Sesuai dengan rencana awalnya, kini Vira melajukan motornya pergi ke pondok pesantren Al-Hikmah, yaitu tempat Naura menimba ilmu.
Namun sebelum ke sana, Vira terlebih dahulu mampir ke salah satu warung makan untuk mengisi perutnya.Sebenarnya Vira sudah ditawari makan siang oleh Asih, namun Vira menolaknya karena alasan ingin segera bertemu dengan Naura. Padahal lebih tepatnya ia tidak enak jika harus bertemu dengan Yusuf lagi, dan entah mengapa ia menjadi secanggung ini dengan laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya itu.Sedangkan di rumahnya Asih. Yusuf yang baru saja masuk ke ruang makan, ia segera menanyakan keberadaan Vira kepada ibunya tersebut."Vira ke mana, Bun? Kenapa tidak ikut makan siang juga?"Asih tersenyum mendengar pertanyaan Yusuf. Lalu kemudian ia menjawab, "Dia sudah pergi, katanya mau mampir ke pondoknya Naura juga.""Oh ...." sahut Yusuf datar."Emm, Yusuf. Tadi Vira cerita ke Bunda, katanya semalam suaminya meminta izin untuk menikah lagi, Bunda jadi kasihan mendengarnya," ujar Asih yang masih merasa sedih. Ia tidak menyangka bahwa Vira juga akan mengalami pengalaman pahit ini.Sejenak Yusuf tidak memberi tanggapan apa-apa, sebab ia terlalu terkejut mendengar berita ini, bahkan tanpa sadar, Yusuf mencengkeram sendok dalam genggamannya dengan erat."Lalu?" tanya Yusuf yang berusaha menjaga intonasi suaranya agar tetap normal."Iya, Bunda menceritakan sedikit masa lalu Bunda, siapa tahu bisa menjadi pelajaran untuk Vira, dan akhirnya ia bisa memilih keputusan yang terbaik untuknya dan keluarganya."Yusuf hanya mengangguk, lalu kemudian mereka berdua melanjutkan makan siang mereka dengan tenang. Tanpa Asih sadari, sekarang banyak pikiran tentang Vira yang bercokol di dalam kepala Yusuf.Sedangkan di sisi lain, Vira sudah sampai ke tempat tujuannya, kini ia sudah duduk dan menunggu Naura di dalam ruangan khusus untuk pertemuan wali santri. Vira juga tidak lupa untuk membeli sate ayam kesukaan putrinya, dan juga jajanan ringan yang nantinya bisa dibagikan dengan teman sekamar Naura.Tidak lama kemudian, terdengar suara ceria seorang gadis kecil yang mengucapkan salam."Assalamualaikum ... Bunda, Naura kangen ...." ujar Naura seraya berlari lalu memeluk Vira erat."Bunda juga kangen dengan Naura," balas Vira seraya mencium kening anaknya tersebut."Bagaimana kabar Naura? Apakah akhir-akhir ini menyenangkan?" tanya Vira. Lalu kemudian dengan penuh semangat Naura menceritakan semua kegiatannya.Naura juga menceritakan, bahwa ia diminta Neng Alia, teman sekelasnya yang juga termasuk putri Pak Kyai untuk pindah ke 'ndalem'. Namun, tentu saja harus menunggu persetujuan dari wali santri terlebih dahulu. Sebab di pondok pesantren ini ada aturan, jika santri yang sudah ikut 'ndalem', mereka tidak bisa 'boyong' atau pulang kecuali jika mereka menikah.Yang berarti, entah betah atau tidak, sudah khatam menghafalkan Al-Qur'an atau belum, dan juga lulus atau belum sekolahnya, mereka harus tetap tinggal di 'ndalem', sampai akhirnya sang santri tersebut memilih untuk menikah.Sedangkan Vira tentu setuju saja, sebab tidak mudah bagi para santri untuk bisa ngabdi dengan Pak Kyai dan keluarganya, bisa dibilang ini adalah cita-cita kebanyakan para santri, jadi ketika mendapatkan tawaran ini, sungguh sayang jika menolaknya.Begitu pula dengan Naura, ia tidak ingin menyia-nyiakannya, Naura juga merasa bersyukur karena bisa berteman akrab dengan putri Kyainya tersebut. Hingga ia tidak perlu menjalankan seleksi untuk ngabdi di ndalem.Di tengah-tengah obrolan mereka, Naura sepintas melihat teman sekamarnya lewat, lalu kemudian ia memanggilnya."Della," panggil Naura hingga membuat temannya itu menoleh. Lalu kemudian Della masuk ke dalam ruangan itu dan menyapa Vira."Della, apakah kamu akan pergi ke kamar?" tanya Naura dengan senyuman manisnya.Della mengangguk. "Iya, ada apa?""Boleh nitip ini nggak? Kamu bisa memakannya dengan teman-teman yang lainnya juga," pinta Naura."Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Mari Tante, assalamualaikum," pamit Della yang kemudian berlalu meninggalkan ibu dan anak tersebut."Waalaikumsalam," sahut Vira dan Naura kompak."Bun, Della itu anaknya pendiam. Kadang kalau tidak diajak bicara duluan, dia hanya diam saja. Dia mulai berubah seperti ini semenjak dia memiliki dua Umi, karena Abinya Della menikah lagi," tutur Naura.Deg...Seperti ada yang meremas jantung Vira, entah mengapa ia merasakan sesaknya perasaan Della, dan sebentar lagi putrinya mungkin juga akan mengalami hal yang sama. Vira jadi tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Naura?"Lalu, bagaimana dengan Della? Apakah dia sedih dengan kenyataan ini?" tanya Vira penasaran. Sebenarnya tanpa Vira menanyakannya ia sudah bisa menebak bagaimana perasaan Della, karena jika Della baik-baik saja, pasti kepribadian Della juga tidak mungkin berubah."Kata Della dia senang-senang saja, sebab Uminya yang baru juga menyayanginya, bahkan Della juga mendapatkan uang saku lebih, sebab Uminya yang baru tidak pelit padanya," papar Naura polos. Anak kecil memang akan senang mendapatkan uang saku lebih. Namun, siapa yang bahagia melihat ayahnya menikah lagi dengan wanita lain?Sejenak Vira berdehem, lalu kemudian dengan pelan Vira bertanya, "Naura, misalkan Naura yang berada di posisi Della, bagaimana dengan perasaan Naura?"Bocah itu sejenak melirik ke atas, seraya mengetukkan jari telunjuknya ke dagunya, ia tampak sedang berpikir dan membayangkannya."Tidak masalah jika memang istri barunya Ayah sama baiknya dengan Uminya Della, sebab dia juga akan menyayangi Naura." Lagi-lagi Naura berpikir dengan polosnya. Membuat Vira menghela napas panjang."Kenyataannya mungkin tidak sesederhana itu, Sayang. Tapi, sepertinya kamu juga tidak keberatan jika Ayahmu menikah lagi. Dan, sekarang haruskah aku bisa mengizinkan Mas Lukman menikah lagi?" batin Vira.Naura memang gadis kecil yang polos, namun ia peka dengan pertanyaan bundanya."Bunda, andaikan suatu saat nanti Ayah ingin menikah lagi, Naura mungkin tidak akan keberatan. Namun, bagaimana dengan Bunda? Karena kata Della, dia sering melihat Uminya nangis dengan sembunyi-sembunyi, itu berarti Uminya Della sebenarnya tidak bahagia ya? Jadi semua keputusan tetap ada di tangan Bunda, Naura hanya bisa mendukungnya saja," ujar Naura yang kemudian langsung memeluk ibunya.Tanpa diketahui Vira, Naura menitikkan air matanya di dalam pelukan Vira. "Della, apakah nasib kita akan sama?" batin Naura. Ia merasa sedih, namun jika ini demi kebaikan keluarganya, Naura akan berusaha menerima semuanya dengan ikhlas.Tapi, lagi-lagi Naura memikirkan perasaan ibunya. Akankah bundanya itu akan bahagia jika Ayahnya menikah lagi?Begitu juga dengan Vira, ia masih memikirkan bagaimana Naura ke depannya, akankah Naura juga bisa berubah seperti Della? Atau putrinya itu akan tetap ceria seperti sekarang?Vira memang perlu memikirkan hal ini secara matang-matang. Ia tidak bisa mengambil keputusan yang membuat anaknya ikut tertekan.Namun, ketika mengingat perkataan Asih, bahwa tidak menutup kemungkinan jika Lukman malah akan berselingkuh karena ia menolak permintaan suaminya untuk menikah lagi, jadi Vira harus memikirkan semua itu, karena tanpa sadar ia akan membiarkan suaminya jatuh ke dalam kubangan dosa.Sebab, jika laki-laki sudah mempunyai keinginan untuk menikah lagi, tentu paling tidak sudah ada rasa di antara mereka, dan iblis sudah tentu akan ikut andil untuk menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan zina. Untuk itu Vira tidak bisa mengabaikannya. Namun, bagaimana dengan hatinya, apakah dia sanggup dimadu?Pagi yang begitu cerah, sungguh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang sudah menyakiti dua wanita cantik yang saat ini tengah duduk di gazebo taman belakang rumahnya Daffa."Vir, kamu sudah tidak merasa mulas lagi?" tanya Della yang masih khawatir, sebab beberapa hari yang lalu Vira mengeluh mulas seperti orang yang akan melahirkan.Ya, saat ini Vira tengah mengandung sembilan bulan, dan kemarin sebenarnya adalah hari perkiraan Vira melahirkan, namun ternyata malah mundur dari jadwal, dan sampai saat ini Vira belum merasakan kontraksi lagi.Vira menggelengkan kepalanya. "Enggak, justru sekarang aku tidak merasakan sakit apapun, padahal dari sebulan yang lalu pinggulku rasanya mau copot karena pegal banget."Della tertawa, "masa sih?""Yee ... dibilangin nggak percaya. Ntar deh kamu rasain sendiri kalau sudah hamil tua, dan kata orang-orang tua sih itu memang hal wajar, sebab bayi sedang mencoba mencari jalan keluarnya, balas Vira yang teringat obrolannya dengan para
Setahun kemudian...Bugh ... Bugh ... Bugh ..."Bang, ampun ... Bang! Ampun ...." Suara jeritan Lukman terdengar hingga meja penjaga, namun para penjaga itu seolah tuli dan tidak mendengar teriakan kesakitan Lukman.Mereka sengaja membiarkan Lukman dipukuli terlebih dahulu, lalu baru beberapa menit kemudian salah satu penjaga itu akan datang untuk menghentikan aksi penyiksaan tersebut."Ampun, Bang. Kumohon ampun ...." Suara Lukman semakin melemah, ia hampir mati karena lemas sebab dipukuli dengan brutal."Brengsek! Rasain kamu, siapa suruh kamu mengambil makananku!""Enggak, Bang. Enggak ... bukan aku yang mengambilnya," sahut Lukman seraya menangis. "Halah, sekali pencuri ya tetap pencuri!" teriak lelaki itu seraya memukul dan menendang Lukman kembali.Kejadian ini sudah seperti makanan sehari-hari untuk Lukman, ia selalu difitnah mengambil makanan bos penguasa bilik penjara yang ditempatinya, lalu kemudian ia akan dihajar habis-habisan, padahal makanan milik bos itu telah dicuri o
Vira terus berlari tanpa mempedulikan tatapan para karyawan yang menatap heran, sebab Daffa mengejarnya dan terus memanggilnya."Vira, ... tunggu!" teriak Daffa terakhir kalinya sebelum Vira menutup pintu mobil."Kita jalan, Pak," ujar Vira seraya menghapus air mata yang menetes di pipinya."Tapi, Nya, Tuan Daffa terus memanggil, Nyonya.""Biarkan saja, atau Bapak ingin saya pulang sendiri?"Sang sopir yang takut jika dianggap mengabaikan Daffa, namun ia lebih takut jika Vira semakin marah hingga menyebabkan suatu kesalahan yang lebih fatal lagi."Baiklah, Nya." Mobil melaju dengan cepat, meninggalkan Daffa yang masih terus berteriak memanggil nama Vira.Sesampainya di rumah, Vira langsung pergi ke kamarnya, dan tak lupa ia juga mengunci pintu kamarnya. Vira terus menangis untuk menumpahkan semua rasa yang telah menghimpit dadanya.Di saat sedang menangis, Vira tiba-tiba saja ingat dengan perkataan Asih waktu itu, lalu apakah sekarang Vira boleh mulai merasa menyesal, karena tidak men
Keesokan harinya, Daffa merasa aneh dengan sikap Vira yang tiba-tiba saja berubah padanya. Ia hendak menyalahkan ibunya atas perubahan sikap istrinya. Namun sayangnya, ibunya tadi pagi-pagi sekali sudah berangkat kembali ke Singapura."Tck, ini pasti gara-gara sikap Ibu yang terlalu acuh, jadi Vira hari ini seperti menghindariku," gumam Daffa seraya mengguyur badannya dengan air.Saat ini Daffa sedang mandi, dan rencananya hari ini ia akan berangkat ke kantor.Vira yang tiba-tiba saja berubah menjadi pendiam, membuat Daffa bahkan tidak berani meminta jatah hariannya pada Vira, dan sontak saja hal itu membuat Daffa kesal."Huh! Padahal Vira sebentar lagi kedatangan tamu bulanannya, seharusnya kan beberapa waktu ini aku bekerja lebih keras lagi untuk membuatkan adik untuk Naura." Daffa tidak berhenti menggerutu, dan ia harus melampiaskan rasa kesalnya ini ke asistennya nanti.Setelah selesai mandi, Daffa langsung berganti pakaian yang sudah disiapkan Vira. Daffa tersenyum ketika melihat
Sejak perjalanan dari Bali ke Jakarta, Vira sudah gugup, apalagi sekarang mereka sudah sampai tepat di depan rumahnya Daffa.Dan, pemandangan tidak mengenakkan terjadi ...."Kak Daffa ...." Seorang gadis cantik bertubuh semampai terlihat berlari menghampiri Daffa, bahkan ia juga hampir memeluknya, jika saja Daffa tidak menghentikannya."Stop! Ketahuilah batasan, kalau kamu bukan anak kecil lagi!" "Kak Daffa, kenapa masih sedingin ini sih ...." ujar gadis tersebut dengan manja. "Oh, ini pasti Kakak Ipar. Hai, Kak. Salam kenal, aku Lisa, adiknya Kak Daffa."Vira tersenyum canggung, dalam benak ia jelas kebingungan, sebab Daffa tidak pernah cerita kalau dia memiliki seorang adik."Bukan! Dia bukan adikku, dia hanyalah seorang pengganggu dari kecil," sahut Daffa serius, namun itu dianggap candaan oleh Lisa."Aaah, Kakak ini bisa aja. Kalau begitu ayo, kita masuk. Tante sudah menunggu kalian." Seolah tidak mendengar perkataan Daffa, Lisa tetap berjalan di depan dengan penuh percaya diri.
Matahari semakin terik, namun Vira dan Della tampak tidak terganggu dengan cuaca panas saat ini."Del, aku rasa Ervan itu menyukaimu deh," ujar Vira yang mulai bisa melihat bahwa Ervan diam-diam sering mencuri pandang ke arah Della.Della mendesah, ia juga mengetahui kenyataan ini. Lebih tepatnya Della juga sudah mengetahui hal ini sejak lama."Kamu masih ingat nggak, dulu aku pernah cerita tentang cinta pertamaku," ujar Della dengan mata yang menerawang kenangan masa lalunya.Vira mengangguk. "Iya, cowok itu terlalu pendiam kan. Dan, meki dia terlihat menyukaimu, tapi dia tidak pernah menyatakan cinta padamu.""Iya, hingga akhirnya aku bertemu dengan Nicole. Dan bodohnya dia, dia baru menyatakan cinta setelah aku bersama Nicole."Vira tertawa, namun kemudian ia ingat sesuatu. "Eits, jangan bilang kalau itu Ervan ya? Astaghfirullah, kenapa aku juga baru ingat, cowok yang waktu itu kamu ceritakan, namanya juga Ervan bukan?"Vira sontak menepuk keningnya sendiri, bisa-bisanya ia lupa de