Arga membaca undangan tersebut, ia melihat nama Dimas dan Hanin terpampang di depan. Hatinya terasa seperti di iris sekarang melihat nama Hanin dan Dimas, Arga menelan salivanya dengan susah payah lalu detik kemudian ia tersenyum."Selamat ya, insyaallah aku akan datang menghadiri undangannya," ucapnya dengan berat hati pada Hanin, sedangkan Hanin hanya mengangguk sekilas."Aku juga punya sesuatu untuk kalian, tunggu sebentar," ujar Arga lalu ia tergesa-gesa mengambil sesuatu ke kamar.Beberapa menit kemudian ia keluar dari kamar, dengan beberapa kertas di tangannya."Ini," ucap Arga sambil menyodorkan semua kertas itu pada Hanin."Apa ini?" tanya Hanin bingung."Bacalah," jawab Arga, tanpa membuang waktu Hanin langsung membaca satu persatu lembaran tersebut, matanya langsung membola."M--mas, i--ini apa? Kenapa semua warisan atas namaku dan anak-anak?" tanya Hanin bingung, Arga hanya tersenyum."Cuma kalian yang berhak mendapatkannya bahkan akupun nggak layak untuk mewarisi itu, aku
"turut mengundang teman-teman, sahabat dan keluarga menyaksikan pengesahan kisah cinta kami yang begitu indah dalam resepsi pernikahan kamu Dimas angg dengan Puspita Hanin Damayanti-" Arga menghentikan bacaannya lalu ia menatap Hanin bingung "Puspita hanin? kamu ganti nama? setau aku nama kamu Hanindira Anggraini," tanya Arga bingung, sedangkan Hanin malah terkekeh lalu menutup mulutnya dengan tangann "itu bukan Hanin aku lah, Mas," jawab hanin membuat Arga mematung mulutnya juga ikut menganga tidak percaya "ja--jadi yang nikah sama Dimas-" ucapan Arga terpotong kala hanin mengangguk "Orang lain mas yang namanya juga Hanin," lanjut Hanin, seketika air mata Arga lolos begitu saja bibirnya juga mulai melengkung "Ka--kamu nggak nikah?" tanya Arga lagi, hanin hanya menggeleng sambil tersenyum membuat Arga langsung mengusap wajahnya sambil mengucap hamdalah flashback Setelah menemani Arga ruqyah, Dimas pamit pulang, ia bukan pulang ke rumahnya melainkan ke rumah Hanin. Disisi lai
"I--ibu," ucap Hanin bingung, Ibu mendekati Hanin lalu memeluknya membuat Hanin kaget. "Maafin Ibu Nak, selama ini Ibu jahat sama kamu, selalu remehin kamu, fitnah kamu," ucap Ibu menyesali perbuatannya sedangkan Hanin yang mendengar itu langsung tersenyum. "Tidak Bu, Ibu nggak sepenuhnya salah, aku juga banyak salah sama Ibu," jawab Hanin. "Pokoknya besok kalian harus jadi pengantin lagi, Ibu nggak mau tahu gimanapun caranya Ibu akan usahain semuanya malam ini," lanjut Ibu, Hanin hanya tersenyum lalu mengangguk. Malam itu juga semua di persiapkan untuk tambahan, seperti pelaminan, baju pengantin dan yang lain-lainnya. Sedangkan Hanin masih tidak percaya apa yang terjadi malam ini, rasanya itu hal yang tidak mungkin. *** Keesokan harinya, Dimas dan Arga sudah siap, tapi Hanin dan Puspita masih di kamar. "Bunda cantik banget," puji Hana saat melihat Hanin baru saja selesai di rias. Hanin langsung menoleh lalu tersenyum kemudian ia mengangkat Hana ke pangkuannya. "Putri Bunda ini
*** Kulihat pakaian mulai menggunung, kerena takut meletus, segera kudekati tumpukan baju tersebut dan tanganku mulai mulai merogohi sakunya. Saat memeriksa semua saku pakaian memastikan tidak ada uang, flashdisk dan yang lainnya yang biasanya sering tercuci. Sekarang tanganku mulai memeriksa saku kemeja putih Mas Arga, begitu membalik baju itu, ada warna merah di tangan bajunya seprti lipstik, keningku mulai menyergit sesekali tanganku mengusap-usap warna itu. Rasa curigaku muncul, aku langsung ke meja riasku memastikan warna lipstik tersebut, namun aku sama sekali tidak punya lipstik warna merah, aku hanya punya dua lipstik warna pink dan orange. 'Lipstik siapa ini?' batinku mulai bertanya-tanya, kurogoh saku kemejanya dan kudapati tisu basah, tapi anehnya lengket ke baju membuatku jijik. "Sejak kapan Mas Arga mempunyai tisu basah dan ini apa? Kok lengket," gumamku bertanya-tanya. "Mungkin Mas Arga pilek kali," lanjutku berusaha berprasangka baik pada suamiku selama 7 tahun in
"Sekarang aku sadar Mas ternyata Ayah dan Ibu mertua telah membuat perjanjian yang bisa menyelamatku dan menjadi titik kelemahanmu," lanjutku dengan nada sinis, tapi kuyakin seribu pertimbangan pasti di otaknya sekarang, biarkan saja rambutmu makin tipis, Mas. Kulihat raut kekesalan di wajahnya, ia langsung pergi dari hadapanku dan mendekati anak-anak. Tapi, malangnya anak-anak malah lari ke belakangku dan memelukku, anakmu sendiri takut dengan sikapmu yang seperti ini, Ayah macam apa ini. Aku kembali menyunggingkan senyum sambil geleng-geleng kepala. Kupegang tangan anak-anakku karena kutahu pasti sekarang mereka takut melihat Ayah mereka yang dalam sekejap berubah menjadi monster. "Yuk, kita pergi ke tempat lain sayang, masih banyak tempat yang harus kita kunjungi," ajakku sambil riang lalu membawa kedua anak-anakku ke dalam mobil, kemudian aku masuk dan mengemudi mobil. Kulihat ekspresinya masih bingung melihatku yang mengemudi mobil. Sebelum pergi kusempatkan mengklakson mobil
*** "Kenapa bertanya padaku, Mas? Tanya sendiri 'lah sama orangnya," jawabku santai, kulihat matanya menatapku serius mungkin ia berharap aku takut, aku sama sekali tidak takut dengannya. "Kamu mempengaruhi mereka," tuduhan bodoh apalagi ini, tapi nada bicara Mas Arga sangat lembut, hantu mana yang di dalam tubuhnya sekarang. Aku langsung menurunkan tanganku dan menatap matanya serius, tapi anehnya matanya tidak mau berhadapan langsung dengan mataku, matanya merayap kemana-mana. Apa mata ini yang kamu gunakan untuk memilih pelakor yang pas untukmu? Seketika senyum mengejek terlukis di bibirku. "Sekarang aku tanya kenapa kamu nggak marah lagi seperti tadi meletup-letup di depan mukaku hingga anak-anak gemetaran melihatmu?" tanyaku tidak kalah lembut, kulihat matanya terbelalak mungkin ia tidak tahu kalo tadi kedua anakku gemetaran melihatnya. "Mereka gemetar?" bukannya menjawab ia malah balik bertanya, suami macam apa ini. Aku menggedikkan bahuku lalu menunjuk ke arah anak-anak ya
*** Cukup lama kulihat Mas Arga mengamati aku dan anak-anakku yang sedang merengek padaku, tiba-tiba kakinya melangkah melewati kami dan menuju kamar. Ku biarkan ia di kamar sendiri, biasanya selalu ku susul untuk mengambil baju gantinya. Tapi kali ini kakiku terasa berat untuk berdiri ditambah lagi Dani yang sedang tiduran di pangkuanku. Dua jam kemudian setelah Mas Arga masuk kamar ia tak kunjung keluar, apa yang dilakukannya di dalam? Sedang menelepon pelakor itu 'kah? Atau tidur? Pertanyaan-pertanyaan mencurigakan akhir-akhir ini selalu muncul di otakku. Kulihat Dani sudah tertidur di pangkuanku dan Hana juga matanya mulai kedap-kedip menahan kantuk, bibirku tersenyum dan tanganku terulur membelai rambut Hana. Mata Hana kembali cerah lalu mendongak ke atas melihatku yang sedang tersenyum manis padanya. "Kenapa, Bunda?" pertanyaan polos itu keluar dari bibir mungilnya, aku langsung menggeleng. "Tidur di kamar yuk sayang, udah jam 9 lebih, Adek juga udah tidur ini," ajakku, Ha
Kurogoh saku celanaku untuk melihat kemana dia pergi, aku memicingkan mata melihat jalan yang di tempuh Mas Arga, ku kira ia akan pergi ke rumah orang tuanya dan mengadu pada Ibunya seperti anak TK yang habis berantam. Aku tidak mempermasalahkan kemana dia malam ini karena nggak mungkin aku meninggalkan anak-anakku yang sedang tidur demi suami yang tidak tahu malu itu, sudah jelas-jelas salah masih saja keras kepala. *** Pagi hari; Aku sedang mempersiapkan Hana hendak berangkat sekolah tidak lupa denganku juga yang sudah berpakaian rapi untuk pergi melamar kerja. Sekarang kami bertiga sudah di teras, aku sedang menunggu Hana memakai sepatunya. Tiba-tiba saja mobil Mas Arga masuk ke halaman, aku yang melihat itu hanya jutek dan pura-pura tidak peduli dari mana dia semalaman. Kulihat ia turun dari mobil, kaki jenjangnya ia langkahkan mendekati kami bertiga. Entah kenapa Dani kembali memelukku saat Mas Arga sudah dekat. "Hana mau berangkat sekolah, Nak?" tanyanya lembut, Hana langsu