WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
BAB 2Disangka Istri gila—-----------Aku seorang ibu rumah tangga sejati dengan usia 24 tahun sedangkan mas Aldo seorang karyawan kontrak di sebuah perusahaan yang tidaklah terlalu besar di kota ini. Gaji mas Aldo sebulan hanya berkisar antara tiga sampai tiga setengah juta saja setiap bulannya. Cukup memang kalau hanya untuk biaya makan kami berdua. Akan tetapi, selama aku menikah dengan mas Aldo, ibu mertua dan ipar selalu menjadi biang rusuh di dalam rumah tanggaku dan mas Aldo. Pekerjaanku hanyalah menghalu yang dibayar. Yups, tepat sekali, aku adalah seorang penulis novel di aplikasi berbayar. Sudah satu tahun aku bergelut di dunia literasi. Memang masih sebentar tapi, selama satu tahun itu alhamdulillah cuanku mengalir deras. Setiap bulannya aku bisa mengantongi uang seminim-minimnya sekitar sepuluh sampai lima belas juta.Apakah mas Aldo tahu? Ya tentu saja tidak, yang ia tahu aku hanyalah seorang istri yang setiap harinya menggunakan daster yang sudah banyak lubang anginnya di sana-sini dan juga terkadang bau bawang.Bahkan, mas Aldo juga tidak tahu jika sebenarnya aku masih memiliki orang tua dan orang tuaku adalah pemilik usaha mebel terbesar di kota ini. Mas Aldo dan keluarganya hanya tahu kalau orang tuaku adalah bekerja sebagai pembantu dan tukang kebun. Jadi, pembantu di rumahku yang bernama bi Titin dan tukang kebun di rumahku bernama pak Marno yang dulu kuminta menyamar sebagai orang tuaku dan menggunakan nama kedua orang tuaku juga dan juga perwalian sudah Papa serahkan pada wali hakim saat itu. Semua ini ide dari orang tuaku. Mereka ingin melihat seberapa serius dan cintanya suamiku juga keluarganya padaku jika aku hanyalah seorang wanita miskin. Karena kebanyakan yang sudah-sudah semua mantan kekasihku hanya mengincar harta orang tuaku saja. Tentu saja aku menyetujui ide Papa. Hingga akhirnya aku menikah dengan mas Aldo dan sampai detik ini mereka belum tahu siapa aku sebenarnya.Sebelum Mas Aldo pulang aku sudah siap menunggu mas Aldo di ruang televisi sambil menonton acara kesukaanku di salah satu televisi yang menayangkan berbagai cerita azab. Harusnya suamiku menonton film ini biar dia sadar. Bisa menyaksikan gambaran azab bagi suami yang dzolim. Mau menduakan istri seenaknya terang-terangan meminta izin. Lihat saja, pasti Si Pelakor sudah mengadu pada suamiku tentang percakapan kami tadi siang. Aku sudah mempersiapkan mental untuk menghadapi sikap zalim suamiku. Tak akan aku biarkan dia seenaknya menyakiti. Padahal, selama ini aku tidak banyak menuntut. Selalu menuruti ucapannya. Meskipun, sikapnya hanya bisa membuatku menderita. Soal kemiskinan dan cobaan mertua julid, mungkin masih bisa dihadapi. Namun, Tidak untuk perselingkuhan. Seorang pria dilihat tanggung jawabnya dari ucapan. Dulu, dia berjanji di depan penghulu untuk membahagiakanku. Jika dia menikah lagi, maka sama saja menyiksa batinku. Telah melanggar sumpah pernikahan yang dia ucapkan sendiri. "Citra apa maksudmu meminta uang satu milyar pada Kinanti?" tanya Mas Aldo. Dia masuk tanpa mengetuk pintu. Kebetulan pintu depan memang tidak dikunci. Mas Aldo langsung menampakkan raut tidak suka. Matanya menatap tajam. Wajahnya tampak kemerahan menahan amarah. "Ya, aku cuman minta hak untukku, Mas. Emang salah?" Aku berusaha bersikap santai. Seakan hal yang terjadi diantara kami hanya masalah kecil. Mata tetap fokus menatap layar televisi. "Hak apa maksudmu, Citra? dasar istri gila. Bisa-bisanya menjual suami sendiri.""Lah, Mas sendiri yang menyerahkan diri ke pelakor. Masa Mas bahagia, aku menderita gitu aja. Kerbau saja kalau diurus beberapa tahun, pas dijual harganya mahal. Apalagi suami. Mas udah aku urus beberapa tahun ini. Dimasakin, dicuciin bajunya, ditemani tidur kadang juga dinina boboin. Wajar, dong aku minta bayaran," ujarku tersenyum sinis."Gila kamu, Cit."Mas Aldo mencengkram tanganku sangat kuat. Posisi kami saling berhadapan. Seolah-olah lawan yang siap berperang. Saling menunjukkan sorot kebencian. Dasar pria tidak tahu diri. Urat malunya sudah putus karena kebanyakan berzina dengan perempuan lain. Sampai lupa diri dengan kesalahan sendiri. Harusnya aku yang marah. Jangan-jangan suamiku yang sudah gila. Tanpa rasa bersalah malah membalikkan fakta. Seakan-akan akulah istri durhaka."Kenapa sih, Mas? salahnya di mana? jelasin dong. Menurutku, tindakanku ini benar. Pacar gelapmu minta dinikahin resmi. Sebagai kompensasi, boleh dong aku minta satu milyar. Buat bahagian hati, karena diselingkuhin plus aku juga minta uang tambahan buat ngurus surat cerai di pengadilan. Ya, kalau ditotal sekitar satu setengah milyar deh. Masa gak mampu, sih, pelakor itu ngasih duit? pasti dia anak orang kaya 'kan?""Tutup mulutmu, Citra! Aku tidak akan menceraikan kamu. Asal kamu tahu, Kinanti adalah anak dari pemilik perusahaan tempatku bekerja. Kamu harus jaga sikap padanya. Atau kita tidak bisa hidup bahagia.""Kita hidup bahagia? apa maksudmu, Mas?" tanyaku mengernyitkan dahi. "Lebih baik kamu terima saja dipoligami. Aku akan tetap memberikan uang untukmu. Asal kamu menyetujui pernikahan resmiku dengan Kinanti. Perempuan itu juga setuju dengan usulanku."Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebenarnya, suamiku manusia atau bukan? kenapa tingkahnya melebihi hewan. Dia benar-benar keterlaluan. Apa dia merasa jadi pria paling tampan? sampai berpikir gila untuk mempermainkan dua hati."Dasar gila kamu, Mas!" sentakku menghempaskan cengkraman Mas Aldo. Berusaha pergi ke kamar. Namun, langkahku dihalanginya."Mas serius, Citra. Kamu harus menuruti ucapan Mas kali ini saja. Ini semua demi kebaikan kita semua. Mas mencintaimu, tetapi Mas sudah cape hidup susah. Mas cuman minta satu, permudah jalan Mas untuk menikah lagi.""Kamu mabok, yah, Mas? bener-bener ngelantur kalau ngomong.""Cit, sudahlah jangan mempersulit keadaan. Kamu tinggal setuju, dan tanda tangan surat ini." Mas Aldo menunjukkan dokumen yang sudah diperlihatkan Kinanti. Mereka berdua memang serasi. Satunya perempuan pelakor tidak tahu malu. Sedangkan prianya tidak tahu diri. Dia pikir hanya dirinya saja yang berhak bahagia? dasar manusia egois. "Tidak! sekali tidak ya, tidak! Kasih dulu aku uang satu milyar. Baru aku mau tanda tangan. Enak saja, mau menang sendiri. Ingat yah, Mas, aku bukan perempuan bodoh. Sudah cukup, selama ini selalu mengalah.""Citra!"Tanganku sigap mendorong mas Aldo. Sampai dia terjungkir ke lantai. Syukurin! Memangnya enak? aku melangkah penuh percaya diri masuk ke kamar. Keputusanku tidak akan goyah. Sikapku seperti ini, bukan untuk terus bertahan dengan Mas Aldo. Namun, aku ingin memberinya pelajaran. Agar tidak mempermainkan sebuah pernikahan demi harta dan kekuasaan. Harta dan tahta masih bisa dicari bersama. Akan tetapi, tidak untuk kesetiaan. Sekali ternoda, maka akan ada hati yang hancur berkeping-keping. Selamanya tidak akan utuh lagi. *****"Citra, bangun! dasar menantu pemalas!" teriak ibu mertua menciptakan air di wajahku. Aku lihat jam di dinding, baru menunjukkan pukul 04.30 tetapi mertuaku sudah datang ke rumah. Tumben sekali dia ke sini. Pasti ada hal penting yang akan dibahas. tampaknya aku tahu arah pembicaraannya nanti. "Santai dong, Bu, kalau bangunin orang. Namanya juga lagi haid. Wajar baru bangun. Terus ... kemana Mas Aldo. Tumben dia sudah gak ada di kamar?""Dasar istri tidak perhatian. Aldo tidur di rumah ibu dari semalam.""Oh, pantes gak kedengeran suara pintu kamar dibuka. Pasti dia kunci pintu depan dari luar. Dasar suami gak ada akhlak. Pulang ke rumah orang tua gak bilang-bilang," cerocosku dengan santai. Muka ibu mertua sudah memerah bagai tomat karena tingkahku.WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 3 Ancaman Mertua "Dasar istri tidak perhatian. Aldo tidur di rumah Ibu dari semalam." "Oh, pantes gak kedengaran suara pintu kamar dibuka. Pasti dia kunci pintu depan dari luar. Dasar suami gak ada akhlak. Pulang ke rumah orang tua gak bilang-bilang," cerocosku dengan santai. Muka ibu mertua sudah memerah bagai tomat karena tingkahku. "Kamu udah gila, Citra?" "Gila kenapa, Bu? liat aja, aku masih waras. Meskipun punya suami agak gak waras," kekehku dengan senyum sinis. Raut Ibu mertua semakin merah padam. Emosinya bagaikan bom yang siap meledak. Dia pasti tidak terima anaknya aku jelek-jelekan. Ibu dan anak memang memiliki karakter yang sama. Sama-sama tidak tahu diri. Merasa paling benar. Tidak mau introspeksi. Seharusnya, sejak dulu aku mau melawan. Agar tidak semakin besar kepala suami dan mertuaku. "Cepat mandi. Ibu mau bicara penting sama kamu." "Bicara apa, Bu? tumben." "Cepat mandi dulu. Jangan banyak tanya." "Iya, Bu. Kalau bisa bel
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBAB 4Negosiasi sengit "Mau kalian apa?" tanyaku berusaha tenang. Menarik napas dalam-dalam untuk memulihkan kesadaran sepenuhnya. "Tanda tangan ini sekarang juga." Aku bagaikan tersangka yang diinterogasi sengit oleh mereka. Pintar sekali mereka memanfaatkan keadaan. Mereka tahu aku sudah tertidur beberapa jam. Sengaja segera membangunkanku. Agar aku yang sedang setengah sadar segera menandatangani dokumen itu. Maaf, aku tidak bodoh. Efek bangun tidur hanya berjalan beberapa menit. Sesudahnya aku akan sadar sepenuhnya dan siap melawan para manusia tidak ada otak seperti mereka. "Bayar dulu satu milyar. Baru aku tanda tangan. Ditambah uang 500 juta buat ngurus perceraian." "Gak usah banyak ngatur. Jadi istri itu harus nurut. Cepat tanda tangan," desak ibu. "Gak!" sentakku. "Citra, kamu semakin berani saja, yah. Cepat tanda tangan. Atau aku paksa kamu!""Hahaha, mau maksa gimana, Mas? paksa ajah kalau bisa." "Cepat tanda tangan!" bentak ibu. Me
WANITA YANG MEMBELI SUAMIKUBab 5 Uang Untuk Bebas "Kenapa bisa ada polisi?" "...." "Tenanglah, Dek. Mas akan segera menghubungi Ibu di kantor polisi. Kamu tunggu saja di rumah. Semua akan baik-baik saja." Mas Aldo menutup sambungan telepon kemudian memandangku sengit. Aku malah tersenyum penuh kemenangan. Sayangnya, tak bisa mendengar suara adik iparku yang sombong. Pasti seru sekali mendengar kepanikannya. Mereka merasa paling hebat, akhirnya kalah juga. Itulah pentingnya jangan meremehkan orang lain. Aku tak mau jadi orang jahat, tapi harus tega menghadapi manusia jahat. Semoga saja, hati mereka tertampar. Sehingga, bisa menyadari kesalahan. Meskipun demikian, hal tersebut sulit terjadi. Manusia yang sudah dikuasai nafsu, akan sulit berkaca diri. Merasa paling benar. Selalu mendengar bisikan dalam dirinya. Menghalalkan segala cara supaya mendapatkan segalanya. Padahal, apa yang mereka inginkan secara mati-matian, belum tentu kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Apa yang kam
Brak! Citra menancapkan pisau daging yang dia ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah Aldo seketika pucat melihat gerakan Citra kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Cit, kamu jangan main-main ya. Itu pisau lho." Tampak sekali Aldo sangat ketakutan tapi ia berusaha membuat wajahnya terlihat biasa saja. "Yang bilang itu kuaci siapa? Pisau itu sangat tajam lho, Mas. Daging merah yang disiset lalu dipanggang dan dicelupkan bersama saus sambal itu nikmat lho, Mas. Apakah kamu mau mencobanya? Ah, gak perlu sampai nyawamu melayang. Cukup aku minta sedikit daging di tanganku yang suka menyakitiku itu saja aku sudah bahagia. Gimana? Boleh kan? Kesinikan tanganmu, Mas." Lagi-lagi Aldo menelan salivanya. Ia berjalan mundur menjauhi Citra yang juga berjalan maju mendekati dirinya. Semakin lama tubuh Aldo semakin menjauh dari Citra karena ia menghentikan langkahnya dan memandang Aldo tajam dengan senyuman yang menyeringai. "Dasar istri gila! Awas kamu Citra! Aku masih
"Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Iyakah? Yaudah deh kamu mau pesan apa""Samakan saja dengan pesananmu. Mas makan gak pernah memilih kok." Setelah Kinanti memanggil pelayan dan kembali pesan menu yang sama seperti dirinya pesan tadi. Ia kembali mengobrol dengan Aldo. "Parah sekali istrimu itu, Mas. Tapi kenapa gak kamu ceraikan saja sih dia, Mas? Kamu menikah sama aku kan enak hanya aku satu-satunya di hidupmu.""Masalahnya aku kasihan sama dia, Sayang. Orang tuanya miskin. Kalau aku menceraikannya mau tinggal di mana dia. Lagian kalau dia tetap menjadi istriku setelah kita menikah lagi kan kamu bisa menyuruh-nyuruhnya yah anggap saja pembantu gratisan. Ya kan?""Hemm kamu benar juga, Mas. Tapi masalahnya dia kekeh minta uang satu milyar itu gimana dong, Mas?""Itu juga yang aku pusingkan. Meskipun orang tuamu kaya dan gak ada artinya kalau harus mengeluarkan uang segitu banyak tapi
"Kamu memang yang terbaik buatku, Sayang."***Keesokan harinya, Kinanti menepati janjinya untuk membebaskan Ibu Miranti. Kinanti pun membawa serta pengacara keluarganya untuk ikut membereskan semua permasalahan Bu Miranti. Kinanti dan juga Aldo telah membuat janji untuk bertemu di kantor polisi saja agar tidak memakan waktu. Aldo yang terlebih dahulu sampai di kantor polisi pun menunggu Kinanti yang masih dalam perjalanan menuju kantor polisi. Tidak berlama-lama Aldo menunggu, Kinanti pun sampai di kantor polisi di mana Bu Miranti, ibunya Aldo ditahan. "Hai, Mas. Sudah lama menunggu?"Kinanti berjalan menghampiri Aldo yang terlihat duduk di ruang tunggu. Ia menyapa Aldo yang terlihat celingukan mencari seseorang. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang. Nggak kok, aku juga baru saja sampai." Aldo tersenyum saat melihat kedatangan Kinanti. "Kenalkan, Mas, ini Om Agus pengacara yang akan membantu Ibu keluar dari sini." Kinanti memperkenalkan Pak Agus kepada Aldo. Aldo mengulurkan ta
"Om, Kinanti mohon Om jangan cerita sama Papa ya. Ini biar jadi masalahnya Kinan saja. Jadi Papa nggak perlu tau," ucap Kinan memelas pada pengacara keluarga nya itu yang bernama Pak Agus. "Sebenarnya itu memang hak klien, Om memang tidak perlu untuk mengatakan hal apa pun kepada orang lain termasuk Papa kamu." Kinanti dapat bernapas lega karena ia sebenarnya juga takut kalau sang papa akan mengetahui semuanya. "Tapi Om sebagai pengacara Pak Anggoro cuma bisa mengingatkan saja. Lebih baik Kamu batalkan niat kamu untuk menikah dengan pria itu. Karena Om melihat lelaki itu cuma mau harta saja. Dia itu tidak bukan pria baik-baik. Apalagi Ibunya. Mereka itu matre. Dia tidak tulus mencintai kamu Kinanti," imbuh Pak Agus menasehati Kinanti panjang lebar agar Kinanti paham dengan apa yang diucapkan Pak Agus. Kinanti yang mendengar ucapan Pak Agus pun menepis semua omongan yang diucapkan Pak Agus barusan. "Itu cuma perasaan Om Agus saja. Mas Aldo nggak seperti itu kok, Om. Mas Aldo dan
"Iya Kinan, Ibu sama Aldo bisa naik taksi kok. Tapi … anu ….""Kenapa, Bu?""Ibu dan Aldo gak punya uang buat naij taksi. Emmm maaf kalau merepotkanmu, Nak, bisa gak kalau kita pinjam dulu uang buat naik taksi? Kamu kan tau kalau uang gaji Aldo itu dikuasai sama Citra sialan itu." Mimik wajah Bu Miranti dibuat sesedih mungkin agar Kinanti mempercayainya. "Oh, iya Ibu tenang saja. Ini Kinanti ada kok. Maaf ya hanya bisa kasih segini soalnya belum narik lagi uang di ATM." Kinanti menyerahkan sepuluh lembar uang berwarna merah pada Bu Miranti. Mendadak wajah tua yang tampak kuyu karena beberapa hari berada di dalam penjara itu seketika berbinar. "Ya ampun terimakasih ya, Kinanti. Kamu memang calon menantu yang terbaik buat Ibu. Memanglah si Aldo ini gak pernah salah pilih." Kinanti tersenyum mendengar ucapan Bu Miranti. Ia pun berpamitan sembari mencium takzim tangan calon mertuanya itu. "Yasudah kalau begitu aku pulang dulu ya., "Ya sudah hati-hati ya, Sayang. Ibu doakan semoga uru