Share

Bab 4. Kutil

"Awas aja kalau sampai kamu kayak si Lila!" ancam Mas Rudy.

Mendengar nama itu disebut lagi, kembali hati merasa nyeri. Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, lalu menatap wajah lelaki satu-satunya di rumah ini. Lelaki yang semestinya menggantikan peran ayah, tapi, kenyataannya … .

"Pada ngapain, sih, ribut amat?"

Terdengar suara Salma, membuatku mengalihkan pandang dari kakak sulungku.

"Bocil, ngapain ikut ke sini?"

"Ih, Mas Rudy. Aku udah kelas dua belas, bentar lagi lulus, masa masih dipanggil bocil?" protesnya, dengan wajah merengut. Meski demikian, ia tetap saja mendekat, lalu menggamit lengan sang kakak.

"Biarin. Buat Mas, kamu tetep si bontot yang gemesin."

Mas Rudy mengacak rambut Salma, membuat Salma menepis tangannya. Bibirku tersenyum tipis melihat adegan itu. Mas Rudy selalu bisa akrab dengan adikku, sementara denganku … .

"Belajar yang bener, biar jadi orang," Mas Rudy kembali berujar, lalu mencubit ujung hidung Salma. Sementara Salma hanya meringis manja.

Mereka bisa dekat layaknya saudara yang sebenarnya. Saat Mas Rudy baru pulang pun, ia meminta ditemani tidur. Meski akhirnya ditinggal saat sudah benar-benar nyenyak.

Aku memaklumi sikap manjanya pada Mas Rudy, mungkin ia rindu dengan sosok ayah yang telah berpulang saat umurnya belum genap lima tahun. Sayangnya, Mas Rudy harus meninggalkan rumah demi mencari nafkah, menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga.

Mereka berdua masih bercanda dengan akrabnya, sesekali ibu menimpali. Sejurus kemudian, Mas Rudy beranjak memangkas jarak. Kini ia berdiri di sampingku yang menuang air ke dalam gelas. Kuhirup dalam-dalam aroma jahe yang menguar.

"Buatkan Mas juga, ya, Ra?" pintanya, membuatku sedikit terjingkat.

"Eh? Buatkan apa?" tanyaku bingung.

Ia hampir tak pernah meminta sesuatu padaku, seringnya melibatkan ibu. Pun jika ingin membeli sesuatu, ia lebih memilih memanggil ibu.

"Wedang jahe. Kamu lagi buat itu, kan?" jawab dan tanyanya, sambil menaikkan alis.

Hem, tadi aja nuduh yang enggak-enggak, sekarang minta dibuatkan juga. Tanpa menjawab, aku menyerahkan wedang yang sedianya akan kuminum demi meredakan mual. Biarlah nanti aku buat lagi.

"Ini, buat Mas."

Mas Rudy menerima, lantas meletakkannya di atas meja. Aku hendak berbalik, tapi, tangan besarnya menahan lenganku.

"Kenapa lagi?" tanyaku, dengan wajah masih menahan kesal.

Tanpa diduga, Mas Rudy meraih bahuku. Aku menjauhkan badan, sebab merasa risih. Jarangnya interaksi dengannya yang lebih sering di luar pulau, membuat jarak membentang, meski tak terlihat. Kami berdua lebih seperti orang asing. Bicara pun hanya sekedarnya.

"Maafkan Mas, Ra … ."

Hem, tumben minta maaf segala. Kenapa lagi Kakakku ini. Tangannya masih berada di pundakku.

"Maaf untuk apa?" tanyaku akhirnya.

"Mas cuma khawatir kamu kenapa-kenapa," jawabnya lirih.

Aku hampir tak percaya mendengarnya. Kakakku yang beberapa saat tadi julid, sekarang mengatakan kalau ia khawatir padaku? Apa aku tak salah dengar?

Tak dipungkiri kalau ada rasa hangat yang menjalar mendengar ucapannya.

"Aku nggak apa-apa, kok, Mas. Ini cuma telat makan tadi, udah biasa," jawabku, berusaha bersikap normal.

Baru kusadari kalau pandanganku terhalang embun. Saat jam makan siang tadi pun, aku tak berselera sama sekali, hanya pesan minuman hangat. Akibatnya seperti sekarang, mungkin asam lambungku naik.

"Gara-gara mikirin Damar, sampai nggak makan, kamu?" sahutnya, masih tak beranjak.

"Bod*h kalau kamu sampai nyiksa badan cuma mikirin dia, Ra. Rugi. Makan dulu, sana!" lanjutnya lagi.

"Iya-iya."

"Sabar, ya. Jodoh nggak ketuker, kok."

Lho, belum selesai dia?

Tatapan kami beradu, kulihat ia tersenyum. Ada kaca-kaca bening di pupil hitam itu.

.

Keesokan harinya, aku terbangun saat jarum jam menunjuk angka empat. Sayup-sayup lantunan ayat suci Al-Quran menyusup ke telinga. Kubuka mata yang terasa berat. Tak lama kemudian, terdengar adzan Subuh berkumandang.

Gegas aku beranjak ke kamar mandi, lantas membersihkan diri. Hawa sejuk dan sensasi segar setelah terguyur air, membuat suasana hati ikut membaik.

Kutunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Dilanjutkan membaca kitab suci sembari menunggu pagi. Berlama-lama di atas sajadah seperti ini, membuat hati tentram dan damai.

Jam enam pagi, aku telah siap dengan pakaian kerja. Kardus besar berisi benda pemberian sang mantan, kubawa serta. Tak mau menunda lagi, inginku hari ini memulai hari dengan lembar baru, dengan hati yang lebih tenang dan lapang.

"Sini, Mas bantu," tawar Mas Rudy.

Tanpa menunggu persetujuanku, kardus itu telah berpindah tangan. Meski sempat berdebat kecil semalam, sampai diminta buat melenyapkan saja, Mas Rudy akhirnya menyerah juga. Lalu menyanggupi mengantar pagi ini.

Tanganku baru akan memutar handle pintu depan, saat terdengar suara salam dari seseorang. Siapa yang bertamu sepagi ini?

Gegas kubuka pintu, ingin melihat siapa tamuku. Kedua mataku membeliak, saat melihat wajah Lila yang menyajikan senyum manisnya. Senyum yang sama, seperti saat pertama kali aku melihatnya datang ke rumah ini, lalu tinggal beberapa lama. Sampai akhirnya bertemu Mas Damar dan saling berkenalan.

"Terima kasih, ya. Akhirnya kamu mau melepaskan juga Mas Damar buat aku," ujarnya, sebelum aku menyapa.

"Kamu tau, akhirnya kami akan menjadi pasangan resmi, tak perlu kucing-kucingan lagi dari kamu." Ia mengibaskan rambut panjangnya yang digerai.

"Oh iya, selamat, Mbak Lila," jawabku singkat. "Apa masih ada lagi?"

"Ya, tentu saja. Jadi begini, karena kamu sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengan calon suamiku, aku hendak meminta seserahan yang pernah ia berikan saat lamaran dulu."

"Heh, kutil!"

Tanpa kuduga, Mas Rudy menerobos ke luar, hingga aku sedikit terhuyung.

"Nih, bawa! Pergi sono yang jauh. Makasih, ya. Kita jadi nggak repot nganterin."

Kardus itu telah berpindah tangan. Meski kulihat kedua mata Lila sempat membeliak lebar, tetap saja ia tersenyum lebar melihat beberapa benda yang menyembul ke luar.

"Lila!"

Kami menoleh bersamaan. Mas Damar tergesa turun dari motornya, lalu mengambil langkah panjang.

"Kamu ngapain, sih? Bikin malu, aja!" geram Mas Damar, lalu menatapku tak enak. "Maaf, ya, Ra," ujarnya kemudian.

"Ngapain minta maaf, sih, Mas. Aku ke sini cuma minta barang-barang yang pernah kamu kasih ke dia. Lagian udah disiapin kok, ini ternyata. Iya, kan, Ra?" suaranya melenggak-lenggok, membuatku merasa mual seketika.

"Kutil seneng amat dapat barang bekas!" gumam Mas Rudy. Meski pelan, tetap saja terdengar oleh semua yang ada di teras.

Aku mengulum senyum, Lila mendelik tak suka. Mas Damar melihatku dan Mas Rudy dengan sorot yang sulit diartikan.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status