"Apa maksudnya barang bekas?"
Lila melotot tak suka pada Mas Rudy. Yang ditatap masih tak acuh, malah menimang korek gas yang baru dikeluarkan dari saku celana."Bukannya ada perhiasan sepuluh gram sama uang sepuluh juta? Aku lihat, kok, waktu itu. Bener kan, Mas?"Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga Mas Rudy yang kini menatapku dengan sorot bertanya.Kini perhatian Lila terpusat pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Mas Damar menghela napas, lantas membuang wajah."Mas, kok kamu diem aja, sih?" Lila bertanya tak sabar."Udah, kita pulang aja. Pagi-pagi sudah cari perkara kamu!" geram Mas Damar."Ya mana bisa pulang, belum selesai ini urusannya."Kardus yang sejak tadi dipegang, sekarang ditumpahkan oleh Lila, hingga isinya berhamburan di teras. Dia mulai mencari apa yang beberapa saat tadi ia sebutkan.Ia nampak frustasi saat tak menemukan apa pun di antara kain-kain, sandal, sepatu, tas, serta bermacam jenis boneka yang belakangan memang sering kudapat dari Mas Damar.Aku prihatin menatapnya. Apa sebenarnya yang dia inginkan dari insiden ini? Kalau soal perhiasan dan uang yang tadi ia sebut, itu kan ... ."Kok nggak ada?" tanyanya dengan menegakkan badan."Nadira! Mana sini, kembalikan perhiasan sama uang Mas Damar. Itu semua jadi milikku sekarang, karena aku yang akan jadi istrinya! Kamu nggak punya hak nyimpan harta dia!"Aku memundurkan badan, sebab merasa jaraknya terlalu dekat. Kutatap lelaki yang kini pucat pasi di belakang Lila."Heh, kutil! Yang sopan jadi cewek!"Mas Rudy telah merangsek maju, aku menahan dengan tangan supaya ia diam di tempat."Mas Damar, tolong jelaskan pada calon istrimu ini. Uang dan perhiasan siapa yang ia maksud tadi," ujarku dengan menatap lurus ke dalam manik mata yang meredup itu."Emang punya siapa itu, Dek?" tanya Mas Rudy tak sabar."Nah, Mas Damar, katakan. Kuharap kamu jujur kali ini."Mas Damar menghela napas dengan rakus lalu memulai bicara."Se-sebenarnya ... itu uang sama perhiasan Nadira, yang dulu kupinjam buat biaya berobat adikku," jawabnya terbata, lalu menundukkan wajah."Apa?!" Lila memekik."Kamu pasti bohong kan, Mas? Mana mungkin Nadira punya perhiasan sebanyak itu. Kamu jangan bela dia, deh, Mas.""Lila, dengar! Aku nggak bohong, nggak lagi bela Nadira juga. Kenyataannya itu memang punya dia. Ya ... aku yang mengusulkan supaya dijadikan tambahan seserahan saat lamaran, dan Nadira setuju."Pegangan Lila pada lengan Mas Damar terlepas begitu saja. Manik matanya melotot tak percaya."Nah, dengar sendiri, kan, Mbak Lila?" tanyaku dengan menekan kata saat menyebut namanya. Kuharap ini segera selesai, dan hariku kembali normal seperti sedia kala."Sekarang tolong bereskan kekacauan ini. Atau kulenyapkan barang-barang … .""Eh, jangan!" sahutnya cepat. Ia kembali merundukkan badan, lantas mengumpulkan semua yang ia serakkan ke dalam kardus. Ia melirik tangan kanan Mas Rudy yang masih memegang korek gas."Ini masih bagus, sayang kalau dibakar," ujarnya saat memasukkan boneka yang terakhir. Seperti dugaanku. Ia memang menginginkan semua barang pemberian Mas Damar."Wah, cantik sekali tas ini. Aku boleh pinjam, nggak?" tanyanya suatu ketika."Kamu kan nggak suka tas gini, Ra, buat aku aja, ya. Dari Mas Damar, kan?"Atau saat boneka Teddy itu bertengger di atas kasurku, ia begitu menginginkannya. Hanya saja, Mas Damar sudah berpesan kalau pemberiannya tak boleh berpindah tangan, hingga aku menolak memberikan.Tenang saja, Lila, setelah ini kamu akan memiliki semuanya, tak hanya barang-barang itu, tapi sekaligus orangnya juga. Inginku berkata demikian, tapi tertahan di ujung lidah."Ayo, Mas, kita pulang! Kamu hutang penjelasan padaku setelah ini," ujarnya pelan dengan sedikit membesarkan pupil mata.Kardus itu segera berpindah pada kedua tangan Mas Damar. Lila menarik paksa ujung lengan kemeja Mas Damar, lalu meninggalkan aku dan Mas Rudy tanpa berpamitan.Aku menggelengkan kepala melihat Mas Damar yang bagai kerbau dicocok hidungnya. Tak lama kemudian, sepeda motor besar itu segera menderum, lantas bergerak menjauhi halaman rumah, menyisakan asap tipis yang perlahan mengepul di udara."Kok si Damar jadi kayak gitu sekarang, Ra? Nggak ada wibawanya. Untung nggak jadi dia sama kamu," gumam Mas Rudy, setelah motor yang membawa Mas Damar dan Lila menghilang di ujung jalan."Nggak tau lah, Mas," jawabku, mengedikkan bahu. Melihat jam di tangan sudah hampir jam tujuh, aku harus bersiap berangkat kerja kalau tak mau terjebak macet."Eh, soal uang sama perhiasan tadi, itu bener punya kamu?"Pertanyaan Mas Rudy menghentikan langkahku."Iya, Mas, kenapa?""Banyak juga tabungan kamu, Ra."Biikin curiga juga ini kalau udah ngomongin soal tabungan yang banyak."Enggak juga, Mas. Udah habis kok, itu.""Heh, habis gimana?""Ya habis, udah kepake.""Jangan bilang dipinjam lagi sama si Damar.""Enggak. Udah, ah. Keburu siang ini."Kuayunkan langkah, bersiap berangkat kerja."Kepake buat apa? Kan banyak, lho itu, Ra," kejar Mas Rudy. Mau tak mau aku berhenti sejenak. Kutatap wajah kakak sulungku lekat-lekat."Perhiasan itu dijual, buat nambahin benerin genteng, soalnya uangnya nggak cukup buat beli kayu sama bayar tukangnya. Waktu itu roboh atap rumah ini," jawabku apa adanya.Pupil mata itu membesar, seolah tak percaya."Kapan, kok Mas nggak tau?"Aku menghela napas lelah. Gimana bisa tau kamu, Mas. Dihubungi aja nggak bisa."Seminggu habis aku lamaran, Mas Rudy kan berangkat, tuh. Nah, nggak sampe sebulan, ada angin kenceng di sini, terus … ya gitu, deh," pungkasku, lalu mencium punggung tangan Mas Rudy."Udah, ah. Dira berangkat dulu, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Suara Mas Rudy memelan. Ia masih mematung saat aku menoleh dan melambaikan tangan.Motor maticku mulai melaju membelah jalanan yang ramai. Seperti hatiku, yang kini riuh dengan banyaknya do'a dan harap..Nadira telah menghilang di ujung jalan. Meninggalkan rasa bersalah yang besar pada lelaki yang bergelar kakak sulung ini.Aku seperti tak mengenal adikku lagi. Ia bahkan mengabaikan tatapan dari tetangga yang bermunculan dan melihat tontonan gratis beberapa saat tadi.Entah apa yang telah ia lalui selama kami terpisah jarak ribuan kilometer. Ia bahkan tak membagi luka yang tengah ia rasa.Aku menengadah, melihat langit-langit rumah. Baru tersadar kalau semua kayu dan genteng di rumah ini masih baru dan bagus. Ke mana saja aku selama ini, hingga tak tau ada hal buruk menimpa keluargaku?Kucari ibu, ingin bertanya kenapa aku tak diberitahu perihal robohnya atap rumah ini. Meski aku sempat menghilang dan baru kembali, bukankah aku anak lelaki, yang bertanggung jawab atas adik-adik dan ibuku sepeninggal ayah?Mengedarkan pandangan dan mencari ke sekeliling rumah, tapi ibu tak juga terlihat. Kemana perginya sepagi ini?Kutemukan
POV NadiraAku sedang menyeruput kopi hitam di jam istirahat, saat Mbak Ira–teman kuliah Mas Damar–datang tergopoh-gopoh menghampiri. "Nadira, kamu beneran udah putus sama Damar?"Ia bertanya tak sabar, lalu ndusel-ndusel- di kursi sempit yang sedang kududuki. Aku tersenyum melihat tingkahnya, lalu bergeser ke kursi sebelah."Iya. Kenapa, sih, Mbak?""Akhirnya … . Seneng Mbak dengernya. Lihat itu, Mas Adi, dia yang paling seneng waktu dapat kabar kamu nggak jadi sama Damar."Aku melirik pria berambut sebahu yang tengah tersenyum ke arahku. Ia sedikit menganggukkan kepala saat aku melihatnya. Mereka berdua teman seangkatan dengan Mas Damar, sedangkan Mbak Ira dulu pernah kerja di sini juga, hanya saja ia sudah pindah."Kamu kan nggak tau dia kayak gimana kalau di luar. Kita-kita, nih, yang cemas sama kamu," ujar Mbak Ira lagi.Aku tau kalau sejak awal mereka berdua kurang setuju dengan hubunganku dengan Mas Dama
Suara televisi masih terdengar ketika aku sampai di rumah. Mas Rudy masih terjaga rupanya."Baru pulang, Ra?" sapanya, yang kujawab dengan anggukan, lalu meraih punggung tangannya untuk kukecup.Ibu berada tak jauh dari ia duduk, sudah terlelap dengan posisi miring menghadap anak lelakinya. Ibu menggunakan kedua tangan sebagai bantalan. Semenjak Mas Rudy di rumah, sepertinya ibu lebih sering tertidur di sini. Nampaknya beliau tak mau jauh dari anak sulungnya. Semoga saja Mas Rudy mengerti, kalau kondisi kesehatan ibu membaik sejak ia berada di rumah.Kukecup pelan kening ibu, takut membangunkan. Kubetulkan selimutnya hingga ke leher. Salma segera menghambur ke luar kamar tak lama kemudian."Mana pesananku, Mbak?" sambutnya, lalu ikut bergabung di ruang tengah. Kuulurkan martabak bertabur keju kesukaannya. Ia menyambutnya dengan senyuman lebar, lalu mengucapkan terima kasih.Bibirku melengkungkan senyum melihat ia menikmati dengan lahap. Mas Rudy ikut mencomot sepotong. "Aku masuk du
"Nyari orang buat apa?" tanyaku bingung."Buat ngejalanin mesin.""Ngejalanin mesin?""Iya. Jadi dia jual mesin sekalian sama orangnya.""Lah, serem amat jual mesin sama orangnya," jawabku, lalu terbahak. Di seberang pun sama."Mesin apa coba? Aku kan nggak ngerti mesin. Ada-ada saja kamu, Mbak.""Ya, nanti kan diajari. Mesin printing tiga dimensi, nggak tau namanya. Kamu mau, ya? Lumayan, lho, gajinya gede."Gajinya gede.Aku mengulang dua kata itu. Menjadi anak tengah yang menggantikan posisi anak sulung, membuatku dituntut untuk berpenghasilan lebih banyak, supaya ibu dan adikku tak kekurangan."Nanti aku pikir-pikir dulu, deh, Mbak. Ini kontrak kerjaku juga belum habis. Nggak bisa keluar gitu aja," jawabku, lalu teringat betapa selama ini semua kebutuhanku tercukupi dengan bekerja di sana. Selain itu, aku merasa nyaman di tempat kerja yang sekarang, teman-teman kerja sudah seperti keluarga sendiri.
"Emang terkejar bikin sebanyak ini?""Ya terkejar, Mas. Kan hari ini masuk siang."Ia menjawab singkat, lalu memasukkan bawang putih semangkuk penuh. Masih ada gula merah dan entah apalagi di depannya yang nampaknya antri untuk dimasukkan."Ada ibu juga yang bantuin. Iya, kan, Bu?""Iya. Ibu bosen nggak ada kerjaan. Malah capek semua badan ibu. Untung adikmu pinter."Yang dipuji hanya tersenyum tipis. Aku tak menyangkal ucapan ibu. "O iya. Mas Rudy rencananya gimana nanti, udah nggak kemana-mana lagi, kan?""Eh ... ?"Aku gelagapan ditanya begini. Aku memang berniat tak pergi jauh lagi, tapi hendak mengerjakan apa, itu masih kutimbang-timbang karena tak punya ketrampilan. Satu-satunya yang ada dalam bayanganku hanya pekerjaan di sawah. Itu pun sepertinya juga musiman. Ingin berdagang lagi, tapi … ."Jadi mau usaha apa kira-kira? Biar nggak bosen di rumah. Kalau ke sawah kan juga belum bisa, soalnya mas
Badanku gemetar hebat, menyadari bahwa lelaki yang tengah tergolek di hadapan adalah Mas Damar.Darah segar membasahi sebagian kepalanya. Demikian juga dengan lengannya yang terbuka hingga ke siku.Suara-suara di sekelilingku terus berdengung-dengung, mempertanyakan siapa dia dan bagaimana kondisinya. Untuk beberapa saat lamanya aku tak melakukan apa pun. Aku shock melihat kecelakaan di depan mata.Seketika merasa kalau dunia ini begitu sempit, bahkan di saat aku bertekad untuk tak mau bertemu dengannya lagi, kini justru dipertemukan dalam kondisinya yang mengenaskan."Mas Damar!"Aku memekik setelah kesadaranku kembali. Lalu kurasakan pegangan di bahuku. Mas Rudy, ia menatapku dengan tatapan bertanya, lalu melihatku dan lelaki di depanku bergantian."Mas Rudy, panggil ambulance! Bapak berbaju putih, telepon polisi!"Mereka yang kusebut segera sibuk dengan ponselnya, sementara yang lain
Motor kuparkir dengan tergesa. Sebuah pesan dari Mbak Dini mengatakan ada hal penting, dan aku harus segera datang.Mbak Dini segera menarik tanganku ke belakang ruang cetak, di mana berbaris rapi kotak-kotak loker tempat menyimpan barang berharga. Hingga kini kami berdiri berhadapan."Nadira, kenapa jadi begini?"Mbak Dini menatapku dengan mata yang memerah. Napasnya tersengal, hingga samar terdengar hembusan angin kecil dari lubang hidungnya. Untuk beberapa saat aku tak mengerti kenapa ia seperti ini. Terus terang saja hatiku menciut melihat ekspresinya. Detak jantung juga seperti melompat-lompat. Dalam ingatanku, ia biasa bercanda dan memamerkan senyuman ramah. Terlebih lagi, ia berhubungan dengan para pelanggan sebelum akhirnya memutuskan mereka akan dilayani oleh siapa. Tentu pelayanannya menjadi salah satu kunci bagi percetakan ini. Paling tidak, itu yang terlihat selama aku bekerja di sini. Tapi, sekarang ... .Apa aku t
Tiga hari setelah kejadian itu, pagi-pagi sekali sebuah kabar mengejutkanku. Nina, adik Mas Damar yang beberapa waktu lalu jatuh terseret motor, telah berpulang setelah melewati masa kritisnya. Rasa ragu menderaku. Haruskah datang ke sana, sementara aku tak lagi memiliki ikatan dengan keluarga itu?"Jangan pernah ganggu lagi keluarga calon suamiku, kalau kau tak mau disebut pelakor!"Aku menghela napas. Ancaman Lila sore itu kembali terngiang-ngiang. Aku tak mengerti kenapa ia memperingatkan aku sedemikian rupa, sedangkan aku tak lagi memiliki minat sama sekali dengan pria itu. Namanya telah kuhempaskan jauh-jauh, meski sesekali kenangan saat bersamanya masih suka muncul tanpa permisi. Aku tak berminat memungut mantan yang telah kubuang. Lagi pula, rasa sakit yang ia tinggalkan masih tersisa.Aku menggelengkan kepala. Mungkin sebaiknya memang tak usah datang, cukup mendo'akan dari rumah. Tapi, suara Bu Siska--ibu Mas Damar--ya