WANITA YANG MEMBELI SUAMIKU
Bab 5 Uang Untuk Bebas "Kenapa bisa ada polisi?" "...." "Tenanglah, Dek. Mas akan segera menghubungi Ibu di kantor polisi. Kamu tunggu saja di rumah. Semua akan baik-baik saja." Mas Aldo menutup sambungan telepon kemudian memandangku sengit. Aku malah tersenyum penuh kemenangan. Sayangnya, tak bisa mendengar suara adik iparku yang sombong. Pasti seru sekali mendengar kepanikannya. Mereka merasa paling hebat, akhirnya kalah juga. Itulah pentingnya jangan meremehkan orang lain. Aku tak mau jadi orang jahat, tapi harus tega menghadapi manusia jahat. Semoga saja, hati mereka tertampar. Sehingga, bisa menyadari kesalahan. Meskipun demikian, hal tersebut sulit terjadi. Manusia yang sudah dikuasai nafsu, akan sulit berkaca diri. Merasa paling benar. Selalu mendengar bisikan dalam dirinya. Menghalalkan segala cara supaya mendapatkan segalanya. Padahal, apa yang mereka inginkan secara mati-matian, belum tentu kebahagiaan dan kedamaian hidup. "Apa yang kamu lakukan sama Ibuku, Citra?!" tanya Mas Aldo dengan nada menyentak. "Aku sudah bilang mau melaporkan semua perbuatan ibumu ke polisi, karena dia ingin membunuhku. Emang salah? udah aku peringati dari awal. Suruh siapa gak percaya." "Gila kamu, Citra. Dia mertuamu! Seharusnya kamu menganggap seperti ibu sendiri. Teganya kamu mau memenjarakan ibuku." "Hahaha, sadar diri dong, Mas. Ibumu saja menganggapku seperti hewan peliharaan. Kenapa aku harus menganggapnya seperti ibuku sendiri?" "Dasar perempuan gila ...." "Apa? mau nampar? Sekali saja tanganmu mendarat di pipiku, aku pastikan kamu menyusul ibumu di penjara!" tegasku membuat nyali Mas Aldo menciut. Tangannya mengambang di udara. Akhirnya Mas Aldo menurunkan kembali tangannya lantas ia pergi dengan raut kesal. Matanya terbuka lebar dan seolah-olah tampak tak percaya atas sikapku kepadanya. Aku hanya ingin mengajari Mas Aldo cara menghargai perempuan agar tidak pandang semena-mena. Coba jika keadaannya dibalikkan seperti ini. Ibunya yang sangat dia sayangi aku sakiti. Apa dia akan terima? Tentu tidak. Begitu pula denganku. Aku juga perempuan, aku tak mau diperlakukan seenaknya. Setelah Mas Aldo tidak terlihat lagi, aku mengikutinya hingga ke kantor polisi. Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi di sana. Ingin melihat ekspresi mertuaku yang sombong dan egois. Apa masih bisa seperti itu, ketika masuk ke penjara? momen itu harus aku saksikan sendiri. "Kamu harus membalas perlakuan istrimu. Dia gila, Do! Bisa-bisanya melaporkan Ibu," ujar ibu dengan derai air mata. Saat ini aku sedang berada di kantor polisi juga untuk menyaksikan kesedihan sang Ibu mertua. Ibu sedang diintrogasi di ruang BAP. Di sampingnya ada Mas Aldo. Aku mengintip mereka di balik tembok. Mereka tidak akan melihatku, karena posisi mereka membelakangiku. "Tenanglah, Bu. Semua akan baik-baik saja." "Baik-baik gimana? ibu udah panas gini. Seumur hidup baru pertama kali masuk kantor polisi mana sebagai tersangka lagi. Ya ampun ... amit-amit sekali punya menantu gila kaya Si Citra. Kamu sih, Do. Ibu bilang jangan menikah perempuan miskin kaya dia. Dasar perempuan gak tahu diri. Jadi, ribet gini urusannya." "Ibu juga salah. Suruh siapa yang berbuat anarkis kaya gitu." "Ih, kamu malah menyalahkan Ibu. Orang Ibu gak salah." "Sudah-sudah. Berdasarkan bukti yang ada, Ibu resmi menjadi tersangka dalam kasus kekerasan ini. Silakan ikut ke sel tahanan. Kecuali kalau pelapor mencabut kasus ini dan menyelesaikan jalan kekeluargaan.""Lepaskan! gila kalian. Aku tidak salah. Aku tidak mau dijebloskan ke penjara. Citra cepat cabut laporanmu ini" Ibu mertua berteriak histeris. Namun, Pak Polisi tetap tegas, dan menariknya masuk ke sel tahanan. Mas Aldo tampak pasrah sambil memijat pelipisnya. Dia tidak bisa membantu ibunya. Meskipun demikian, ibu mertuaku terus berteriak minta dibebaskan. "Pak, Ibu saya tidak bersalah. Istri saya hanya salah paham saja, Pak." "Maaf, Pak. Bukti-Bukti sudah lengkap dan Ibu Citra sudah membuat laporan pengaduan terhadap Ibu mertuanya. Maka, kasus ini akan terus berlanjut sampai ke persidangan. Kecuali kalau istri Bapak mau mencabutnya.""Baiklah, Pak, kalau begitu," ucap Mas Aldo kali ini tampak pasrah. Mas Aldo tampak stres. Dia begitu frustasi mendengar jawaban Pak Polisi. Sebelum dia keluar, aku memilih keluar duluan. Aku akan menunggunya di parkiran. "Citra tolonglah lepaskan Ibuku. Ini kan hanya masalah sepele." "Masalah sepele gimana, Mas? Ibu kamu itu sudah menyakitiku. Dan sudah terbuktikan omonganku bukanlah gurauan semata?" "Kamu gila, Cit. Benar-benar gila." "Hahaha, aku gila karena kamu, Mas. Kamu yang membuatku seperti ini. Nikmati saja permainannya." "Cepat katakan, apa yang kamu mau? aku akan menuruti semua keinginanmu, asal kamu bebaskan Ibuku. Tapi jangan minta aku membatalkan pernikahanku dengan Kinanti. Aku tidak bisa, Cit. Pernikahanku dengannya untuk kamu juga. Mengertilah," ujarnya dengan raut memelas. "Hahaha, tenang aja, Mas. Aku gak minta kamu membatalkan pernikahan. Toh, aku sudah tidak butuh pria tidak berperasaan kaya kamu. Aku bakal cuma minta ...." "Apa? cepat katakan?" tanya Mas Aldo dengan raut wajah tidak mengenakkan. "Kasih aku satu milyar buat kebebasan ibu. Itu uang beda lagi kalau mau minta tanda tangan persetujuan menikah lagi." "Gila! kamu sudah melakukan pemerasan padaku. Aku bisa melaporkanmu, Citra." "Hahaha silahkan saja. Kalau aku di penjara, kasus perselingkuhan kamu sama Kinanti juga bisa aku laporkan. Bahkan, aku laporkan pada orang tuanya Kinanti kalau kamu sudah punya istri." "Ma-maksud kamu apa, hah? orang tua Kinanti su-sudah tahu aku punya istri." Suamiku bohong, dia tampak pucat pasi dan gugup. Aku tidak bodoh, aku biarkan saja pura-pura tidak percaya. Nantinya, aku akan menjadikan orang tua Kinanti sebagai senjata. Untuk menghancurkan pria hidung belang seperti Mas Aldo dan pelakor tak tahu malu si Kinanti. "Oh begitu. Ya, sudah. Mintalah uang dua milyar pada calon mertuamu itu." "Gila kamu. Terserah kamu mau apa, aku pusing menghadapi sikap kamu. Yang berubah jadi mata duitan." Mas Aldo meninggalkanku begitu saja. Aku hanya diam membiarkan dia mau melakukan apa pun. Dia tetap tidak bisa melawanku. Posisinya terjepit. Bukannya enak mau nikah lagi, dia harus pusing memikirkan ibunya di penjara. Syukurin Mas. Makanya tak usah banyak laga jadi pria. ***** Keesokan harinya, aku menjalani aktivitas seperti biasanya. Mas Aldo tidak pulang seharian, entah di mana dia tidur dan aku tak peduli. Menikmati suasana pagi dengan hati ceria sejenak melupakan beban duniawi. Agar tetap waras hidup memang kadang mengajak bercanda. Jadi, jangan terlalu serius menghadapinya, harus dibawa santai. "Citra ... di mana kamu?!" Dari arah depan terdengar seseorang memanggilku. Suaranya aku kenal. Aku hentikan aktivitas di dapur dan berjalan ke depan. Baru sampai ruang depan, langsung dihadang adik ipar. Dia pun sama saja seperti ibunya yang menyukai keributan. "Dasar menantu gila. Cepat bebaskan Ibuku." "Ada apa, Raya? Kamu upil toge gak usah ikut campur ya!""Tutup mulutmu! Seenaknya saja ngatain aku upil toge. Kamu tuh yang kayak kentutnya naga.""Gak masalah, masih mending naga daripada kamu toge kisut letoy sekali. Dan kamu cepat berhenti! Selangkah saja kamu berani maju dan menyakiti, aku tak segan-segan memenjarakan kamu dan kakakmu. Biar kalian sekeluarga kumpul di penjara!" Wajah anak remaja itu memucat. Dia hentikan gerakan agresifnya. Tak jadi memukulku dan dia mematung sembari matanya menyorot tajam ke arahku seperti menahan amarah. "Citra, cepat bebaskan ibuku. Atau aku akan menceraikanmu sekarang juga." Mas Aldo datang mendekat, ia mencengkram bahuku erat yang membuatku meringis. Aku mencoba melepaskan cengkraman tangannya dari bahuku tapi nihil. "Lepaskan aku, Mas! Atau kamu akan menyesal!""Aku gak akan melepaskanmu sebelum kamu berjanji melepaskan Ibuku dulu.""Tidak akan pernah!" Aku mencoba kembali melepaskan cengkramannya tapi tangan itu sangat kuat, aku tidak hilang akal, aku pun dengan sigap menendang pusaka mas Aldo menggunakan siku kakiku. Sontak saja mas Aldo mengerang kesakitan. Ia memegangi senjatanya dan hal itu membuatku tersenyum puas. "Jangan kamu kira bisa mengintimidasiku ya?! Aku tidak pernah takut padamu!" Aku pun berjalan menuju dapur dan mengambil sesuatu dari sana. Kupegang erat benda berwarna silver tersebut dan aku kembali menuju ruang tamu. Aku pun mengayunkan benda tersebut ke arah meja. Dan ….Brak! Kutancapkan pisau daging yang aku ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah mas Aldo seketika pucat melihat gerakanku kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Ah! Apa itu mas Alex??" gumamnya yang langsung bangkit dari duduknya, "Gawat! Aku harus cepat sembunyi!"Seketika saja wanita itu mengerjap, debaran jantungnya tak karuan mendengar derap langkah yang mendekati rumah tersebut. Kinanti merapatkan kedua tangannya lalu memegangi dadanya yang semakin terasa tak karuan.Bagaimana tidak? Hari-hari yang dijalani mereka awalnya sangat bahagia, Kinanti sangat bersyukur karena mendapatkan suami yang sangat pengertian dan selalu memanjakannya, fisik maupun batin.Akan tetapi, setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alex semua mulanya berjalan dengan baik dan bahkan bahagia, Kinanti selalu mendapat perlakuan manis dari Alex yang sangat menyayanginya, begitupun sebaliknya. Akan tetapi hal itu rupanya tidak berjalan lama karena ternyata Kinanti salah menilai Alex sebagai suami barunya, kehidupan rumah tangganyapun tak berjalan seperti apa yang diharapkan olehnya selama ini.Tak dapat terbayangkan pula jika nasib Kinanti akan hancur seperti
Nugroho pun mengerjapkan kedua bola matanya dengan cepat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang diucapkan oleh lawan bicaranya di depan matanya tersebut.Tanpa disadarinya pandangannya pun menyapu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki Abey. "Menantu? Hmm ... boleh juga rupanya," batin Nugroho.Namun, sekejap kemudian Nugroho kembali tersadar bahwa apa yang dilakukannya itu terlalu gegabah. "Astaga, baru juga ketemu. Mikir apa sih aku ini?" batinnya membantah penilaiannya barusan, karena bagaimanapun juga dia ingin yang terbaik untuk Citra tapi tidak ingin memaksakan kehendaknya.Merespon sapaan dari Abey tersebut Nugroho pun jadi tertawa terbahak-bahak dan bersedekap. "Boleh juga keberanianmu, ya!" ucap pengusaha sukses tersebut sambil menepuk-nepuk bahu pemuda yang ada di hadapannya.Wajah Abey yang sudah mereda pun jadi memerah lagi. Sejenak dia juga merututi dirinya sendiri mengapa bisa sampai seberani itu.Namun, kemudian yang ia dengar adalah sahutan dari sang Ibu dan juga sahabat
Bahkan Abey tidak seolah terbungkam dan tak mampu berkata-kata lagi saat menanggapi tekanan dari perempuan yang diharapkannya menjadi calon mertua tersebut. Ingin rasanya dia berteriak menyuarakan batinnya, "Tante, kita bukan udah kenal lagi, tapi saling suka! Iya benar, Citra juga bilang suka aku!"Namun, alih-alih bisa bersuara, Abey pun mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatkala melihat sosok yang dari tadi bersemayam di kepalanya itu muncul tertangkap ekor matanya.Sedetik kemudian, terdengar juga suara Citra yang berseru, "Mama!""Eh? Sebentar ya, Sar," ucap Arumi pada temannya untuk menanggapi panggilan sang anak terlebih dahulu, "Apa, Sayang?"Kali ini giliran Citra yang syok sampai rahangnya menganga terbuka. Kedua bola matanya saling tatap dengan seorang pria tampan yang berdiri terpaku di tengah taman rumahnya.Citra mengibaskan kepalanya, berusaha menghalau gambaran di depan mata kepalanya yang dikiranya sebagai halusinasi itu."Lho, kok malah bengong? Kenapa lagi sih, Sayang
Abey masih tak bergeming sama sekali. Pikirannya sungguh sangat tak menentu saat ini. Tidak, tetapi rasanya otaknya sudah eror!Bagaimana bisa alamat yang dikirimkan oleh mamanya itu adalah alamat yang sama dengan rumah Citra, wanita yang sangat ia cintai?!Bahkan titik di mana mamanya berada benar-benar tepat di titik di mana rumah Citra itu.Saat ini Abey masih berada di depan rumah Citra. Sedari tadi, saat wanitanya itu turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, Abey masih tak bergerak atau menjalankan mobilnya sama sekali.Selagi menunggu balasan dari mamanya agar mengirim lokasi di mana rumah teman mamanya berada, Abey tak beranjak dari tempatnya sedikitpun.Tetapi apa daya jika yang ia dapatkan sangat mengejutkan seperti ini?!"Ini ... tak mungkin 'kan teman mama itu ...," ucap Abey yang menggantung, kembali menoleh dan megamati rumah mewah milik keluarga Citra dengan seksama."Atau jangan-jangan teman Mama itu adalah ibunya Citra?" gumamnya lirih menyambung ucapannya yang mengg
Seketika Citra membeku di tempat hanya karena mendengar pertanyaan dari Abey perihal isi hatinya. Perasaan kikuk kembali menghantui. Sejenak wanita itu menimbang, mau tetap menyembunyikan perasaan dan membuat Abey menunggu atau terus terang saat ini juga.Namun, bersamaan dengan itu Citra sadari rupanya dia sudah berada di dekat area rumah, tanda jika dirinya harus kembali menerangkan arah jalan."Itu, setelah patung di depan itu kamu belok kanan," ucap Citra menerangkan. Dia tak mau membuat dirinya dan Abey berakhir kebablasan sehingga harus mencari rute untuk berputar. Jalanan masih cukup ramai, akan sedikit sulit mengambil jalan putar. Apalagi perlu beberapa meter lagi baru mereka akan menemukan tempat untuk berbelok."Ah, jadi daerah sini? Kalau daerah sini aku pernah datang. Aku ingat dulu pernah diajak temanku ke sini. Kebetulan rumah temanku ada di perumahan itu, yang itu." Dengan cepat Abey menunjuk sebuah komplek perumahan tak jauh dari lokasi mereka. Komplek itu cukup besar
Sepanjang perjalanan Citra hanya bisa menyalahkan dirinya dan pikirannya yang tumpul. Terlalu penakut hanya karena kegagalan cinta di masa lalu.Sadar akan dirinya yang masih ditunggui oleh Abey, Citra pun berusaha keras mengusir segala rutukan yang hanya memenuhi isi kepala itu."Sudahlah," desis Citra pelan sembari mulai menata meja kerjanya. Beberapa saat kemudian wanita itu kembali berjalan keluar dari ruangan untuk kemudian menghampiri Abey yang sejak tadi masih berada di parkiran.Sementara itu, di tempatnya Abey menunggu dengan resah. Hawa panas dan dingin seolah menyerang jiwanya secara bersamaan."Sial. Kenapa aku harus bertindak gegabah, sih? Kenapa aku harus terburu-buru seperti ini? Citra pasti kecewa sekali. Mana mungkin dia mau menerimaku kalau begini caranya! Mengungkapkan perasaan di lahan parkir? Sungguh? Oh my God! Good job, Abey. Kamu telah menghancurkan semua," sinis Abey pada dirinya sendiri. Pria itu seperti kehilangan harapan sekarang."Ah, tidak apa-apa lah. To