Lukman refleks menggenggam tangan Vira, ketika ia melihat raut wajah istrinya berubah muram.
"Mas, maaf jika Vira masih banyak kekurangannya, hingga membuat Mas ingin menikah lagi. Tapi, apakah Vira memang sudah terlambat untuk memperbaiki kekurangan itu?" tanya Vira sendu dengan mata yang berkaca-kaca.Hati Lukman langsung berdenyut nyeri ketika ia mendengar Vira malah berpikir bahwa istrinya itu memiliki kekurangan, hingga ia memutuskan ingin menikah lagi, padahal kenyataannya istrinya itu sudah sangat sempurna baginya."Dik, jangan berbicara seperti itu. Mas kan belum selesai bicara, jadi dengarkan dulu ya?" ujar Lukman panik."Bagiku kamu tidak memiliki kekurangan sedikit pun, Sayang. Allah sudah begitu baiknya padaku, karena telah mengirimkan bidadari yang sempurna sepertimu, tapi masalahnya ini bukan ada di kamu. Namun ...." Lidah Lukman terasa kaku untuk melanjutkan ucapannya."Lalu apa, Mas? Dan, siapa wanita itu?" desak Vira tidak sabar.Lukman sejenak mengatur napasnya, lalu kemudian ia menjawabnya dengan kepala menunduk. "Wanita itu adalah Ayu, sekrekarisku. Mas, merasa tidak tega ketika melihatnya berjuang sendirian mengurus anaknya yang masih bayi.""Tapi, jika kamu tidak setuju, tidak apa kok. Mas, tidak akan memaksa. Namun, tidak apa 'kan jika, Mas meringankan beban ekonominya saja, kita bantu Ayu membeli kebutuhan anaknya serta biaya sekolahnya kelak," lanjut Lukman cepat. Ia tidak ingin istrinya itu salah paham dan mengira bahwa alasan ia ingin menikahi Ayu karena menyukainya."Tunggu dulu, Mas. Jadi yang sebenarnya, Mas inginkan itu apa? Mas ingin menikahi Ayu, atau hanya membantu ekonominya saja? Tolong katakan dengan jelas," tekan Vira.Lukman tidak langsung menjawab, ia tampak bingung mengatur kata yang akan diucapkannya."Sebenarnya, Mas awalnya hanya mengatakan ingin membantu melunasi hutangnya almarhum Iwan serta kebutuhannya Winda. Namun, Ayu menolaknya karena tidak ingin merepotkan serta memiliki hutang budi dengan kita. Tapi ....""Tapi, apa Mas?""Tapi, ketika melihatnya semakin hari semakin kesusahan. Mas, akhirnya bertanya lagi kepada Ayu, bagaimana jika, Mas menikahinya? Karena hanya itu cara agar dia tidak menolak bantuanku. Namun, dia menjawab, jika kamu mau memberikan izin, maka dia mau menikah denganku," jelas Lukman pelan.Mendengar cerita suaminya, Vira tidak tahu harus mengatakan apa? Entah dia harus merasa senang atau sedih atas kejujuran dan kebaikan suaminya? Semua menjadi tampak kelabu, setelah Vira mendapatkan kenyataan ini."Dik, bagaimana menurutmu? Jika kamu tidak setuju, tidak apa-apa. Aku juga tidak akan memaksa dan menikah lagi," ujar Lukman seraya menggoyang tangan Vira yang ada di genggamannya dengan pelan. Melihat istrinya terdiam, entah mengapa dirinya merasa takut.Vira yang melihat suaminya panik, ia lantas memberikan senyuman terbaiknya, dalam raut wajahnya yang ia tunjukkan, seolah-olah semua hal yang barusan dikatakan oleh suaminya, bukanlah apa-apa."Tidak tahu, Mas. Aku belum bisa menjawabnya sekarang, tolong beri aku waktu dulu." Melihat suaminya menganggukkan kepala, Vira kemudian mengatakan, "Emm ... kalau begitu aku ke kamar mandi dulu ya, Mas. Aku mau bersuci." Pamit Vira yang langsung meninggalkan Lukman yang sedang menghela napas berat.Tidak seperti biasanya, Vira kini mandi dengan membutuhkan waktu yang lama, apalagi ini di waktu tengah malam. Vira tentu tidak hanya sekedar mandi biasa, di dalam kamar mandi ia jelas masih memikirkan semua perkataan Lukman.Tanpa sadar air matanya menetes kembali, ia bingung harus bagaimana. Akankah ia menolak keinginan suaminya untuk menikah lagi? Namun, mengingat bayi mungil yang ditemuinya beberapa bulan lalu, tentu membuat hati Vira bimbang. Apakah ia benar-benar akan tega melihat anak sekecil itu tumbuh besar tanpa seorang ayah?"Tapi, kenapa harus Mas Lukman?" gumam Vira seraya menangis tergugu. Kenapa harus suaminya yang merasa iba dan tergerak hatinya ketika melihat perjuangan Ayu yang harus menjadi sosok ibu dan ayah di waktu bersamaan.Apakah mungkin ini hanya sekedar rasa simpati saja? Tapi, mengapa harus ada ikatan pernikahan jika suaminya hanya berniat membantu saja. Siapa yang sebenarnya menginginkan pernikahan ini, suaminya kah, atau Ayu yang memang diam-diam telah mencintai suaminya.Semua pemikiran buruk dan positif bergelung menjadi satu dalam otak Vira. Karena sejatinya tidak mungkin ada asap jika tidak ada api, dan tidak mungkin ada juga penawaran pernikahan tanpa terbesit rasa menginginkan untuk memiliki.Meskipun suaminya dalam hal ini tidak memaksa, namun Vira juga tidak bisa langsung mengambil keputusan. Ia harus meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Mahakuasa.Setelah selesai bersuci, Vira memutuskan untuk salat istikharah dulu sebelum tidur, sedangkan suaminya tampak sudah terlelap di atas ranjang, sepertinya Lukman sudah terlalu lama menunggu Vira mandi, hingga ia akhirnya ketiduran.Tanpa berniat membangunkan Lukman, Vira langsung menjalankan niatnya. Setelah selesai melipat mukenanya, tidak lama kemudian sebuah pesan masuk di ponsel Vira.Vira mengerutkan dahinya ketika melihat bahwa bunda panti asuhannya yang mengirimkannya pesan."Bunda Asih, kenapa beliau mengirimkan pesan selarut ini?" gumam Vira bingung.[Vira, apa kabar? Sudah lama kamu tidak mengunjungi panti. Jika kamu ada waktu, datanglah. Bunda Merindukanmu.]Vira menarik tipis bibirnya, setelah ia membaca pesan tersebut. Lalu kemudian jarinya dengan lincah membalas kata 'baik, Bunda.' Namun, hanya centang satu, sepertinya pengasuh panti asuhan tempatnya dulu, sudah kembali tidur lagi.***Keesokan harinya, tidak ada yang berubah dari sikap dan pelayanan Vira, padahal semalam seperti ada badai yang memporak porandakan hatinya. Pagi ini Vira tetap melayani Lukman dengan baik seperti biasanya.”Mas, setelah ini aku izin pergi ke panti asuhan ya? Sekalian nanti pulangnya dari sana, aku mau jenguk Naura di pondok," ujar Vira ketika Lukman hendak pergi berangkat bekerja.Naura adalah anak mereka berdua yang sudah duduk di bangku kelas empat SD. Gadis kecil itu sudah memilih mondok ketika ia baru masuk ke kelas empat, sebab keinginannya yang ingin menjadi seorang hafiz di usia muda. Dan, sebagai orang tua, Lukman dan Vira tentu mendukung penuh keinginan putrinya tersebut."Iya, titip salam ke Bunda dan Naura ya? Dan, nanti hati-hati di jalan," sahut Lukman yang kemudian mencium kening Vira. "Kalau begitu, Mas berangkat dulu. Assalamualaikum ....""Iya, waalaikumsalam. Hati-hati, Mas ..." balas Vira seraya melambaikan tangannya seraya tersenyum manis.Setelah kepergian Lukman, Vira menghela napas panjang. Lalu kemudian ia bergegas bersiap pergi menuju panti asuhan.Bukan hanya karena sedang merindukan Bunda Asih saja ia datang ke sana. Namun, ia juga ingin meminta nasihat atas kejadian semalam, sebab Vira yakin, wanita paruh baya itu akan membantunya memilih jalan yang terbaik untuknya."Apapun keputusannya nanti, semoga aku diberi keteguhan dan kesabaran untuk menjalaninya. Begitu juga dengan putriku, semoga nantinya ini adalah pilihan yang terbaik untuk kami," gumam Vira yang berharap kebaikan di dalam hatinya.Pagi yang begitu cerah, sungguh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sudah menyakiti dua wanita cantik yang saat ini tengah duduk di gazebo taman belakang rumahnya Daffa."Vir, kamu sudah tidak merasa mulas lagi?" tanya Della yang masih khawatir, sebab beberapa hari yang lalu Vira mengeluh mulas seperti orang yang akan melahirkan.Ya, saat ini Vira tengah mengandung sembilan bulan, dan kemarin sebenarnya adalah hari perkiraan Vira melahirkan, namun ternyata malah mundur dari jadwal, dan sampai saat ini Vira belum merasakan kontraksi lagi.Vira menggelengkan kepalanya. "Enggak, justru sekarang aku tidak merasakan sakit apapun, padahal dari sebulan yang lalu pinggulku rasanya mau copot karena pegal banget."Della tertawa, "masa sih?""Yee ... dibilangin nggak percaya. Ntar deh kamu rasain sendiri kalau sudah hamil tua, dan kata orang-orang tua sih itu memang hal wajar, sebab bayi sedang mencoba mencari jalan keluarnya, balas Vira yang teringat obrolannya dengan para
Setahun kemudian...Bugh ... Bugh ... Bugh ..."Bang, ampun ... Bang! Ampun ...." Suara jeritan Lukman terdengar hingga meja penjaga, namun para penjaga itu seolah tuli dan tidak mendengar teriakan kesakitan Lukman.Mereka sengaja membiarkan Lukman dipukuli terlebih dahulu, lalu baru beberapa menit kemudian salah satu penjaga itu akan datang untuk menghentikan aksi penyiksaan tersebut."Ampun, Bang. Kumohon ampun ...." Suara Lukman semakin melemah, ia hampir mati karena lemas sebab dipukuli dengan brutal."Brengsek! Rasain kamu, siapa suruh kamu mengambil makananku!""Enggak, Bang. Enggak ... bukan aku yang mengambilnya," sahut Lukman seraya menangis. "Halah, sekali pencuri ya tetap pencuri!" teriak lelaki itu seraya memukul dan menendang Lukman kembali.Kejadian ini sudah seperti makanan sehari-hari untuk Lukman, ia selalu difitnah mengambil makanan bos penguasa bilik penjara yang ditempatinya, lalu kemudian ia akan dihajar habis-habisan, padahal makanan milik bos itu telah dicuri o
Vira terus berlari tanpa mempedulikan tatapan para karyawan yang menatap heran, sebab Daffa mengejarnya dan terus memanggilnya."Vira, ... tunggu!" teriak Daffa terakhir kalinya sebelum Vira menutup pintu mobil."Kita jalan, Pak," ujar Vira seraya menghapus air mata yang menetes di pipinya."Tapi, Nya, Tuan Daffa terus memanggil, Nyonya.""Biarkan saja, atau Bapak ingin saya pulang sendiri?"Sang sopir yang takut jika dianggap mengabaikan Daffa, namun ia lebih takut jika Vira semakin marah hingga menyebabkan suatu kesalahan yang lebih fatal lagi."Baiklah, Nya." Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan Daffa yang masih terus berteriak memanggil nama Vira.Sesampainya di rumah, Vira langsung pergi ke kamarnya, dan tak lupa ia juga mengunci pintu kamarnya. Vira terus menangis untuk menumpahkan semua rasa yang telah menghimpit dadanya.Di saat sedang menangis, Vira tiba-tiba saja ingat dengan perkataan Asih waktu itu, lalu apakah sekarang Vira boleh mulai merasa menyesal, karena tidak men
Keesokan harinya, Daffa merasa aneh dengan sikap Vira yang tiba-tiba saja berubah padanya. Ia hendak menyalahkan ibunya atas perubahan sikap istrinya. Namun sayangnya, ibunya tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat kembali ke Singapura."Tck, ini pasti gara-gara sikap Ibu yang terlalu acuh, jadi Vira hari ini seperti menghindariku," gumam Daffa seraya mengguyur badannya dengan air.Saat ini Daffa sedang mandi, dan rencananya hari ini ia akan berangkat ke kantor.Vira yang tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam, membuat Daffa bahkan tidak berani meminta jatah hariannya pada Vira, dan sontak saja hal itu membuat Daffa kesal."Huh! Padahal Vira sebentar lagi kedatangan tamu bulanannya, seharusnya kan beberapa waktu ini aku bekerja lebih keras lagi untuk membuatkan adik untuk Naura." Daffa tidak berhenti menggerutu, dan ia harus melampiaskan rasa kesalnya ini ke asistennya nanti.Setelah selesai mandi, Daffa langsung berganti pakaian yang sudah disiapkan Vira. Daffa tersenyum ketika melihat
Sejak perjalanan dari Bali ke Jakarta, Vira sudah gugup, apalagi sekarang mereka sudah sampai tepat di depan rumahnya Daffa.Dan, pemandangan tidak mengenakkan terjadi ...."Kak Daffa ...." Seorang gadis cantik bertubuh semampai terlihat berlari menghampiri Daffa, bahkan ia juga hampir memeluknya, jika saja Daffa tidak menghentikannya."Stop! Ketahuilah batasan, kalau kamu bukan anak kecil lagi!" "Kak Daffa, kenapa masih sedingin ini sih ...." ujar gadis tersebut dengan manja. "Oh, ini pasti Kakak Ipar. Hai, Kak. Salam kenal, aku Lisa, adiknya Kak Daffa."Vira tersenyum canggung, dalam benak ia jelas kebingungan, sebab Daffa tidak pernah cerita kalau dia memiliki seorang adik."Bukan! Dia bukan adikku, dia hanyalah seorang pengganggu dari kecil," sahut Daffa serius, namun itu dianggap candaan oleh Lisa."Aaah, Kakak ini bisa aja. Kalau begitu ayo, kita masuk. Tante sudah menunggu kalian." Seolah tidak mendengar perkataan Daffa, Lisa tetap berjalan di depan dengan penuh percaya diri.
Matahari semakin terik, namun Vira dan Della tampak tidak terganggu dengan cuaca panas saat ini."Del, aku rasa Ervan itu menyukaimu deh," ujar Vira yang mulai bisa melihat bahwa Ervan diam-diam sering mencuri pandang ke arah Della.Della mendesah, ia juga mengetahui kenyataan ini. Lebih tepatnya Della juga sudah mengetahui hal ini sejak lama."Kamu masih ingat nggak, dulu aku pernah cerita tentang cinta pertamaku," ujar Della dengan mata yang menerawang kenangan masa lalunya.Vira mengangguk. "Iya, cowok itu terlalu pendiam kan. Dan, meki dia terlihat menyukaimu, tapi dia tidak pernah menyatakan cinta padamu.""Iya, hingga akhirnya aku bertemu dengan Nicole. Dan bodohnya dia, dia baru menyatakan cinta setelah aku bersama Nicole."Vira tertawa, namun kemudian ia ingat sesuatu. "Eits, jangan bilang kalau itu Ervan ya? Astaghfirullah, kenapa aku juga baru ingat, cowok yang waktu itu kamu ceritakan, namanya juga Ervan bukan?"Vira sontak menepuk keningnya sendiri, bisa-bisanya ia lupa de