WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
BAB 1"Jadi kamu menginginkan suamiku menikahimu secara resmi begitu?" tanyaku pada gundik suamiku yang saat ini tengah duduk sembari membusungkan dada di hadapanku. Sementara itu, aku duduk santai di atas sofa yang sebenarnya sudah layak untuk dilembiru ini alias lempar beli yang baru. Dapat kulihat juga wajah Kinanti seolah-olah enggan dan jijik untuk duduk di atas sofa usang milikku ini. Ah, lebih tepatnya sofa lungsuran dari ibu mertuaku. "Iya, dan aku harap Mbak jangan pernah menghalangi niat kami menikah. Sebaiknya Mbak segera menandatangani surat persetujuan untuk Mas Aldo menikah lagi." "Sungguh baru kali ini aku bertemu dengan seorang pelakor alias perebut suami orang yang tidak punya malu sepertimu." "Tutup mulutmu, Mbak! Aku bukan pelakor! Aku dan Mas Aldo saling mencintai! Aku adalah jodoh tertunda dari Mas Aldo!" Aku menyunggingkan senyum mendengar ucapan konyol dari Kinanti. "Sangat disayangkan, wanita berpendidikan sepertimu mau menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Jadi sebelumnya aku mau bertanya padamu. Apa yang kamu lihat dari suamiku? Tampan? Kurasa banyak yang jauh lebih tampan dari suamiku. Secara kamu cantik, orang tuamu juga berduit. Pastilah banyak pria yang menyukaimu. Kalau soal kaya? Kurasa bukan ya, kamu jauh lebih kaya daripada suamiku. Lalu, apa yang kamu cari dari Mas Aldo?" "Aku mencintainya, Mbak, bukankah syarat cinta tidak melihat semua itu?" Aku menatap mata Kinan yang bulat seperti boneka. Aku tersenyum kecut mendengar jawaban klasik dari gadis di depanku ini, sungguh patut kuapresiasi keberanian gadis yang kutaksir baru berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. "Cinta? Sesederhana itu? Oh ayolah Kinanti, cinta itu tak selamanya indah. Apa kau tidak takut jika menikah dengan Mas Aldo maka dia akan mengajakmu hidup sengsara? Lihatlah aku, aku dulu juga sama sepertimu bermodalkan cinta. Dulu aku cantik, dulu aku muda dan dulu aku berprestasi. Tapi apa? Lihat sekarang bagaimana penampilanku dan bagaimana keadaan rumah kami.Bahkan, di usia pernikahan kami yang sudah menginjak tiga tahun kami belum juga memiliki apa pun. Jangan nanti kamu menyesal atas apa yang sudah kamu putuskan. Masa depanmu masih panjang." Aku Mengatakan hal itu dengan sesantai-santainya meskipun ingin rasanya aku menjambak gadis di depanku ini. Siapa, sih, istri yang bisa terima saat ada seorang perempuan meminta izin untuk menikah dengan suaminya? Kurasa tidak ada. Jikalau ada pun pasti hanya wanita tertentu yang berhati baja. Akan tetapi, itu bukanlah aku. Aku bisa sesantai ini karena sebenarnya rasa cinta untuk mas Aldo telah mati. Rasa itu menguap bersama munculnya rasa benci untuk pria bergelar suamiku yang sungguh zalim itu. "Tidak, Mbak, aku tetap mencintai Mas Aldo apa pun yang terjadi. Kalau soal keuangan Mbak Citra tidak usah khawatir. Aku anak tunggal. Ayahku pemilik perusahaan Mas Aldo bekerja. Aku bisa pastikan kalau hidup kamu tidak akan kekurangan," ucap Kinanti dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Well, well, well, okelah kalau begitu. Sepertinya memang susah menasehati orang yang sedang buta karena cinta. Ibarat kotoran pun akan dirasa coklat saat cinta itu tengah bersemi di dalam hatinya. "Jadi?" tanyaku sembari menatap Kinanti dengan serius. Aku mendekatkan wajahku ke arah Kinanti agar dapat dengan jelas mendengar apa jawaban Kinanti selanjutnya. "Jadi aku harap Mbak jangan menghalangi cinta antara aku dan Mas Aldo. Aku akan melakukan apa pun untuk bisa menikah resmi dengan Mas Aldo." "Kenapa kalian enggak nikah siri saja? 'Kan nggak perlu persetujuan dariku?" "Masalahnya Ayahku enggak mau, Mbak, begitu juga dengan Ibu." "Apa orang tuamu tahu tentang status suamiku? Oh maksudnya calon suamimu juga." "Eng, anu, Mbak, ten-tentu saja mereka tahu. Iya mereka tahu, kok," ucap Kinan terbata. Ada hal yang aneh yang dapat kutangkap dari reaksi wajahnya. Fix orang tua kinan tidak tahu perihal status mas Aldo. Oke, ini akan menjadi senjataku untuk membalas mereka. Tentunya dengan senjata yang lebih mematikan lainnya. Tidak ada kata ampun bagi seorang pelakor dalam kamusku. Sekali pun itu adalah seorang gadis belia."Oke, kalau begitu. Kamu mau melakukan apa pun demi bisa menikah dengan Mas Aldo 'kan?" Kinanti mengangguk dengan cepat. "Baiklah, aku ada syarat dan kurasa kamu tidak akan keberatan karena syaratnya mudah saja. Kalau kamu setuju aku sendiri yang akan menikahkan kalian berdua." "Benarkah? Apa Mbak? Cepat katakan, eh tapi soal menikahkan kami kayaknya gak perlu, Mbak, soalnya takut nanti akan ada omongan gak enak dari orang tentang kita," jawab Kinan. Namun, aku yakin dia hanya beralasan saja karena aku sangat yakin kalau orang tuanya tidak tahu menahu perihal status suamiku. "Lho, kenapa? Kan malah bagus kalau aku datang untuk menikahkan kalian? Justru orang-orang akan menyanjungmu dong secara kamu itu diterima dengan baik oleh istri sah nya. Tapi kalau memang menurutmu tidak ya gak masalah juga sih. Tapi yakin kamu akan mengabulkan apa yang aku minta?""Sangat yakin, cepat Mbak katakan apa yang Mbak mau?""Berikan aku uang satu milyar maka akan aku bubuhkan tanda tangan di atas materai bahkan aku sendiri yang akan mencarikan penghulu untuk kalian menikah. Bagaimana? setuju?" "Apa? Kau gila, Mbak! Itu bukan nominal yang sedikit!""Iya aku tahu, ya terserah kamu, sih, mau apa nggak, kalau mau ya satu milyar.""Mana mungkin aku ada uang segitu, Mbak!" protes Kinanti"Kalau kamu nggak mau, sih, nggak apa-apa.""Aku pikir-pikir dulu lah, Mbak! Kalau gitu aku pulang dulu." ketus Kinanti"Ya, silakan."Kinanti pun meninggalkan ruang tamu rumahku dengan luas 3x3 meter ini dengan wajah penuh kekesalan. Ia menuju mobil yang diparkirkan di halaman rumahku yang juga tidak terlalu besar yang hanya dominan ditumbuhi bunga sepatu sebagai pagar alami. Deru mesin mobilnya terdengar jelas di telingaku. Ketika mobilnya menghilang dari pandangan, kututup kembali pintu utama yang tadi sempat terbuka. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang entah bagaimana lagi aku mendeskripsikannya. Bagaimana tidak? Gundik suamiku itu dengan tiba-tiba datang dan meminta izin untuk menikahi suamiku. Berani sekali bukan? Huh, dia pikir segampang itu aku melepaskan Mas Aldo? Kambing yang hewan saja laku kalau dijual masa manusia seperti Mas Aldo aku berikan begitu saja? Setidaknya aku harus mendapatkan keuntungan dari hubungan mereka. Dari pada aku pusing memikirkannya lebih baik mandi dulu sambil menunggu mas Aldo pulang.WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBAB 2Disangka Istri gila—-----------Aku seorang ibu rumah tangga sejati dengan usia 24 tahun sedangkan mas Aldo seorang karyawan kontrak di sebuah perusahaan yang tidaklah terlalu besar di kota ini. Gaji mas Aldo sebulan hanya berkisar antara tiga sampai tiga setengah juta saja setiap bulannya. Cukup memang kalau hanya untuk biaya makan kami berdua. Akan tetapi, selama aku menikah dengan mas Aldo, ibu mertua dan ipar selalu menjadi biang rusuh di dalam rumah tanggaku dan mas Aldo. Pekerjaanku hanyalah menghalu yang dibayar. Yups, tepat sekali, aku adalah seorang penulis novel di aplikasi berbayar. Sudah satu tahun aku bergelut di dunia literasi. Memang masih sebentar tapi, selama satu tahun itu alhamdulillah cuanku mengalir deras. Setiap bulannya aku bisa mengantongi uang seminim-minimnya sekitar sepuluh sampai lima belas juta.Apakah mas Aldo tahu? Ya tentu saja tidak, yang ia tahu aku hanyalah seorang istri yang setiap harinya menggunakan daster yang
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 3 Ancaman Mertua "Dasar istri tidak perhatian. Aldo tidur di rumah Ibu dari semalam." "Oh, pantes gak kedengaran suara pintu kamar dibuka. Pasti dia kunci pintu depan dari luar. Dasar suami gak ada akhlak. Pulang ke rumah orang tua gak bilang-bilang," cerocosku dengan santai. Muka ibu mertua sudah memerah bagai tomat karena tingkahku. "Kamu udah gila, Citra?" "Gila kenapa, Bu? liat aja, aku masih waras. Meskipun punya suami agak gak waras," kekehku dengan senyum sinis. Raut Ibu mertua semakin merah padam. Emosinya bagaikan bom yang siap meledak. Dia pasti tidak terima anaknya aku jelek-jelekan. Ibu dan anak memang memiliki karakter yang sama. Sama-sama tidak tahu diri. Merasa paling benar. Tidak mau introspeksi. Seharusnya, sejak dulu aku mau melawan. Agar tidak semakin besar kepala suami dan mertuaku. "Cepat mandi. Ibu mau bicara penting sama kamu." "Bicara apa, Bu? tumben." "Cepat mandi dulu. Jangan banyak tanya." "Iya, Bu. Kalau bisa bel
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBAB 4Negosiasi sengit "Mau kalian apa?" tanyaku berusaha tenang. Menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. "Tanda tangan ini sekarang juga." Aku bagaikan tersangka yang diinterogasi sengit oleh mereka. Pintar sekali mereka memanfaatkan keadaan. Mereka tahu aku sudah tertidur beberapa jam. Sengaja segera membangunkanku. Agar aku yang sedang setengah sadar segera menandatangani dokumen itu. Maaf, aku tidak bodoh. Efek bangun tidur hanya berjalan beberapa menit. Sesudahnya aku akan sadar sepenuhnya dan siap melawan para manusia tidak ada otak seperti mereka. "Bayar dulu satu milyar. Baru aku tanda tangan. Ditambah uang 500 juta buat ngurus perceraian." "Gak usah banyak ngatur. Jadi istri itu harus nurut. Cepat tanda tangan," desak ibu. "Gak!" sentakku. "Citra, kamu semakin berani saja, yah. Cepat tanda tangan. Atau aku paksa kamu!""Hahaha, mau maksa gimana, Mas? paksa ajah kalau bisa." "Cepat tanda tangan!" bentak ibu. Me
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 5 Uang Untuk Bebas "Kenapa bisa ada polisi?" "...." "Tenanglah, Dek. Mas akan segera menghubungi Ibu di kantor polisi. Kamu tunggu saja di rumah. Semua akan baik-baik saja." Mas Aldo menutup sambungan telepon kemudian memandangku sengit. Aku malah tersenyum penuh kemenangan. Sayangnya, tak bisa mendengar suara adik iparku yang sombong. Pasti seru sekali mendengar kepanikannya. Mereka merasa paling hebat, akhirnya kalah juga. Itulah pentingnya jangan meremehkan orang lain. Aku tak mau jadi orang jahat, tapi harus tega menghadapi manusia jahat. Semoga saja, hati mereka tertampar. Sehingga, bisa menyadari kesalahan. Meskipun demikian, hal tersebut sulit terjadi. Manusia yang sudah dikuasai nafsu, akan sulit berkaca diri. Merasa paling benar. Selalu mendengar bisikan dalam dirinya. Menghalalkan segala cara supaya mendapatkan segalanya. Padahal, apa yang mereka inginkan secara mati-matian, belum tentu kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Apa yang kam
Brak! Citra menancapkan pisau daging yang dia ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah Aldo seketika pucat melihat gerakan Citra kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Cit, kamu jangan main-main ya. Itu pisau lho." Tampak sekali Aldo sangat ketakutan tapi ia berusaha membuat wajahnya terlihat biasa saja. "Yang bilang itu kuaci siapa? Pisau itu sangat tajam lho, Mas. Daging merah yang disiset lalu dipanggang dan dicelupkan bersama saus sambal itu nikmat lho, Mas. Apakah kamu mau mencobanya? Ah, gak perlu sampai nyawamu melayang. Cukup aku minta sedikit daging di tanganku yang suka menyakitiku itu saja aku sudah bahagia. Gimana? Boleh kan? Kesinikan tanganmu, Mas." Lagi-lagi Aldo menelan salivanya. Ia berjalan mundur menjauhi Citra yang juga berjalan maju mendekati dirinya. Semakin lama tubuh Aldo semakin menjauh dari Citra karena ia menghentikan langkahnya dan memandang Aldo tajam dengan senyuman yang menyeringai. "Dasar istri gila! Awas kamu Citra! Aku masih
"Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Iyakah? Yaudah deh kamu mau pesan apa""Samakan saja dengan pesananmu. Mas makan gak pernah memilih kok." Setelah Kinanti memanggil pelayan dan kembali pesan menu yang sama seperti dirinya pesan tadi. Ia kembali mengobrol dengan Aldo. "Parah sekali istrimu itu, Mas. Tapi kenapa gak kamu ceraikan saja sih dia, Mas? Kamu menikah sama aku kan enak hanya aku satu-satunya di hidupmu.""Masalahnya aku kasihan sama dia, Sayang. Orang tuanya miskin. Kalau aku menceraikannya mau tinggal di mana dia. Lagian kalau dia tetap menjadi istriku setelah kita menikah lagi kan kamu bisa menyuruh-nyuruhnya yah anggap saja pembantu gratisan. Ya kan?""Hemm kamu benar juga, Mas. Tapi masalahnya dia kekeh minta uang satu milyar itu gimana dong, Mas?""Itu juga yang aku pusingkan. Meskipun orang tuamu kaya dan gak ada artinya kalau harus mengeluarkan uang segitu banyak tapi
"Kamu memang yang terbaik buatku, Sayang."***Keesokan harinya, Kinanti menepati janjinya untuk membebaskan Ibu Miranti. Kinanti pun membawa serta pengacara keluarganya untuk ikut membereskan semua permasalahan Bu Miranti. Kinanti dan juga Aldo telah membuat janji untuk bertemu di kantor polisi saja agar tidak memakan waktu. Aldo yang terlebih dahulu sampai di kantor polisi pun menunggu Kinanti yang masih dalam perjalanan menuju kantor polisi. Tidak berlama-lama Aldo menunggu, Kinanti pun sampai di kantor polisi di mana Bu Miranti, ibunya Aldo ditahan. "Hai, Mas. Sudah lama menunggu?"Kinanti berjalan menghampiri Aldo yang terlihat duduk di ruang tunggu. Ia menyapa Aldo yang terlihat celingukan mencari seseorang. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang. Nggak kok, aku juga baru saja sampai." Aldo tersenyum saat melihat kedatangan Kinanti. "Kenalkan, Mas, ini Om Agus pengacara yang akan membantu Ibu keluar dari sini." Kinanti memperkenalkan Pak Agus kepada Aldo. Aldo mengulurkan ta
"Om, Kinanti mohon Om jangan cerita sama Papa ya. Ini biar jadi masalahnya Kinan saja. Jadi Papa nggak perlu tau," ucap Kinan memelas pada pengacara keluarga nya itu yang bernama Pak Agus. "Sebenarnya itu memang hak klien, Om memang tidak perlu untuk mengatakan hal apa pun kepada orang lain termasuk Papa kamu." Kinanti dapat bernapas lega karena ia sebenarnya juga takut kalau sang papa akan mengetahui semuanya. "Tapi Om sebagai pengacara Pak Anggoro cuma bisa mengingatkan saja. Lebih baik Kamu batalkan niat kamu untuk menikah dengan pria itu. Karena Om melihat lelaki itu cuma mau harta saja. Dia itu tidak bukan pria baik-baik. Apalagi Ibunya. Mereka itu matre. Dia tidak tulus mencintai kamu Kinanti," imbuh Pak Agus menasehati Kinanti panjang lebar agar Kinanti paham dengan apa yang diucapkan Pak Agus. Kinanti yang mendengar ucapan Pak Agus pun menepis semua omongan yang diucapkan Pak Agus barusan. "Itu cuma perasaan Om Agus saja. Mas Aldo nggak seperti itu kok, Om. Mas Aldo dan