Share

Bab 2. Negosiasi

"Ini apa, Dek?" tanya Mas Damar bingung.

"Tagihan cetak undangan. Itu sisanya yang belum dibayar. Mas yang lunasin, ya?"

Bukannya menjawab, Mas Damar justru melihatku dan kertas itu bergantian. Kuhitung sudah sampai dua puluh, masih nggak bicara juga.

"Mas! Mas Damar!"

Kukibaskan tangan di depan wajahnya yang tak berkedip sejak beberapa saat tadi.

"Eh iya, gimana, Ra?"

Ia mengerjapkan mata berkali-kali. Tuh, kan. Ngelamun dia. Seperti baru kembali dari petualangan di alam bawah sadar.

"Ini tadi ada perlu apa ke sini?" tanyaku tak sabar.

"Oh, itu … cuma mau mastiin, kalau kamu baik-baik aja," jawabnya, lalu mengulas senyum.

Jika dulu aku menganggap ini sebagai perhatian, kenapa sekarang aku justru merasa muak mendengarnya. Rasanya jika bisa, lebih baik tak usah bertemu lagi dengan lelaki ini, supaya tak makin tersayat hati ini.

"Mas kuatir kamu tiba-tiba pergi tadi. Dihubungi juga nggak bisa. Dan ini, undangan kita udah dicetak, kenapa kita nggak lanjutkan aja, Ra. Tinggal selangkah lagi kita, setelah sekian lama."

Suara Mas Damar telah parau, kedua matanya juga berkaca-kaca. Dadaku ikut sesak mendengarnya. Bukan waktu yang singkat memang kami menjalin hubungan, tapi dia sendiri yang mencederai hubungan ini.

Seberapa besar pun harapan untuk hidup dan menua bersama, semua telah terkikis habis sejak hari itu. Hari di mana kedua mata ini menjadi saksi atas kecurangan yang ia lakukan bersama Lila.

Lalu sekarang, ia meminta melanjutkan rencana pernikahan hanya karena undangan sudah dicetak. Yang benar saja. Mau dikemanakan Lila dan calon bayinya?

Kugelengkan kepala, tak ada lagi ruang yang tersisa untukmu wahai pengkhianat.

"Enggak, belum dicetak semua. Baru seratus, itu pun masih lembaran. Maaf, aku masih ada kerjaan, nggak bisa ngobrol lama-lama di sini."

"Tiga tahun, Ra … aku telah menunggumu selama itu. Apa tak ada pintu maaf untukku?" cicitnya lagi.

Ya, kami memang menjalin hubungan selama itu. Setengah tahun terakhir kami bertunangan, sampai kemudian tanggal pernikahan baru ditentukan seminggu yang lalu, itu pun sebab Mas Rudy mempertanyakan kembali keseriusan calon adik iparnya.

Tak dinyana, justru tiga hari berselang, aku menemukan kecurangan dari calon suamiku, hingga kuputuskan mengembalikan cincin yang tersemat di jari manisku. Cincin yang menjadi pengikat hubungan kami, sekaligus simbol keseriusannya untuk meresmikan hubungan kami.

"Apa tak bisa dipikirkan lagi keputusan kamu, Ra?" tanya Mas Damar setengah memohon.

Aku menggeleng. Apa lagi yang kuharap dari pengkhianat ini? Belum resmi jadi suami pun dia sudah bermain api.

"Udah, nggak usah drama, Mas. Ada Lila dan calon anak kalian yang lebih butuh kamu. Maaf, aku harus kembali kerja."

Aku kembali memasuki ruangan, dia mengekor di belakangku. Kutunjukkan di mana ia harus membayar.

Aku menuju Fajar yang melambaikan tangan, memintaku mendekat. Diserahkannya beberapa poster ukuran A3, serta setumpuk brosur yang telah siap diserahkan pada sang pemberi orderan.

"Udah, ya?" Fajar mengangguk mengiyakan.

"Makasih, ya. Masih ada banner, kan?"

"Yoi. Lagi otewe, Nad."

"Sip."

"Nad, itu bukannya suami kamu?" tanya Fajar dengan mengarahkan wajah pada meja kasir. Aku ikut menoleh, lalu melihat Mas Damar yang sedang menuju pintu keluar.

"Suami-suami … nikah aja belum. Ada-ada aja kamu."

Kutepuk lengannya dengan kertas-kertas yang berada di tanganku. Fajar tergelak, lantas meminta maaf. Ia lalu pamit dan kembali ke ruang cetak.

Aku kembali sibuk dengan pekerjaan dan bertemu banyak orang. Semua kegiatan di tempat kerja, membuat aku tak punya waktu untuk meratapi berakhirnya hubunganku dengan Mas Damar. Lebih baik begini, sibuk kerja dan kembali menata masa depan.

.

Sudah jam delapan malam saat aku tiba di halaman. Rupanya sedang ada tamu, terlihat dari beberapa sepeda motor yang terparkir rapi. Pintu juga terbuka lebar, tak seperti hari biasa yang sudah tertutup rapat di jam yang sama.

Salamku dijawab serentak oleh mereka yang berkumpul di ruang tamu. Aku menghela napas panjang saat melihat siapa saja yang memenuhi ruang tamu ini. Kedua orang tua Mas Damar duduk di kursi dekat pintu. Ibu dan Mas Rudy duduk di seberangnya, terpisah oleh meja. Kusalami mereka satu persatu.

"Duduk sini, Ra," titah ibu, sambil menepuk kursi di sampingnya. Aku mengangguk patuh, lantas menyerahkan bobot tubuh di sana. Kusadari badan ini gemetar sebab lambung tak terisi apa pun sejak siang.

Lalu basa-basi singkat memenuhi ruang tamu. Aku dan Mas Damar diminta menyampaikan sandungan apa yang membuat kami tak melanjutkan rencana pernikahan.

Tak kusangka sekaligus merasa lega, saat akhirnya Mas Damar menyetujui, setelah siang tadi sempat memohon agar aku berpikir ulang.

Aku harap, keputusanku ini dapat dihormati oleh kedua belah pihak, dan tak menyisakan dendam di kemudian hari. Sampai kemudian … .

Plakk!

Tangan besar sang ayah mendarat di pipi Mas Damar. Semua yang ada di ruang tamu ini terjingkat sebab terkejut.

"Sampai hati kau coreng muka orang tuamu Damar!"

Suara sang ayah menggelegar. Sang ibu mulai menangis. Mas Damar sendiri tak berkutik. Sejak tadi hanya tertunduk kepalanya.

"Tau nggak kamu kalau sudah melempar kotoran ke wajah Bapak dan ibumu ini?!" hardik sang ayah lagi.

"Ibu yang salah ... tak bisa mendidik anak. Maafkan ibu, Pak."

Ibu Mas Damar masih berusaha memegang tangan suaminya yang masih hendak melayangkan tangan ke wajah sang anak.

"Bapak, ayo pulang, jangan bikin keributan di rumah orang. Malu, Pak … ."

Kini beliau beralih melihatku.

"Nadira, Ibu minta maaf."

Aku menganggukkan kepala sambil memegang dada, menetralkan degup jantung yang berloncatan sebab mendengar teriakan.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status