Lusi tersenyum miring, lalu Raka langsung menggenggam erat tangan wanita itu. Tetapi, Lusi mencoba melepaskan diri darinya.
"Lepas dulu, Mas. Aku mau mengambil Hp."
Raka kontan melepaskan genggamannya. Lusi pun dengan cepat mengambil ponsel dari saku. Setelahnya, dia menyetel rekaman.
"Untuk apa kamu menyetel rekaman, Lus?" tanya Raka, terlihat bingung.
"Oh, ini? Aku sengaja merekamnya, biar aku dan kamu sama-sama ingat, apa saja yang sudah kita sepakati bersama."
Raka masih terlihat bingung, tapi Lusi tetap melanjutkan untuk merekam pembicaraan mereka. Sekarang, situasinya membuat Lusi rugi dari segala arah. Jadi, akan dia pastikan semuanya adil.
Lusi mengajak Raka untuk duduk di ruang tengah. Ini mengantisipasi kalau Alia pulang. Jika anak mereka datang, Lusi akan secepatnya menghentikan pembicaraan itu.
"Nah, Mas. Dengarkan semua yang aku katakan, karena aku malas jika harus menjelaskannya lagi."
Raka diam saja dan Lusi pun langsung mengatakan apa saja yang menjadi syarat dari wanita itu.
'Semoga kamu tidak jantungan, ya, Mas,' batin Lusi.
"Pertama, kamu tidak boleh tinggal di rumah ini. Karena rumah ini adalah hadiah dari ayahku dan atas namaku, kamu tidak punya hak sedikit pun untuk tinggal di sini, kecuali atas izinku."
Terlihat tubuh Raka tersentak, wajahnya pun menegang. Sepertinya dia kaget dengan syarat yang diajukan Lusi. Wanita itu harap hanya tebakannya saja. Karena, Raka sudah setuju untuk menikahi Mila dan menerima izin dari Lusi.
"Loh, kok gitu sih, Lus? Katanya kamu izinkan aku menikahu Mila, tapi--"
"Tapi, bukan berarti aku mengizinkanmu tinggal di sini, Sayang."
Lusi menekan kata sayang, agar Raka tersudut dengan semua permainan wanita itu.
'Ayo, Mas. Kita lihat, sampai mana kamu mau menikahi jalang itu.' Lusi masih terus membatin.
"Aku tidak sudi harus seatap dengan bajingan sepertimu," ucap Lusi santai, tapi wajah Raka semakin menegang.
"Kamu boleh menikahi wanita sialan itu, tapi jangan harap bisa menikmati fasilitas di rumah ini. Dan, oh iya. Suruh jalangmu itu untuk pindah dari kontrakanku. Aku akan mensterilkan tempat itu dari perbuatan bejad kalian."
Raka membulatkan mata mendengar perkataan istrinya. Wajah yang semula senang kini berubah memerah. Sepertinya suaminya sedang menahan amarah.
Takut? Tentu, tapi Lusi harus berani. Raka tidak boleh meremehkannya dan dia tidak mau diinjak-injak oleh pria itu.
"Jangan bercanda, Lus! Kalau kamu mengusir Mila dari sana, dia harus tinggal di mana?"
Lusi menggedikkan bahu. "Terserah. Itu urusanmu dan wanita jalang itu. Karena, itu keputusanku. Tinggal pilih, mau menikah atau tidak?"
Raka terlihat bingung. Itu baru syarat yang pertama. Masih ada syarat-syarat lainnya yang harus Raka penuhi kalau memang mau mendapat izin menikah lagi dari Lusi.
Lusi akan buat mereka menderita. Setelah itu, barulah dia akan menceraikan Raka. Cerdas, kan?
"Jangan keterlaluan, Lus. Kamu tega mengusir Mila yang sedang hamil?" tanya Raka, wajahnya terlihat menegang.
Lusi melipat tangan di depan dada sembari tersenyum miring. "Keterlaluan kamu bilang, Mas? Seharusnya kata-kata itu untuk kamu. Apa kamu pikir, kamu tidak keterlaluan melakukan pengkhianatan dengan teman baikku, sampai hamil pula! Mikir, Mas. Pakai logika kamu!" Lusi menaikkan nada bicara dan terkesan memarahi Raka.
Tidak perlu lagi cara halus atau mengedepankan tata krama, lagi pula suaminya sudah kehilangan moral. Jadi, sebagai istri yang baik, Lusi akan memberikan pelajaran agar Raka sadar.
Raka terdiam. Raut wajahnya terlihat menahan kesal, tapi juga tak mengatakan apa-apa. Tampaknya dia tersudut.
"Sudahlah, Mas. Aku tidak mau mendebat. Pokoknya, aku mau kamu pergi dari rumah ini. Bawa si jalang itu untuk pergi juga. Terserah kalian mau tinggal di mana, terpenting tidak di tempatku," ujar Lusi santai.
Raka menatap wanita itu dengan nanar. Dia pasti tak menyangka jika Lusi bisa setega ini. Selama ini, Lusi berusaha menjadi istri yang baik untuk suaminya.
Dia selalu perawatan, melayani Raka dengan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Lusi pun menyerahkan pengurusan bisnis-bisnis miliknya untuk dikelola oleh Raka. Itu Lusi lakukan untuk mengangkat derajat suaminya yang dulu hanya karyawan biasa.
Dilimpahkan semua kasih sayang dan apa pun Lusi lakukan demi Raka. Apa saja, sampai Lusi tak pernah perhitungan pada apa pun yang Raka inginkan. Rasanya, dia sudah banyak berkorban. Tetapi, kenapa Raka malah selingkuh? Dan dengan mudahnya mengatakan kalau dirinya jenuh dengan semua yang telah Lusi korbankan untuknya. Bajingan!
"Lus, tolong pikir ulang keputusanmu. Bagaimana kalau Alia menanyakanku?" tanya Raka, sekarang suaranya melembut. Bahkan terdengar memelas pada Lusi.
Memang dasar laki-laki. Dibuat menderita baru memohon-mohon. Kemarin malah enak-enakkan menanam benih di ladang orang. Lusi merasa jijik.
"Ah, gampang itu, Mas. Aku tinggal bilang saja kalau kamu kerja ke toko cabang, dengan begitu dia tidak akan curiga. Atau, kamu ingin anakku tahu betapa bejadnya kamu?"
Raka membulatkan mata, lalu sorotnya kembali meredup. Dia pasti merasa malu jika Alia tahu seperti apa ayahnya itu. Alia sudah 11 tahun, dan Lusi pikir dia sedikit mengerti apa arti perselingkuhan.
"Pilihlah, Mas. Kamu tinggal di rumah ini, tapi dibenci anak sendiri atau angkat kaki dan cari tempat lain."
Lusi tersenyum puas melihat ekspresi kebingungan dari suaminya. Dia pasti tidak akan kuat jika tidak di rumah ini. Apa pun yang Raka inginkan, tersedia di sini, sedangkan di luar sana, Raka harus mencarinya sendiri. Lusi ingin tahu, apa Raka bisa bertahan tanpa Lusi dan kemewahan ini?
"Aku ingin tahu, Mas. Apa kamu bisa hidup tanpa fasilitas dariku?"
"A-aku ...."
"Halo, ada apa?" tanya Maura, wajahnya masih kesal. Nadanya juga ketus, membuat orang yang di seberang sana kaget sampai menjauhkan ponselnya sendiri."Mbak, kenapa sih tiba-tiba saja marah? Aku kan nelepon baik-baik," ucap orang di seberang sana yang ternyata Imel. Maura berusaha untuk menenangkan diri. Lagian salah Imel, tiba-tiba saja menelepon saat dirinya sedang bad mood. "Ya, ya. Sudah cepat katakan, apa lagi? Kalau mau minta uang tambahan, nggak ada, ya. Sesuai dengan kesepakatan kita, 50% : 50%.""Bukan masalah itu, Mbak. Aku malah mau ngasih tahu, kalau kita punya project baru dan ini akan menguntungkan kita kedua," ucap Imel dengan semangat, membuat Maura yang sebelumnya kesal langsung sembringah. Dia sampai terduduk tegak dengan wajah berseri-seri. "Project baru? Sebutkan apa itu? Memang apa yang harus aku lakukan?" tanya Maura dengan semangat pula. "Gini, Mbak. Kata Mas Raka, dia akan kasih upah pada siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang siapa David sebena
Aldo menyeringai tajam, sepertinya wanita ini masih juga belum sadar bagaimana posisinya saat ini. Tetapi tampaknya sangat menarik kalau membuat wanita ini kelabakan. "Baiklah, kalau begitu saya akan membebaskan Anda, tapi saya yakin Anda pasti tidak akan bisa memenuhi nominal yang saya inginkan," ucap Aldo membuat Mila kesal.Wanita itu menyilangkan kedua tangan di depan dada, sembari menaikkan dagu. Menandakan kalau dia tidak suka dengan perkataan pria itu. "Jangan sembarangan kamu! Sebutkan nominalnya. Butikku itu sudah terkenal di olshop manapun, jadi berapa uang yang kamu minta, pasti saya akan berikan," timpal Mila dengan percaya diri, karena dia yakin bisa menebus dirinya sendiri jika pria ini meminta uang darinya.Menurutnya tak masalah kehilangan banyak uang, yang penting keselamatan dirinya terjamin. Apalagi Mila takut kalau Raka sampai tahu bagaimana masa lalunya dengan David.Aldo mengangguk-anggukan kepala. Dia menoleh sembari tersenyum kecil."Baiklah, 10 miliar." Sek
Mila terkesiap. Dia tidak menyangka kalau pria ini bisa membaca pikirannya. Wanita hamil itu sampai meneguk saliva dengan susah payah."Anda tahu saya adalah orang yang lebih berpengalaman dalam bidang ini. Jangan pernah coba-coba untuk menipu saya. Apalagi berusaha kabur, kalau Anda tidak percaya silakan telepon Pak David dan pastikan kalau saya memang adalah bawahannya," ujar Aldo dengan percaya diri, tetapi tentu saja Mila tidak melakukan itu.Bahkan sang wanita sudah memblokir dan menghapus nama David dari ponselnya. Mereka hanya bertemu satu malam dan bisa mendapatkan uang sebanyak itu atas belas kasihan David. Bahkan David sudah berbicara kalau dia akan melupakan kejadian itu selamanya dan tidak akan pernah mengungkit-ngungkit lagi, tetapi kenapa semua tidak sesuai dengan perkataan David? Harusnya pria itu menepati janji. Sebagai seorang laki-laki yang dipegang adalah ucapannya, tetapi tidak bagi David. Ini benar-benar memuakkan untuk Mila. Baru saja dia ingin mengendalikan Ra
Melihat diamnya Maura, Winda pun tersenyum senang. Sekarang setidaknya dia sudah punya pembela. Walaupun mungkin Bu Sinta menjadi mertua yang materialistis, tetapi itu lebih baik daripada dia berjuang sendiri dan diperas oleh anak kecil seperti Maura. "Kenapa diam saja? Bingung, kan? Jadi, sekarang jangan datang lagi ke tempatku. Kamu aku pecat! Lagian, kalau kamu memang mau kerja sama orang lain, ikuti aturannya. Jangan semena-mena. Kalau kamu seperti ini, yang ada aku rugi," ujar Winda. Setelah itu sang wanita memilih untuk pergi. Dia memakai mobilnya agar segera sampai di rumah Bu Sinta. Walaupun tak jauh dari sana, tetapi yang penting dia cepat ketemu dengan mertuanya. Kalau berjalan, bisa-bisa Maura menyusul atau mungkin berbuat jahat kepadanya.Winda pergi begitu saja, mobilnya meninggalkan Maura yang berdiri dengan kebingungan.Maura yakin ada yang tidak beres di sini. Pasti Bu Sinta dan wanita itu punya sesuatu sampai mereka bisa bersekongkol. Karena terakhir yang diketahui
Selama perjalanan menuju supermarket Winda, Maura terus saja mengerutuk dalam hati. Dia sudah menyiapkan berbagai cara agar bisa memeras Winda dan juga membuat wanita itu takluk kepadanya.Uang 100 juta untuk sementara akan disimpan sampai dia bisa benar-benar mendapatkan toko Mila. Maura harus bekerja terlebih dahulu. Bila perlu menjabat dengan posisi yang bergengsi. Dia harus mengendalikan kehidupannya dengan baik bagaimanapun caranya. Sementara itu Winda sedang mondar-mandir di depan meja kebesarannya. Dia ingin menelepon Raka dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi sampai Maura mengatakan hal seperti itu. Namun, sang wanita ingat kalau pria itu sudah menyuruh untuk tidak ikut campur apa pun yang terjadi antara Mila dan Raka. Tetapi tetap saja rasa penasaran ini lebih tinggi, lalu tiba-tiba saja terlintas di benaknya. Kenapa dia tidak memanfaatkan mertuanya? Kalau Bu Sinta yang bertanya langsung pada Raka, pasti pria itu akan memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.Akhirnya
Sari dan Imel saling pandang. Dia kaget karena tiba-tiba saja dipanggil oleh Raka ke ruangan, apalagi pertanyaan yang dilontarkan oleh pria itu membuat Sari dan juga Imel tidak langsung menjawab. "Apa?" tanya Sari dan Imel bersamaan."Kalian tahu nggak, sih? Sari, kamu kan yang paling lama kerja di sini. Apa kamu tidak tahu siapa David?" tanya Raka dengan serius.Dia harus mencari informasi dari manapun itu, karena hanya keterangan dari orang-orang sekitar yang tahu tentang apa hubungan Mila dengan pria bernama David. "Maaf sebelumnya, Pak. Memang saya yang paling lama di sini, tapi saya juga tidak tahu kalau Bu Mila itu punya hubungan atau tidaknya dengan pria bernama David. Soalnya waktu saya ke sini Bu Mila sudah mendirikan butik ini dan selama itu saya belum pernah melihat Bu Mila dengan pria lain selain Bapak," ucap Sari dengan jujur, karena memang dia tidak pernah melihat Mila bertemu dengan pria lain selain Raka. Bahkan sebelum bersama Raka pun Mila tidak pernah keluar dengan