"Sehebat apa kamu sekarang benari bohong sama, Ayah?" tanya Ayah lagi, aku langsung panas dingin. Apa Ayah tahu aku dari rumah Hanin? Tok! Tok! Tok! "Masuk," suruh Ayah, tampak seorang perempuan yang berpakaian tidak terlalu seksi. "Maaf Pak, tamu dari perusahaan Dimas company sudah datang, Pak," ucap perempuan itu, sedangkan aku masih harus menahan sakit bekas tamparan Ayah. "Iya, 5 menit lagi saya ke ruangan rapat," jawab Ayah. Setelah perempuan itu pergi Ayah kembali menatap tajam ke arahku. "Jangan coba-coba usik Hanin lagi, karena bagaimanapun juga warisan tidak akan Ayah kasih ke kamu, walaupun Hanin sudah mengikhlaskannya," ancam Ayah membuatku langsung kaget. Se sayang itukah Ayah pada Hanin, padahal jelas-jelas akulah anak kandungnya. "Kok gitu Yah, 'kan Arga satu-satu pewaris, Ayah," sanggahku tidak terima dengan keputusan Ayah. "Ayah tidak akan pernah ikhlas sampai kapanpun, jika uang dari warisan ini kamu gunakan untuk keperluan selingkuhanmu. Dosa besar Ayah menafka
"Em … terserah kamu aja, tapi Hana dan Dani suka ayam kecap ya," lanjutku, kulihat Dimas mengangguk. "Oke, aku pesan dulu ya," ucapnya lalu berdiri untuk memesan makanan. Mita yang melihat Dimas pergi memesan makanan langsung mencari alasan pada Mas Arga. "Sayang, aku pesan minum lagi," ucapnya tiba-tiba membuatku langsung tersenyum miring. Dasar murahan! Kulihat Mas Arga mengangguk lalu pelakor itu mulai mendekati Dimas, aku yang merasa risih terus di lihat sama Mas Arga langsung mencari akal. "Sayang, Bunda mau ke toilet bentar ya, jangan kemana-mana, bentar lagi Om Dimas datang," ucapku pada Hana dan Dani dengan niat biar mereka bisa berkomunikasi dengan Ayahnya. Saat aku masuk ke toilet, tiba-tiba ada yang menutup dan mengunci pintu toilet membuatku langsung berbalik melihatnya. Mataku langsung terbelalak melihat Mas Arga mengikutiku ke toilet wanita. "Mas, kamu ngapain ke sini? Ini toilet wanita," tanyaku hati-hati disertai rasa takut karena Mas Arga terus mendekatiku. Aku
Sebenarnya aku ingin masuk ke dalam toilet tersebut ingin memastikan Arga, tapi karena Hanin menarik tanganku mau tidak mau aku harus menurutnya. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagiku mulai dari restoran hingga sampai di rumah. Kenapa Hanin menangis? Apa Arga menuduhnya lagi? Kenapa Arga memegangi kelaminnya di toilet wanita? Apa Hanin yang melakukannya karena kesal dengan Arga? Keesokan harinya, aku sangat semangat bekerja karena akan bertemu lagi dengan Arga, aku akan membuatnya menyesal telah mencearaikan Hanin demi wanita murahan itu. Aku baru saja sampai di depan kantor Arga, belum sempat aku masuk. Samar-samar kulihat Mita sedang sendirian di parkiran seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa membuang waktu, aku langsung mengurungkan niatku masuk ke kantor, karena menurutku ini sedikit lebih menyenangkan. "Hay," sapaku dari belakangnya, detik kemudian ia langsung berbalik menghadapku lalu tiba-tiba mulutnya sedikit menganga mungkin ia tidak percaya aku menyapanya. "H
"Kamu ngapain di sini?" tanya Arga, kulihat dia berusaha sedatar mungkin agar tidak terjadi keributan. "Em … itu tadi aku kebetulan lewat, kamu sendiri ngapain?" tanyanya balik pada Arga. Pandai sekali kamu berbohong Mita! Udah kayak tukang sulap. "Aku mau bahas projec lah sama Dimas, terus kamu tadi ngapain megang perutnya juga?" tanya Arga lagi, kulirik ekspresi Mita sangat gugup, tapi ia tetap dengan senyumannya. "Eh … itu tadi ada nyamuk di bajunya makanya aku mau nepuk tadi mau bunuh nyamuknya, eh kamu keburu datang," jawab Mita, pandai sekali ia memilih alasan yang bagus di situasi mendesak. Mita langsung berdiri dari sampingku lalu menggeser kursinya ke dekat Arga, aku hanya diam tidak ingin memperkeruh suasana. Ku lihat Mita terus bergelayut manja di tangan Arga, tapi kakinya terus ia colek-colekkan ke kakiku di bawah meja. Benar-benar perempuan murahan. Selama kami membahas projec, Mita tidak henti-hentinya mengganggu kakiku hingga akhirnya tangan Aga tidak sengaja menjat
"Ya udah sekarang kita ke bagian administrasi, yuk," ajaknya, aku hanya melihat Dimas sekilas lalu mengekorinya dari belakang. "Berapa semua biaya atas nama Hana Anggraini yang berada di kamar nomor 87?" tanya Dimas pada petugas administrasi. "Sebentar ya, Pak," ucap perempuan berbaju biru dan berkerudung putih tersebut. "Sudah lunas Pak, totalnya 3 juta sudah semuanya," lanjut perempuan tersebut membuat Dimas langsung melihatku begitu juga denganku, aku langsung melihatnya sekilas lalu melihat perempuan itu lagi. "Siapa yang bayar, Mbak?" tanya Hanin membuka suara. "Disini tertulis, Arga Wijaya," jawabnya aku langsung mengangguk. "Baguslah dia udah membayarnya, toh Hana juga anaknya," lanjut Dimas lalu kami kembali ke ruangan Hana. Bagitu kami masuk, Mas Arga langsung berdiri lalu menghampiriku, kulihat Dimas meninggalkan kami lalu ia pergi ke dekat Hana. "Aku mau sholat dulu," ucap Mas Arga, aku yang sedari tadi tidak ingin melihat wajahnya hanya acuh tanpa menjawab apapun.
"Kamu nggak usah sok ngajari orang tua, bocah kemaren aja songong. Saya lebih tahu Hanin seperti apa dari pada kamu," Ibu mertua terus mencermahi Dimas, ditengah-tengah perdebatan mereka, samae aku mendengar suara yang sangat pelan dan kecil. "Bunda," lirih Hana hampir tak terdengar, aku langsung berlari mendekatinya begitu juga Ayah mertua langsung menoleh ke arah Hana. "Hana udah sadar, Nak. Bunda di sini, sayang," ucapku lembut sambil menggenggam tangannya dan mencium pipinya. Kulihat putriku sangat lemas, mungkin karena banyak keluar darah dari kepalanya. "Ada yang sakit, Nak?" tanyaku lembut di telinganya. "Kepala Kakak pusing, Bunda," adunya membuat air mataku kembali membendung. "Sabar ya sayang, nanti juga pusingnya hilang asal Kakak jangan banyak gerak dulu ya," nasehatku padanya. "Alhamdulillah, cucu Kakek udah bangun, nanti kalo Hana sembuh Kakek beliin boneka beruang yang gede ya, tapi Hana janji harus sembuh ya" ucap Ayah mertua sambil mengusap pipi Hana, kulihat Han
Malam ini rasanya sangat sulit untuk tidur, ditambah lagi Mita selalu menelponku, ku diamkan ponselku, tapi tetap saja ia menghubungiku, aku kembali berdiri hendak keluar untuk mengangkat telpon Mita. Tidak sengaja mataku melihat ke arah Hana, matanya terbuka, tapi ia tidak berani menghadap ke kanan atau ke kiri karena sakit, Hana hanya menatap langit-langit ruangan, tanpa membuang waktu aku langsung mendekatinya. "Kenapa belum tidur, Nak?" tanyaku sambil mengusap pipinya, kulihat matanya langsung melihatku. "Bunda mana, Ayah? Kakak haus," lirih Hana, mataku langsung beralih ke Hanin yang sudah tertidur. Lalu tanganku mengambil botol minum dan sedotan. "Ayah aja ya, Nak. Bunda udah tidur," jawabku lalu menyodorkan sedotan ke mulutnya, Hana langsung menyeruput minum. "Hana belum ngantuk, Nak?" tanyaku lagi karena melihat matanya masih terlihat cerah. "Belum Ayah, Kakak nggak ngatuk lagi, kepala Kakak pusing," lanjutnya lagi, tiba-tiba saja rasa kasihan ku muncul, aku tidak tega m
"Alex," ucapku kaget. Alex hanya tersenyum pada Hanin. "Boleh aku jenguk anakmu?" tanyanya membuatku langsung bingung darimana Alex tau aku punya anak dan rumah ini. "I--iya, masuk aja Hana di kamar kok, Duduk dulu," lanjutku mempersilahkannya masuk. Begitu ia masuk dan duduk di sofa, aku juga ikut duduk di seberangnya. "Em … Alex darimana kamu tahu alamatku?" tanyaku hati-hati, kulihat Alex menyergit lalu tersenyum. "Kamu 'kan nggak datang ngajar udah tiga hari, jadi aku tanya Sinta soalnya aku lihat kamu akrab banget sama Sinta," jawabnya santai membuatku langsung mangut-mangut. "Apa Sinta udah cerita semuanya?" tanyaku lagi. "Iya, dia ucah cerita semuanya, Sinta bilang kamu udah nikah dan punya dua anak, baru-baru ini kamu bari cerai katanya dan tiga hari yang lalu putrimu kecelakaan," terangnya, aku hanya mengangguk paham. "Iya benar, ya udah sebentar ya, aku jemput Hana ke kamar," lanjutku lalu berdiri, saat aku hendak berbalik. "Assalamualaikum," terdengar suara yang tida