"Kerbau saja kalau dijual bisa menghasilkan uang banyak, tentunya suami pengkhianat pun harus bisa menghasilkan uang yang lebih banyak lagi." Itulah yang ada dalam pikiran Citra saat selingkuhan suaminya mendatangi dirinya dan meminta izin untuk menikah secara resmi dengan Aldo, sang suami. Citra yang cerdas memanfaatkan itu dengan meminta uang sejumlah satu milyar kepada Kinanti. perkelahian dan perdebatan terus saja terjadi lantaran baik itu Kinanti atau Aldo menolak syarat yang Citra berikan hingga sampai pada saat akhirnya Kinanti tidak punya pilihan lain dan dengan terpaksa memberikan apa yang Citra mau karena takut dengan ancaman dari Citra.
View MoreWANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
BAB 1"Jadi kamu menginginkan suamiku menikahimu secara resmi begitu?" tanyaku pada gundik suamiku yang saat ini tengah duduk sembari membusungkan dada di hadapanku. Sementara itu, aku duduk santai di atas sofa yang sebenarnya sudah layak untuk dilembiru ini alias lempar beli yang baru. Dapat kulihat juga wajah Kinanti seolah-olah enggan dan jijik untuk duduk di atas sofa usang milikku ini. Ah, lebih tepatnya sofa lungsuran dari ibu mertuaku. "Iya, dan aku harap Mbak jangan pernah menghalangi niat kami menikah. Sebaiknya Mbak segera menandatangani surat persetujuan untuk Mas Aldo menikah lagi." "Sungguh baru kali ini aku bertemu dengan seorang pelakor alias perebut suami orang yang tidak punya malu sepertimu." "Tutup mulutmu, Mbak! Aku bukan pelakor! Aku dan Mas Aldo saling mencintai! Aku adalah jodoh tertunda dari Mas Aldo!" Aku menyunggingkan senyum mendengar ucapan konyol dari Kinanti. "Sangat disayangkan, wanita berpendidikan sepertimu mau menjadi duri dalam rumah tangga orang lain. Jadi sebelumnya aku mau bertanya padamu. Apa yang kamu lihat dari suamiku? Tampan? Kurasa banyak yang jauh lebih tampan dari suamiku. Secara kamu cantik, orang tuamu juga berduit. Pastilah banyak pria yang menyukaimu. Kalau soal kaya? Kurasa bukan ya, kamu jauh lebih kaya daripada suamiku. Lalu, apa yang kamu cari dari Mas Aldo?" "Aku mencintainya, Mbak, bukankah syarat cinta tidak melihat semua itu?" Aku menatap mata Kinan yang bulat seperti boneka. Aku tersenyum kecut mendengar jawaban klasik dari gadis di depanku ini, sungguh patut kuapresiasi keberanian gadis yang kutaksir baru berusia tidak lebih dari dua puluh tahun. "Cinta? Sesederhana itu? Oh ayolah Kinanti, cinta itu tak selamanya indah. Apa kau tidak takut jika menikah dengan Mas Aldo maka dia akan mengajakmu hidup sengsara? Lihatlah aku, aku dulu juga sama sepertimu bermodalkan cinta. Dulu aku cantik, dulu aku muda dan dulu aku berprestasi. Tapi apa? Lihat sekarang bagaimana penampilanku dan bagaimana keadaan rumah kami.Bahkan, di usia pernikahan kami yang sudah menginjak tiga tahun kami belum juga memiliki apa pun. Jangan nanti kamu menyesal atas apa yang sudah kamu putuskan. Masa depanmu masih panjang." Aku Mengatakan hal itu dengan sesantai-santainya meskipun ingin rasanya aku menjambak gadis di depanku ini. Siapa, sih, istri yang bisa terima saat ada seorang perempuan meminta izin untuk menikah dengan suaminya? Kurasa tidak ada. Jikalau ada pun pasti hanya wanita tertentu yang berhati baja. Akan tetapi, itu bukanlah aku. Aku bisa sesantai ini karena sebenarnya rasa cinta untuk mas Aldo telah mati. Rasa itu menguap bersama munculnya rasa benci untuk pria bergelar suamiku yang sungguh zalim itu. "Tidak, Mbak, aku tetap mencintai Mas Aldo apa pun yang terjadi. Kalau soal keuangan Mbak Citra tidak usah khawatir. Aku anak tunggal. Ayahku pemilik perusahaan Mas Aldo bekerja. Aku bisa pastikan kalau hidup kamu tidak akan kekurangan," ucap Kinanti dengan rasa percaya dirinya yang tinggi. Well, well, well, okelah kalau begitu. Sepertinya memang susah menasehati orang yang sedang buta karena cinta. Ibarat kotoran pun akan dirasa coklat saat cinta itu tengah bersemi di dalam hatinya. "Jadi?" tanyaku sembari menatap Kinanti dengan serius. Aku mendekatkan wajahku ke arah Kinanti agar dapat dengan jelas mendengar apa jawaban Kinanti selanjutnya. "Jadi aku harap Mbak jangan menghalangi cinta antara aku dan Mas Aldo. Aku akan melakukan apa pun untuk bisa menikah resmi dengan Mas Aldo." "Kenapa kalian enggak nikah siri saja? 'Kan nggak perlu persetujuan dariku?" "Masalahnya Ayahku enggak mau, Mbak, begitu juga dengan Ibu." "Apa orang tuamu tahu tentang status suamiku? Oh maksudnya calon suamimu juga." "Eng, anu, Mbak, ten-tentu saja mereka tahu. Iya mereka tahu, kok," ucap Kinan terbata. Ada hal yang aneh yang dapat kutangkap dari reaksi wajahnya. Fix orang tua kinan tidak tahu perihal status mas Aldo. Oke, ini akan menjadi senjataku untuk membalas mereka. Tentunya dengan senjata yang lebih mematikan lainnya. Tidak ada kata ampun bagi seorang pelakor dalam kamusku. Sekali pun itu adalah seorang gadis belia."Oke, kalau begitu. Kamu mau melakukan apa pun demi bisa menikah dengan Mas Aldo 'kan?" Kinanti mengangguk dengan cepat. "Baiklah, aku ada syarat dan kurasa kamu tidak akan keberatan karena syaratnya mudah saja. Kalau kamu setuju aku sendiri yang akan menikahkan kalian berdua." "Benarkah? Apa Mbak? Cepat katakan, eh tapi soal menikahkan kami kayaknya gak perlu, Mbak, soalnya takut nanti akan ada omongan gak enak dari orang tentang kita," jawab Kinan. Namun, aku yakin dia hanya beralasan saja karena aku sangat yakin kalau orang tuanya tidak tahu menahu perihal status suamiku. "Lho, kenapa? Kan malah bagus kalau aku datang untuk menikahkan kalian? Justru orang-orang akan menyanjungmu dong secara kamu itu diterima dengan baik oleh istri sah nya. Tapi kalau memang menurutmu tidak ya gak masalah juga sih. Tapi yakin kamu akan mengabulkan apa yang aku minta?""Sangat yakin, cepat Mbak katakan apa yang Mbak mau?""Berikan aku uang satu milyar maka akan aku bubuhkan tanda tangan di atas materai bahkan aku sendiri yang akan mencarikan penghulu untuk kalian menikah. Bagaimana? setuju?" "Apa? Kau gila, Mbak! Itu bukan nominal yang sedikit!""Iya aku tahu, ya terserah kamu, sih, mau apa nggak, kalau mau ya satu milyar.""Mana mungkin aku ada uang segitu, Mbak!" protes Kinanti"Kalau kamu nggak mau, sih, nggak apa-apa.""Aku pikir-pikir dulu lah, Mbak! Kalau gitu aku pulang dulu." ketus Kinanti"Ya, silakan."Kinanti pun meninggalkan ruang tamu rumahku dengan luas 3x3 meter ini dengan wajah penuh kekesalan. Ia menuju mobil yang diparkirkan di halaman rumahku yang juga tidak terlalu besar yang hanya dominan ditumbuhi bunga sepatu sebagai pagar alami. Deru mesin mobilnya terdengar jelas di telingaku. Ketika mobilnya menghilang dari pandangan, kututup kembali pintu utama yang tadi sempat terbuka. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang entah bagaimana lagi aku mendeskripsikannya. Bagaimana tidak? Gundik suamiku itu dengan tiba-tiba datang dan meminta izin untuk menikahi suamiku. Berani sekali bukan? Huh, dia pikir segampang itu aku melepaskan Mas Aldo? Kambing yang hewan saja laku kalau dijual masa manusia seperti Mas Aldo aku berikan begitu saja? Setidaknya aku harus mendapatkan keuntungan dari hubungan mereka. Dari pada aku pusing memikirkannya lebih baik mandi dulu sambil menunggu mas Aldo pulang."Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments