Share

Bab 5. Bekas Nadira

"Apa maksudnya barang bekas?"

Lila melotot tak suka pada Mas Rudy. Yang ditatap masih tak acuh, malah menimang korek gas yang baru dikeluarkan dari saku celana.

"Bukannya ada perhiasan sepuluh gram sama uang sepuluh juta? Aku lihat, kok, waktu itu. Bener kan, Mas?"

Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga Mas Rudy yang kini menatapku dengan sorot bertanya.

Kini perhatian Lila terpusat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Mas Damar menghela napas, lantas membuang wajah.

"Mas, kok kamu diem aja, sih?" Lila bertanya tak sabar.

"Udah, kita pulang aja. Pagi-pagi sudah cari perkara kamu!" geram Mas Damar.

"Ya mana bisa pulang, belum selesai ini urusannya."

Kardus yang sejak tadi dipegang, sekarang ditumpahkan oleh Lila, hingga isinya berhamburan di teras. Dia mulai mencari apa yang beberapa saat tadi ia sebutkan.

Ia nampak frustasi saat tak menemukan apa pun di antara kain-kain, sandal, sepatu, tas, serta bermacam jenis boneka yang belakangan memang sering kudapat dari Mas Damar.

Aku prihatin menatapnya. Apa sebenarnya yang dia inginkan dari insiden ini? Kalau soal perhiasan dan uang yang tadi ia sebut, itu kan ... .

"Kok nggak ada?" tanyanya dengan menegakkan badan.

"Nadira! Mana sini, kembalikan perhiasan sama uang Mas Damar. Itu semua jadi milikku sekarang, karena aku yang akan jadi istrinya! Kamu nggak punya hak nyimpan harta dia!"

Aku memundurkan badan, sebab merasa jaraknya terlalu dekat. Kutatap lelaki yang kini pucat pasi di belakang Lila.

"Heh, kutil! Yang sopan jadi cewek!"

Mas Rudy telah merangsek maju, aku menahan dengan tangan supaya ia diam di tempat.

"Mas Damar, tolong jelaskan pada calon istrimu ini. Uang dan perhiasan siapa yang ia maksud tadi," ujarku dengan menatap lurus ke dalam manik mata yang meredup itu.

"Emang punya siapa itu, Dek?" tanya Mas Rudy tak sabar.

"Nah, Mas Damar, katakan. Kuharap kamu jujur kali ini."

Mas Damar menghela napas dengan rakus lalu memulai bicara.

"Se-sebenarnya ... itu uang sama perhiasan Nadira, yang dulu kupinjam buat biaya berobat adikku," jawabnya terbata, lalu menundukkan wajah.

"Apa?!" Lila memekik.

"Kamu pasti bohong kan, Mas? Mana mungkin Nadira punya perhiasan sebanyak itu. Kamu jangan bela dia, deh, Mas."

"Lila, dengar! Aku nggak bohong, nggak lagi bela Nadira juga. Kenyataannya itu memang punya dia. Ya ... aku yang mengusulkan supaya dijadikan tambahan seserahan saat lamaran, dan Nadira setuju."

Pegangan Lila pada lengan Mas Damar terlepas begitu saja. Manik matanya melotot tak percaya.

"Nah, dengar sendiri, kan, Mbak Lila?" tanyaku dengan menekan kata saat menyebut namanya. Kuharap ini segera selesai, dan hariku kembali normal seperti sedia kala.

"Sekarang tolong bereskan kekacauan ini. Atau kulenyapkan barang-barang … ."

"Eh, jangan!" sahutnya cepat. Ia kembali merundukkan badan, lantas mengumpulkan semua yang ia serakkan ke dalam kardus. Ia melirik tangan kanan Mas Rudy yang masih memegang korek gas.

"Ini masih bagus, sayang kalau dibakar," ujarnya saat memasukkan boneka yang terakhir. Seperti dugaanku. Ia memang menginginkan semua barang pemberian Mas Damar.

"Wah, cantik sekali tas ini. Aku boleh pinjam, nggak?" tanyanya suatu ketika.

"Kamu kan nggak suka tas gini, Ra, buat aku aja, ya. Dari Mas Damar, kan?"

Atau saat boneka Teddy itu bertengger di atas kasurku, ia begitu menginginkannya. Hanya saja, Mas Damar sudah berpesan kalau pemberiannya tak boleh berpindah tangan, hingga aku menolak memberikan.

Tenang saja, Lila, setelah ini kamu akan memiliki semuanya, tak hanya barang-barang itu, tapi sekaligus orangnya juga. Inginku berkata demikian, tapi tertahan di ujung lidah.

"Ayo, Mas, kita pulang! Kamu hutang penjelasan padaku setelah ini," ujarnya pelan dengan sedikit membesarkan pupil mata.

Kardus itu segera berpindah pada kedua tangan Mas Damar. Lila menarik paksa ujung lengan kemeja Mas Damar, lalu meninggalkan aku dan Mas Rudy tanpa berpamitan.

Aku menggelengkan kepala melihat Mas Damar yang bagai kerbau dicocok hidungnya. Tak lama kemudian, sepeda motor besar itu segera menderum, lantas bergerak menjauhi halaman rumah, menyisakan asap tipis yang perlahan mengepul di udara.

"Kok si Damar jadi kayak gitu sekarang, Ra? Nggak ada wibawanya. Untung nggak jadi dia sama kamu," gumam Mas Rudy, setelah motor yang membawa Mas Damar dan Lila menghilang di ujung jalan.

"Nggak tau lah, Mas," jawabku, mengedikkan bahu. Melihat jam di tangan sudah hampir jam tujuh, aku harus bersiap berangkat kerja kalau tak mau terjebak macet.

"Eh, soal uang sama perhiasan tadi, itu bener punya kamu?"

Pertanyaan Mas Rudy menghentikan langkahku.

"Iya, Mas, kenapa?"

"Banyak juga tabungan kamu, Ra."

Biikin curiga juga ini kalau udah ngomongin soal tabungan yang banyak.

"Enggak juga, Mas. Udah habis kok, itu."

"Heh, habis gimana?"

"Ya habis, udah kepake."

"Jangan bilang dipinjam lagi sama si Damar."

"Enggak. Udah, ah. Keburu siang ini."

Kuayunkan langkah, bersiap berangkat kerja.

"Kepake buat apa? Kan banyak, lho itu, Ra," kejar Mas Rudy. Mau tak mau aku berhenti sejenak. Kutatap wajah kakak sulungku lekat-lekat.

"Perhiasan itu dijual, buat nambahin benerin genteng, soalnya uangnya nggak cukup buat beli kayu sama bayar tukangnya. Waktu itu roboh atap rumah ini," jawabku apa adanya.

Pupil mata itu membesar, seolah tak percaya.

"Kapan, kok Mas nggak tau?"

Aku menghela napas lelah. Gimana bisa tau kamu, Mas. Dihubungi aja nggak bisa.

"Seminggu habis aku lamaran, Mas Rudy kan berangkat, tuh. Nah, nggak sampe sebulan, ada angin kenceng di sini, terus … ya gitu, deh," pungkasku, lalu mencium punggung tangan Mas Rudy.

"Udah, ah. Dira berangkat dulu, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Suara Mas Rudy memelan. Ia masih mematung saat aku menoleh dan melambaikan tangan.

Motor maticku mulai melaju membelah jalanan yang ramai. Seperti hatiku, yang kini riuh dengan banyaknya do'a dan harap.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status