"Mas berubah pikiran, Ra."
Mengernyitkan kening saat mendengar Mas Rudy berkata penuh kesungguhan. Lelaki yang menjadi kakak sulungku itu menghembuskan napas perlahan, lantas melanjutkan ucapannya."Mas selalu ingat, kamu berpesan supaya meniru bola salju," lanjutnya dengan mengulas senyum."Berawal dari bulatan kecil, semakin lama ia akan semakin besar. Kadang di bawah, kadang di puncak. Demikian pula dengan usaha yang sedang Mas jalani."Aku terkejut mendengar ia mengulangi kalimatku beberapa waktu lalu."Waktu itu memang ingin punya kios di pasar. Tapi, setelah dipikir-pikir … dengan di rumah pun ternyata tetap laku jualan Mas. Semua berkat dukungan kamu, Dek. Terima kasih banyak, ya?"Ada perasaan lega luar biasa mendengarnya. Melihat perubahan pada kakak sulungku, yang membuat pikiranku lebih ringan. Himpitan di kepala seakan berkurang begitu saja.Mas Rudy yang dulu sangat ambisius, yang semua keinginannya harus."Kita datang saja sebentar, salaman, lalu pulang," pinta ibu. Aku baru saja pulang dari alun-alun saat ibu berkata. Boks yang awalnya berisi kunyit asam lima lusin, kuletakkan di sudut dapur. Isinya telah berganti dengan aneka cemilan sekarang."Kita sudah diundang, maka wajib datang," titah ibu lagi.Oh ibu, tak taukah anak gadismu ini belum lama patah hati, dan kini masih merasakan efeknya?"Di rumah aja, Dek, ngapain pake datang segala. Dah, sana makan lagi itu, pucet itu mukamu," timpal Mas Rudy.Aku meraba pipi, menelengkan kepala pada teko yang menampilkan wajahku, tapi dalam bentuk mengerikan. Pucatkah?Jajanan di boks telah berpindah ke meja seluruhnya. Mas Rudy menyodorkan molen mini yang segera kuterima.Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku setuju pada titah ibu. Datang ke pernikahan mantan, hal yang … sungguh tak pernah kubayangkan sebelumnya.Gedung itu telah ramai saat aku dan ibu sam
"Kapan-kapan Mas main ke sana, ya? Apa boleh?""Eh?" Aku terperanjat. Tak ada di kamusku akan menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam waktu dekat. Apalagi sampai datang ke tempat kerja. Kecuali … ."Mau nyetak stand banner."Oh, baguslah. Kukira mau ada perlu apa. Tapi, sepertinya ia menjeda kalimatnya."... Sekalian biar ketemu kamu," jawabnya seakan mengerti kebingunganku.Oh, apakah dia sedang menggombal?.Ia segera berlalu dari hadapanku. Tak berapa lama kemudian, ia menghilang di kelokan jalan. Lalu kurangkai satu-satu, hal apa yang pernah menghubungkan aku dengannya.Teman sekelas Mas Damar memang tak sampai tiga puluh, dan hampir semua saling kenal satu sama lain. Aku tak hafal nama-nama mereka, hanya beberapa yang kadang berinteraksi. Itu pun saat bersama Mas Damar. Termasuk yang beberapa saat tadi bicara denganku. Seingatku hanya pernah ngobrol beberapa kali.Tak mau berpikir terlalu j
"Mbak, teman-temanku mau ambil kursus. Aku ikut, ya?"Aku baru saja mencabut kunci motor saat Salma menyapa."Kursus apa?" tanyaku, lalu mengambil langkah panjang, ingin segera membasahi tenggorokan dengan air kendi. Salma mengekor di belakangku."Kursus menjahit, Mbak."Aku mencuci tangan, lalu duduk dan meraih kendi. Ah ... segar sekali rasa air dari kulkas alami. Salma ikut duduk di sampingku."Bagus itu. Mulai kapan?"Aku tersenyum melihat adikku yang masih berubah-ubah hendak mengambil keputusan. Setelah menolak kuliah, ia telah mengusulkan beberapa kegiatan sambil menunggu ijazahnya keluar.Pernah masuk garmen, tapi, hanya bertahan dua hari karena di sana lihat temannya dibentak-bentak. Si bungsu yang selalu diperlakukan lemah lembut oleh ibu pun merasa shock, lantas memutuskan berhenti. Setelah itu ikut kursus masak, bikin macam-macam kue, dia nggak tahan amisnya telur. Dan sekarang sudah ganti lagi. Aku
Dua Minggu kemudian … ."Kamu bener mau resign, Nad?"Mbak Ambar menyerbuku saat jam istirahat tiba. Aku mengangguk mengiyakan. Satu Minggu lagi kontrak kerjaku di sini selesai, dan aku telah memantapkan hati untuk resign. Rupanya kabar itu cepat sekali menyebar."Yah ... nggak ada yang bawa bumbu pecel lagi, dong, entar," timpal Mbak Dini.Aku tersenyum pada teman-teman di depanku, yang sudah kuanggap kakak sendiri. Mereka tak pernah bosan dengan bumbu pecel yang kubawa. Tak jarang digunakan lauk saat makan siang, atau dimakan begitu saja sebagai cemilan."Gampang kalau itu, Mbak. Kalau pingin bisa diantar ke sini sama kakakku.""Ajarin bikin aja, gimana?" tawar Mbak Dini."Alah, gayamu mau bikin, paling cuma wacana," ledek Mbak Ambar. Mbak Dini memajukan bibir, terlihat lucu olehku."Ya, siapa tau aja nanti bisa gantikan Nadira jualan di sini kalau dia udah pindah. Iya, kan?" "Jangan mau, N
Kedua mataku dipenuhi kaca-kaca bening mendengar ucapan ibu. Tak biasanya beliau berbicara sepanjang ini padaku."Terima kasih, ya, Bu, akan saya ingat nasehatmu," jawabku singkat. Ibu mengangguk."Masmu sudah di rumah,dan ibu rasa memang tak akan pergi lagi. Tak usah khawatirkan ibu dan adikmu, ya."Aku mengangguk mengiyakan."Ya, semoga saja Mas Rudy istikomah, mau mengembangkan apa yang sudah dirintis dan sekarang mulai berkembang ya, Bu."Ibu mengangguk-angguk."Siapa tau kamu ketemu jodoh yang bener nanti," tambah ibu lagi.Aamiin. Eh? Jodoh lagi yang dibahas ibu."Sebenarnya ada yang nanyakan kamu, lho, Ra.""Siapa, Bu? Menanyakan apa?" tanyaku ingin tau."Itu, Pak Hardi. Pengen ngenalin anaknya sama kamu, siapa tau cocok, mau dijadikan mantu kamu."Aku terperanjat mendengar jawaban ibu. Pak Hardi itu hanya satu di kampung ini, kepala desa. Dan anaknya, yang mana dia?"M
"Oh, maaf. Maksudku, bagaimana kalau aku pengen bumbu pecel, atau salad buah buatan kamu?"Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, lantas sejenak menelisik wajah pria muda di depanku yang nampak gugup dan sempat membuat nyaliku menciut."Tunggu sebentar, ya," jawabku, lalu beranjak ke pantry."Ini salad buah, tinggal kamu yang belum karena baru datang," ujarku dengan mengulas senyuman. Kuletakkan mangkuk plastik berisi salad buah yang kubuat pagi tadi di atas meja."Dan untuk bumbu pecel, nanti sebentar lagi diantar ke sini, sekalian nasi kotak sebagai ucapan perpisahan dariku pada semua teman di sini.""Nadira, bukan itu maksudku," sahut Fajar setelah beberapa saat terdiam di kursinya."Jadi?"Ia tak segera menjawab, justru menutup wajah dengan kedua telapak tangannya."Fajar, kamu kenapa?"Lalu suara ponsel di saku jaketnya terdengar menjerit-jerit. Ia segera menerima panggilan tersebut tanpa menin
"Anak saya nggak bisa ikut, tapi dia sudah punya pekerjaan tetap di kabupaten. Gajinya juga, lumayan lah. Jadi, Nak Nadira tak perlu kuatir soal nafkah nanti,” ujar Pak Hardi, kala itu."Saya akan senang sekali kalau Nadira jadi menantu saya, nggak usah kerja lagi juga nggak apa-apa nanti. Iya, kan, Pak?" timpal snag ibu negara.Hem, mana bisa begitu. Aku tak biasa menadahkan tangan. Selama ini bebas mau beli apa aja meski direm juga. Akan bagaimana belanja ibuku nanti kalau setelah bersuami aku tak boleh kerja?Pak Hardi mengangguk tanda setuju. "Ya, sayang sekali dia tak bisa ikut. Oh, tapi Nak Rudy ini, kan, teman sekelas Aji waktu SD dulu, ya?"Aku terperanjat, lalu menoleh pada Mas Rudy. Ia mengangguk mengiyakan. Jadi namanya Aji, seumur Mas Rudy?"Iya, Pak, Aji teman main saya dulu," jawab Mas Rudy. Aku menghela napas, membayangkan bersanding dengan pria yang tak kukenal, seumur kakakku pula. Yang mana orang
"Aku sudah terlambat dua Minggu, Mas, dan aku belum pernah sekali pun terlambat sebelumnya.""Maksudmu?"Aku menegakkan telinga, karena merasa kenal dengan dua pemilik suara itu. Menghentikan menyesap jus alpukat di hadapan, lantas menoleh demi memastikan.Astaghfirullah ... . Itu benar Mas Damar dan Lila. Aku segera memalingkan wajah. Jangan sampai mereka tau aku ada di dekat mereka saat ini."Aku hamil, Mas, kita harus segera menikah. Aku tak mau menunggu sampai perutku besar.""Kamu hamil?""Iya, aku hamil. Anak kita, Mas."Aku yakin kalau saat ini kedua mata Lila berbinar diiringi senyuman lebar.Hatiku memanas mendengar pengakuan Lila. Tanggal pernikahanku dengan Mas Damar baru saja ditentukan, tapi kenyataan ini membuatku hancur tak bersisa."Tidak mungkin! Kita hanya melakukannya satu kali, dan itu ... .""Mas Damar, jangan coba-coba berkilah! Aku melakukannya hanya denganmu, jadi anak i