Share

Bab 4. Kutil

Author: Nisa Khair
last update Last Updated: 2023-03-30 10:42:39

"Awas aja kalau sampai kamu kayak si Lila!" ancam Mas Rudy.

Mendengar nama itu disebut lagi, kembali hati merasa nyeri. Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, lalu menatap wajah lelaki satu-satunya di rumah ini. Lelaki yang semestinya menggantikan peran ayah, tapi, kenyataannya … .

"Pada ngapain, sih, ribut amat?"

Terdengar suara Salma, membuatku mengalihkan pandang dari kakak sulungku.

"Bocil, ngapain ikut ke sini?"

"Ih, Mas Rudy. Aku udah kelas dua belas, bentar lagi lulus, masa masih dipanggil bocil?" protesnya, dengan wajah merengut. Meski demikian, ia tetap saja mendekat, lalu menggamit lengan sang kakak.

"Biarin. Buat Mas, kamu tetep si bontot yang gemesin."

Mas Rudy mengacak rambut Salma, membuat Salma menepis tangannya. Bibirku tersenyum tipis melihat adegan itu. Mas Rudy selalu bisa akrab dengan adikku, sementara denganku … .

"Belajar yang bener, biar jadi orang," Mas Rudy kembali berujar, lalu mencubit ujung hidung Salma. Sementara Salma hanya meringis manja.

Mereka bisa dekat layaknya saudara yang sebenarnya. Saat Mas Rudy baru pulang pun, ia meminta ditemani tidur. Meski akhirnya ditinggal saat sudah benar-benar nyenyak.

Aku memaklumi sikap manjanya pada Mas Rudy, mungkin ia rindu dengan sosok ayah yang telah berpulang saat umurnya belum genap lima tahun. Sayangnya, Mas Rudy harus meninggalkan rumah demi mencari nafkah, menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga.

Mereka berdua masih bercanda dengan akrabnya, sesekali ibu menimpali. Sejurus kemudian, Mas Rudy beranjak memangkas jarak. Kini ia berdiri di sampingku yang menuang air ke dalam gelas. Kuhirup dalam-dalam aroma jahe yang menguar.

"Buatkan Mas juga, ya, Ra?" pintanya, membuatku sedikit terjingkat.

"Eh? Buatkan apa?" tanyaku bingung.

Ia hampir tak pernah meminta sesuatu padaku, seringnya melibatkan ibu. Pun jika ingin membeli sesuatu, ia lebih memilih memanggil ibu.

"Wedang jahe. Kamu lagi buat itu, kan?" jawab dan tanyanya, sambil menaikkan alis.

Hem, tadi aja nuduh yang enggak-enggak, sekarang minta dibuatkan juga. Tanpa menjawab, aku menyerahkan wedang yang sedianya akan kuminum demi meredakan mual. Biarlah nanti aku buat lagi.

"Ini, buat Mas."

Mas Rudy menerima, lantas meletakkannya di atas meja. Aku hendak berbalik, tapi, tangan besarnya menahan lenganku.

"Kenapa lagi?" tanyaku, dengan wajah masih menahan kesal.

Tanpa diduga, Mas Rudy meraih bahuku. Aku menjauhkan badan, sebab merasa risih. Jarangnya interaksi dengannya yang lebih sering di luar pulau, membuat jarak membentang, meski tak terlihat. Kami berdua lebih seperti orang asing. Bicara pun hanya sekedarnya.

"Maafkan Mas, Ra … ."

Hem, tumben minta maaf segala. Kenapa lagi Kakakku ini. Tangannya masih berada di pundakku.

"Maaf untuk apa?" tanyaku akhirnya.

"Mas cuma khawatir kamu kenapa-kenapa," jawabnya lirih.

Aku hampir tak percaya mendengarnya. Kakakku yang beberapa saat tadi julid, sekarang mengatakan kalau ia khawatir padaku? Apa aku tak salah dengar?

Tak dipungkiri kalau ada rasa hangat yang menjalar mendengar ucapannya.

"Aku nggak apa-apa, kok, Mas. Ini cuma telat makan tadi, udah biasa," jawabku, berusaha bersikap normal.

Baru kusadari kalau pandanganku terhalang embun. Saat jam makan siang tadi pun, aku tak berselera sama sekali, hanya pesan minuman hangat. Akibatnya seperti sekarang, mungkin asam lambungku naik.

"Gara-gara mikirin Damar, sampai nggak makan, kamu?" sahutnya, masih tak beranjak.

"Bod*h kalau kamu sampai nyiksa badan cuma mikirin dia, Ra. Rugi. Makan dulu, sana!" lanjutnya lagi.

"Iya-iya."

"Sabar, ya. Jodoh nggak ketuker, kok."

Lho, belum selesai dia?

Tatapan kami beradu, kulihat ia tersenyum. Ada kaca-kaca bening di pupil hitam itu.

.

Keesokan harinya, aku terbangun saat jarum jam menunjuk angka empat. Sayup-sayup lantunan ayat suci Al-Quran menyusup ke telinga. Kubuka mata yang terasa berat. Tak lama kemudian, terdengar adzan Subuh berkumandang.

Gegas aku beranjak ke kamar mandi, lantas membersihkan diri. Hawa sejuk dan sensasi segar setelah terguyur air, membuat suasana hati ikut membaik.

Kutunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Dilanjutkan membaca kitab suci sembari menunggu pagi. Berlama-lama di atas sajadah seperti ini, membuat hati tentram dan damai.

Jam enam pagi, aku telah siap dengan pakaian kerja. Kardus besar berisi benda pemberian sang mantan, kubawa serta. Tak mau menunda lagi, inginku hari ini memulai hari dengan lembar baru, dengan hati yang lebih tenang dan lapang.

"Sini, Mas bantu," tawar Mas Rudy.

Tanpa menunggu persetujuanku, kardus itu telah berpindah tangan. Meski sempat berdebat kecil semalam, sampai diminta buat melenyapkan saja, Mas Rudy akhirnya menyerah juga. Lalu menyanggupi mengantar pagi ini.

Tanganku baru akan memutar handle pintu depan, saat terdengar suara salam dari seseorang. Siapa yang bertamu sepagi ini?

Gegas kubuka pintu, ingin melihat siapa tamuku. Kedua mataku membeliak, saat melihat wajah Lila yang menyajikan senyum manisnya. Senyum yang sama, seperti saat pertama kali aku melihatnya datang ke rumah ini, lalu tinggal beberapa lama. Sampai akhirnya bertemu Mas Damar dan saling berkenalan.

"Terima kasih, ya. Akhirnya kamu mau melepaskan juga Mas Damar buat aku," ujarnya, sebelum aku menyapa.

"Kamu tau, akhirnya kami akan menjadi pasangan resmi, tak perlu kucing-kucingan lagi dari kamu." Ia mengibaskan rambut panjangnya yang digerai.

"Oh iya, selamat, Mbak Lila," jawabku singkat. "Apa masih ada lagi?"

"Ya, tentu saja. Jadi begini, karena kamu sudah tak ada hubungan apa-apa lagi dengan calon suamiku, aku hendak meminta seserahan yang pernah ia berikan saat lamaran dulu."

"Heh, kutil!"

Tanpa kuduga, Mas Rudy menerobos ke luar, hingga aku sedikit terhuyung.

"Nih, bawa! Pergi sono yang jauh. Makasih, ya. Kita jadi nggak repot nganterin."

Kardus itu telah berpindah tangan. Meski kulihat kedua mata Lila sempat membeliak lebar, tetap saja ia tersenyum lebar melihat beberapa benda yang menyembul ke luar.

"Lila!"

Kami menoleh bersamaan. Mas Damar tergesa turun dari motornya, lalu mengambil langkah panjang.

"Kamu ngapain, sih? Bikin malu, aja!" geram Mas Damar, lalu menatapku tak enak. "Maaf, ya, Ra," ujarnya kemudian.

"Ngapain minta maaf, sih, Mas. Aku ke sini cuma minta barang-barang yang pernah kamu kasih ke dia. Lagian udah disiapin kok, ini ternyata. Iya, kan, Ra?" suaranya melenggak-lenggok, membuatku merasa mual seketika.

"Kutil seneng amat dapat barang bekas!" gumam Mas Rudy. Meski pelan, tetap saja terdengar oleh semua yang ada di teras.

Aku mengulum senyum, Lila mendelik tak suka. Mas Damar melihatku dan Mas Rudy dengan sorot yang sulit diartikan.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending 2

    "Aduh, nyumbang kok, terus!"Zahra meletakkan tas yang tadi dibawa ke rumah tetangga yang punya hajat menikahkan anaknya. Melepaskan kerudung, menyalakan kipas angin, Zahra merebahkan badan sambil memejamkan mata."Besok masih ada Aji, khitanan dia, sama Bulek Rumi nikahkan anaknya. Beras kayaknya tinggal sedikit, ya, Mas?" tanya Zahra yang kembali membuka mata.Rudy menatap karung beras yang isinya tinggal satu takaran untuk memasak nasi. Lelaki itu menghela napas lelah. Belum satu Minggu beras seberat dua puluh lima kilo itu dibeli untuk konsumsi sendiri. Namun, banyaknya hajatan di desa tersebut, membuat stok beras yang cukup untuk satu bulan itu hanya bertahan beberapa hari.Melihat toko sembako yang dirintis sejak lima tahun yang lalu, hati lelaki itu kian nelangsa. Tidak ada perkembangan berarti pada toko tersebut. Pembeli memang ada, tapi pengeluaran tidak sebanding dengan besarnya pemasukan.Lelaki itu tidak habis mengerti, ke man

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Ending

    Lila tidak pernah menyangka bahwa keputusan orang tuanya adalah mutlak. Nama orang tua yang tercoreng akibat perbuatannya yang viral di sosial media, membuat semua fasilitas dicabut paksa.Wanita itu mulai kelimpungan sebab tak biasa hidup sederhana. Jatah uang jajan yang berkurang drastis, tak mampu menyokong gaya hidupnya. Beberapa barang mewah yang pernah didapat dari Rendi berusaha dia jual. Namun, lagi-lagi kecewa harus dirasakan. Perhiasan bertabur berlian, tas mewah, sepatu bermerk, semua adalah barang KW. Otomatis tidak bisa dijual dengan harga tinggi.Kata makian kembali terlontar berulang kali. Namun, hal itu tidak bisa mengubah apa pun. Terlebih ketika dia akhirnya menemui Rendi, lelaki itu justru mengatakan kalau Lila bisa mendapatkan semua barang branded yang dipilih dari outlet resmi sesukanya, yakni dengan menukar Sahara untuk dirawat dan dibesarkan bersama kekasihnya di luar negeri."Masa depan anak itu akan terjamin. Kamu bebas menjadi wan

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending 2

    "Mohon maaf, Mbak. Apa ada kartu yang lain? Kartu ini tidak dapat digunakan," ucap petugas kasir membuat Lila melotot."Masa nggak bisa, sih? Saldonya masih banyak, loh?" jawab Lila mulai gusar. Diberikan sebuah kartu lain, hasilnya sama saja."Atau bisa dibayar dengan uang cash saja," pinta petugas kasih dengan sopan. Meskipun demikian, perempuan muda itu merasa tak enak hati saat melihat antrian yang masih mengular."Saya nggak bawa uang cash, Mbak," jawab Lila mulai kesal. "Sebentar saya telpon dulu, ya," ijinnya yang diiyakan oleh wanita dengan name tag Almira."Biar saya yang bayar."Sebuah suara yang dirasa tak asing, membuat Lila mengurungkan niat menelpon orang tuanya. Kedua matanya melotot melihat lelaki yang tempo hari mengaku istri kekasihnya.."Gue nggak butuh dikasihani!" seru Lila dengan ketus, saat Audrey memaksa membayar dan membawa belanjaannya. "Kau akan menyusahkan kasir kalau sampai batal membeli. Dia harus bayar itu semua yang sudah discan. Iya kalau dia punya du

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Jelang Ending

    Beberapa saat sebelumnya ...."Kamu apa nggak kangen anakmu, Nang?" tanya Bu Astuti pada Rudy yang duduk di teras ditemani rokok dan segelas kopi pahit."Kangen, Bu," jawab Rudy tanpa menoleh pada sang ibu. Asap kembali ia kepulkan ke udara.Bu Astuti menatap anaknya dengan pandangan iba. Semenjak tinggal berdua dengan ibunya saja, Rudy lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Toko sembako yang baru dirintis itu, hanya dibuka saat malam, tepatnya lewat Magrib hingga kantuk datang. Tidak menentu.Seperti sekarang, Rudy istirahat dari lelahnya beraktivitas di sawah sambil menunggu pembeli. Bu Astuti ikut duduk di samping anaknya yang terlihat lelah. "Kenapa, Bu? Ibu mau ketemu cucu ibu?" tanya Rudy kemudian. Bu Astuti ingin mengangguk, tapi, kepalanya justru menggeleng. Rasa rindu itu sudah demikian besar. Pun ingin tahu bagaimana kabar sang cucu pasca cedera tulang ekor hari itu. Hanya saja, melihat Rudy yang nyaris tak pernah membahas istri dan anaknya, membuat wanita paruh bay

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 61A

    Zahra terus menyalahkan Nadira atas sakit yang diderita anaknya. Jatuh dengan posisi terduduk itu rupanya membuat cedera pada tulang ekor Rayyan. Meskipun tidak sampai patah seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, tetap saja membatasi kegiatan Rayyan, hingga bocah itu kerap rewel jika merasa bosan, sebab tidak bisa bebas beraktivitas seperti sediakala.Kedua orang tua Zahra ikut menyalahkan Nadira atas kejadian yang membuat cucunya cedera. Menurut mereka, kejadian itu tidak pernah terjadi sebelumnya, baik di rumah orang tua Rudy, maupun di rumah mereka saat Rayyan berkunjung.Sebagai cucu pertama dan kesayangan, nyaris semua perhatian tertumpah ruah pada anak itu. Nadira tidak heran sebab sudah berulang kali terjadi, jika ada sesuatu yang terjadi pada Rayyan, maka orang lain lah yang akan dikambinghitamkan, sementara Rayyan tersenyum penuh kemenangan.Tidak tahan lagi dengan makian yang didapat dari keluarga kakak iparnya, maka Nadira sepakat dengan Fajar untuk menunjukkan bukti rekama

  • Kuhibahkan Cincin dan Calon Suami pada Sepupuku   Bab 60C

    Di tempat lain ….Damar memandangi layar ponselnya dengan jengah. Rentetan pesan dan panggilan dari Lila sengaja ia abaikan. Dari sekilas pesan yang terbaca saat muncul di pop up, ia tahu kalau Lila kalang kabut sebab kepergiannya dengan Sahara. Tentu saja Damar mengerti kegelisahan wanita yang telah empat tahun terakhir membersamai hidupnya.Lila pernah bercerita, bahwa hibah harta dari Pak Wirya dan Bu Marta kemungkinan besar akan ditunda, atau justru dibatalkan, jika sampai terjadi hal buruk dalam pernikahannya. Damar tidak peduli sama sekali. Baginya, jika itu berkaitan dengan harta orang tua Lila, dia tidak mau ikut campur. Toh, selama ini dia juga terus menerus disebut tidak berguna sebagai seorang suami, meski telah berusaha maksimal untuk mengelola lahan yang menghasilkan puluhan kwintal bawang merah.Sempat terlintas keinginan untuk menggugat Lila dengan tuduhan penipuan pernikahan. Namun, dirasa hanya buang waktu dan tenaga, i

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status