jangan-jangan kamu juga punya sangkut pautnya dengan Arya? Iya, kan?!" Seketika tubuh Amanda menegang di tempat. Kalau sampai pria itu tahu apa yang sebenarnya terjadi, maka semua kesempatan untuk mendapatkan Devan akan sirna tanpa sisa. "Kenapa Mas berpikiran seperti itu?" tanya Amanda berusaha untuk tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan ketakutannya atau Devan akan mencurigai dan malah semakin menjauhinya. "Ya, karena kamu yang dipekerjakan oleh Arya. Kamu yang dikenalkan oleh Arya dan aku berpikir, semua kebangkrutanku ini juga atas campur tangan kamu, kan?!" Amanda langsung menggelengkan kepala, berusaha untuk menepis semua tuduhan itu meskipun benar. "Tidak, Mas. Kamu jangan nuduh sembarangan, dong. Aku tidak tahu menahu perihal perilaku Mas Arya sama kamu. Lagi pula aku memang murni mendapatkan pekerjaan dari dia setelah
Tak lama kemudian, taksi itu pun sampai di depan rumah Mila. Wanita itu mengernyitkan dahi karena melihat kalau gerbang rumah Mila terbuka. Artinya ada orang yang datang. Setelah membayar argo taksi, wanita itu tidak langsung masuk. Dia menebak terlebih dahulu siapa yang kira-kira masuk ke rumah ini. "Apa mungkin Mas Raka, ya? Atau memang Kak Mila yang udah pulang?" gumam wanita itu.Dia tidak bisa langsung masuk begitu saja tanpa menaruh kecurigaan. Zaman sekarang pasti banyak maling yang akan menggasak rumah kosong. Jadi, dia akan berusaha untuk tenang dulu dan mengendap-endap. Siapa tahu memang ada maling yang masuk. Lagi pula Mila tidak memberitahunya di telepon, begitu pikir sang wanita. Padahal Mila melakukan itu karena berpikir kalau adiknya tidak berguna. Untuk apa juga memberitahunya? Wanita itu tidak akan peduli lagi kepadanya.Maura mengendap-endap masuk ke pekarangan rumah Mila. Dia melihat sekitar, tidak ada mobil. Tentu saja karena mobil Mila masih di bengkel, tapi Mau
"Oke, kita lihat saja siapa yang bisa menang. Kamu pikir Bu Winda akan begitu saja menyerahkan jabatan yang penting padamu? Sementara kelakuan kamu saja seperti ini," ungkap Kiara berani mengatakan kalau Maura tidak punya kesempatan untuk menjadi lebih baik dari sekarang. Wanita itu mengeratkan kedua tangan dan berusaha untuk tenang walaupun hatinya sudah panas. Kalau ini bukan supermarket, mungkin wanita itu akan berani melakukan sesuatu yang buruk kepada Kiara. Maura tidak mau lagi menjadi wanita lemah dan menerima apa saja yang dilakukan oleh orang-orang lain kepadanya. Dia akan melawan jika itu menurutnya bisa merugikan."Baiklah, kita lihat saja. Aku juga tidak akan diam. Kalau perlu aku akan laporkan kejadian ini pada Mbak Winda. Sekarang aku permisi."Wanita itu pergi dan sama sekali tidak memberikan sopan santun yang baik. Kiara hanya terkekeh samar dan menggelengkan kepala."Anak zaman sekarang memang beda, tidak punya sopan santun. Bahkan pamitan pun dilakukan tidak benar.
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se