Share

Bab 3. Mas Rudy

.

"Bikin malu saja kamu!"

Hardikan Mas Rudy, kakak sulungku, sungguh membuat hati teriris. Langkahku yang hendak meninggalkan ruang tamu terhenti seketika. Dia yang kuharap bisa menengahi, kini justru memperkeruh suasana hati.

Baginya, dengan menikahnya aku dengan Mas Damar, maka tanggung jawabnya sebagai Kakak sekaligus pengganti ayah akan berkurang. Setidaknya tinggal adikku saja yang ia pikirkan untuk biaya sekolah.

Ibu masih mengeratkan pelukan, lantas samar kudengar beliau terisak. Yang kulakukan hanya bisa mengelus pelan lengan beliau, berharap sedikit menyalurkan ketenangan.

"Maaf, Mas. Maaf kalau aku sudah membuat Mas, Ibu dan juga adik malu atas keputusan ini."

Aku masih berusaha mencari celah, berharap kakakku mau mengerti dan memahami keputusan yang telah bulat ini. Lagi pula, bukankah keluarga Mas Damar juga sudah menerima keputusanku, Mas Rudy pun telah mendengar pembicaraan beberapa saat tadi.

Aku tau Mas Rudy kecewa, sebab kepulangannya kali ini memang dikhususkan untuk menjadi wali di pernikahanku nanti.

Apa daya, rencana tinggal rencana. Setidaknya aku bersyukur, topeng Mas Damar telah terbuka sebelum hubungan kami diresmikan. Tapi, kenapa Mas Rudy selaku kakakku justru merasa malu karena aku membatalkan pernikahan ini?

"Sudahlah, Rudy. Biarkan Dira istirahat. Sana, Ra, masuklah. Kamu pasti capek baru pulang kerja."

Kupatuhi titah ibu, lantas pamit pada beliau. Aku segera membersihkan diri. Tak kuhiraukan lambung yang belum terisi. Aku segera beranjak ke kamar, tak sabar mau bertemu kasur dan bantal.

Salma, adikku yang baru kelas dua belas, menghadang di depan pintu.

"Mbak, tadi aku masuk kamar kamu."

"Terus?" tanyaku, lalu menerobos masuk. Dia mengikuti.

"Ya, kangen. Habis, Mbak nggak pulang-pulang."

"Pasti ada maunya, deh. Paling juga modus kamu."

Dia nyengir.

"Mbak Dira suka bener kalau ngomong. Tapi beneran, deh, kangen. Tumben pulangnya malam, Mbak?"

"Mbak sibuk, banyak kerjaan. Ada apa, sih? Mbak mau istirahat ini, sana balik ke kamar kamu."

Bukannya ke luar, dia malah mengeluarkan kardus besar di samping lemari. Sebuah boneka menyembul keluar. Hatiku mencelos lagi, teringat momen di mana benda itu diberikan padaku.

"Ini mau diapain, Mbak? Kok dipindahin ke sini semua? Banyak banget lagi."

Salma telah berjongkok, lalu memindahkan beberapa isinya ke lantai. Aku mengusap wajah, lalu telapak tanganku berhenti di mulut. Sesuatu seperti sedang bergerak naik dari kerongkongan, disertai rasa terbakar.

"Mau dibalikin, Dek. Masukin lagi, gih!" titahku, lalu kembali membekap mulut.

"Dibalikin ke mana? Bukannya ini semua punya Mbak Dira?"

"Iya, tadinya emang punya Mbak, tapi semua yang di situ itu pemberian Mas Damar."

Ia masih menimang-nimang boneka Teddy sebesar bocah lima tahun.

"Ini boleh buat aku nggak, Mbak?"

"Jangan!" sahutku cepat.

Yang benar saja, kalau boneka itu buat Salma, berarti benda itu tetap akan ada di rumah ini. Itu artinya, aku masih akan melihat benda yang akan mengingatkan pada pemberinya.

"Sayang banget mau dibalikin, mana lucu begini. Lagian, masa Mas Damar main boneka, kan nggak lucu cowok meluk boneka Teddy, warna pink lagi. Buat aku aja ya, Mbak?"

Ia masih memeluk boneka itu, lalu kedua tangannya ditangkupkan, menegaskan kalau ia sedang memohon.

"Enggak! Besok Mbak beliin yang baru kalau mau. Yang itu mau Mbak balikin semua."

Pupil mata itu membesar, lalu menghambur memelukku. Aku yang tak siap terhuyung ke belakang.

"Eh, bocah ini, main peluk segala. Ngapain?"

"Beneran dibeliin ya, Mbak?"

Ia mendongak, meminta jawaban.

"Iya. Balikin dulu itu semua yang udah dikeluarin."

"Siap, Mbak."

Aku melerai pelukan, membiarkan Salma membereskan lantai kamar. Merasa akan ada lahar yang siap menyembur, aku segera beranjak ke kamar mandi. Hanya cairan kuning yang keluar, meninggalkan rasa pahit di pangkal lidah.

"Dira, kamu kenapa?" tanya ibu penuh kecemasan. Beliau sudah berada di depan pintu kamar mandi. Entah kapan beliau menyusul ke sini.

"Nggak apa-apa, Bu, cuma mual aja tadi," jawabku, lalu beranjak ke dapur.

"Mual?" kejar ibu. Aku mengangguk, lantas mencari rimpang jahe yang bergabung dengan kunyit dan bumbu dapur yang lain.

"Kamu nggak hamil kayak si Lila, kan, Ra?"

Suara Mas Rudy membuatku terjingkat. Jahe yang telah kutemukan meluncur dari genggaman.

"Astaghfirullah!" seru ibu sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Mas!" Aku mendelik tak suka. Masih tak habis pikir, kenapa kakakku bisa meluncurkan pertanyaan itu.

"Ya, mana tau aja. Secara mereka udah lama, tiga tahun pacaran. Si Lila yang baru berapa bulan aja dibikin kenyang, tuh, sama si Damar."

Astaghfirullah … astaghfirullah … .

"Kirain yang bisa julid cuma perempuan, nggak taunya cowok juga bisa," ujarku, kembali meraih jahe, lalu menyalakan kompor, memasak air. Kuambil pisau untuk membakar jahe beberapa saat, sampai aromanya memenuhi udara di dapur.

"Ngomong apa tadi?"

"Mas Rudy julid!"

Kumatikan kompor, lantas mencuci jahe.

"Sudah-sudah … . Kalian ini, bikin ibu tambah pusing aja."

"Mas itu, Bu."

Kugeprek jahe dengan kekuatan penuh.

"Awas aja kalau sampai kamu kayak si Lila!" ancam Mas Rudy.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status