Brak!
Citra menancapkan pisau daging yang dia ambil dari dapur tadi ke atas meja di ruang tamu. Wajah Aldo seketika pucat melihat gerakan Citra kali ini. "Bagaimana? Masih berani padaku?""Cit, kamu jangan main-main ya. Itu pisau lho." Tampak sekali Aldo sangat ketakutan tapi ia berusaha membuat wajahnya terlihat biasa saja. "Yang bilang itu kuaci siapa? Pisau itu sangat tajam lho, Mas. Daging merah yang disiset lalu dipanggang dan dicelupkan bersama saus sambal itu nikmat lho, Mas. Apakah kamu mau mencobanya? Ah, gak perlu sampai nyawamu melayang. Cukup aku minta sedikit daging di tanganku yang suka menyakitiku itu saja aku sudah bahagia. Gimana? Boleh kan? Kesinikan tanganmu, Mas." Lagi-lagi Aldo menelan salivanya. Ia berjalan mundur menjauhi Citra yang juga berjalan maju mendekati dirinya. Semakin lama tubuh Aldo semakin menjauh dari Citra karena ia menghentikan langkahnya dan memandang Aldo tajam dengan senyuman yang menyeringai. "Dasar istri gila! Awas kamu Citra! Aku masih belum menyerah hingga kamu membebaskan Ibuku. Jangan senang dulu kalau kali ini aku melepaskanmu karena nanti aku akan kembali memintamu untuk membebaskan Ibuku.""Wah, aku takut … tapi boong. Hahahaha. Silahkan saja, aku tunggu oke.""Aku akan minta Kinanti membebaskan Ibu. Lihat saja! Dia kan banyak uang pasti dia mau melakukannya."." Wah … senangnya … silahkan saja, aku gak peduli." Citta melipat tangan di dada. Ia masih menatap lekat pria yang masih menjadi suaminya itu. "Sialan!" Aldo pun pergi meninggalkan Citra yang menghembuskan napas kasar. Sejatinya ia lelah karena setiap harinya harus diisi dengan keributan seperti itu Namun, Citra tetap ingin meminta hak nya pada Aldo dan Kinanti. Meskipun bagi Citra uang satu milyar itu juga ia miliki bahkan lebih banyak lagi dari itu tapi tetap saja untuk memberi Aldo dan keluarganya pelajaran Citra harus melakukan itu. ***DdrrttDdrtttPonsel milik Aldo bergetar. Ia bergegas merogohnya di dalam saku celananya. Tampak nama Kinanti ada di layar ponsel miliknya. Bergegas Aldo menggeser tombol hijau ke atas dan terdengarlah suara merdu dari wanita pujaan hatinya. "Ya, Sayang, ada apa?""Mas, gimana? Istri kamu udah mau bebaskan Ibu kamu belum?""Belum, Sayang, kamu kayak gak tau Citra aja. Keras kepalanya luar biasa.""Lalu gimana?""Tadinya Mas ingin menghubungimu juga. Kebetulan malah kamu telpon. Gimana kalau kita ketemu di cafe tempat biasanya? Biar kita bicarakan hal ini secara langsung.""Oke deh. Aku otewe kalau begitu. Ada hal yang ingin aku sampaikan juga sama kamu dan itu penting.""Ya Udah Mas tunggu ya.""See u, Mas.""See u to."Aldo mematikan ponselnya dan ia kembali memasukkan ponsel itu ke saku celananya. Dan Aldo menjalankan lagi motor yang tadi sempat ia tepikan ke pinggir karena menerima telepon dari Kinanti. Lima belas menit menempuh perjalanan akhirnya Aldo sampai juga di cafe Dlongop tempat ia berjanjian dengan Kinanti."Hai, Sayang, maaf ya telat. Padahal tadi Mas udah di jalan tapi malah kamu duluan yang sampai.""No problem, Mas. Wajar kamu tslt dan aku sampai dukuan lha jarak cafe ini lebih dekat ke rumahku daripada rumah kamu kan.""Kamu benar, Sayang.""Kamu mau pesan apa, Mas? Kamu sudah makan?" Aldo menggeleng menjawab pertanyaan Kinanti. "Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Kamu kayak gak tau Citra aja. Gak ada duit ya gak ada makanan. Ah, bahkan kalau ada duit pun seringnya juga gak ada makanan di meja.""Iyakah? Yaudah deh kamu mau pesan apa""Samakan saja dengan pesananmu. Mas makan gak pernah memilih kok." Setelah Kinanti memanggil pelayan dan kembali pesan menu yang sama seperti dirinya pesan tadi. Ia kembali mengobrol dengan Aldo. "Parah sekali istrimu itu, Mas. Tapi kenapa gak kamu ceraikan saja sih dia, Mas? Kamu menikah sama aku kan enak hanya aku satu-satunya di hidupmu.""Masalahnya aku kasihan sama dia, Sayang. Orang tuanya miskin. Kalau aku menceraikannya mau tinggal di mana dia. Lagian kalau dia tetap menjadi istriku setelah kita menikah lagi kan kamu bisa menyuruh-nyuruhnya yah anggap saja pembantu gratisan. Ya kan?""Hemm kamu benar juga, Mas. Tapi masalahnya dia kekeh minta uang satu milyar itu gimana dong, Mas?""Itu juga yang aku pusingkan. Meskipun orang tuamu kaya dan gak ada artinya kalau harus mengeluarkan uang segitu banyak tapi
"Kamu memang yang terbaik buatku, Sayang."***Keesokan harinya, Kinanti menepati janjinya untuk membebaskan Ibu Miranti. Kinanti pun membawa serta pengacara keluarganya untuk ikut membereskan semua permasalahan Bu Miranti. Kinanti dan juga Aldo telah membuat janji untuk bertemu di kantor polisi saja agar tidak memakan waktu. Aldo yang terlebih dahulu sampai di kantor polisi pun menunggu Kinanti yang masih dalam perjalanan menuju kantor polisi. Tidak berlama-lama Aldo menunggu, Kinanti pun sampai di kantor polisi di mana Bu Miranti, ibunya Aldo ditahan. "Hai, Mas. Sudah lama menunggu?"Kinanti berjalan menghampiri Aldo yang terlihat duduk di ruang tunggu. Ia menyapa Aldo yang terlihat celingukan mencari seseorang. "Akhirnya kamu datang juga, Sayang. Nggak kok, aku juga baru saja sampai." Aldo tersenyum saat melihat kedatangan Kinanti. "Kenalkan, Mas, ini Om Agus pengacara yang akan membantu Ibu keluar dari sini." Kinanti memperkenalkan Pak Agus kepada Aldo. Aldo mengulurkan ta
"Om, Kinanti mohon Om jangan cerita sama Papa ya. Ini biar jadi masalahnya Kinan saja. Jadi Papa nggak perlu tau," ucap Kinan memelas pada pengacara keluarga nya itu yang bernama Pak Agus. "Sebenarnya itu memang hak klien, Om memang tidak perlu untuk mengatakan hal apa pun kepada orang lain termasuk Papa kamu." Kinanti dapat bernapas lega karena ia sebenarnya juga takut kalau sang papa akan mengetahui semuanya. "Tapi Om sebagai pengacara Pak Anggoro cuma bisa mengingatkan saja. Lebih baik Kamu batalkan niat kamu untuk menikah dengan pria itu. Karena Om melihat lelaki itu cuma mau harta saja. Dia itu tidak bukan pria baik-baik. Apalagi Ibunya. Mereka itu matre. Dia tidak tulus mencintai kamu Kinanti," imbuh Pak Agus menasehati Kinanti panjang lebar agar Kinanti paham dengan apa yang diucapkan Pak Agus. Kinanti yang mendengar ucapan Pak Agus pun menepis semua omongan yang diucapkan Pak Agus barusan. "Itu cuma perasaan Om Agus saja. Mas Aldo nggak seperti itu kok, Om. Mas Aldo dan
"Iya Kinan, Ibu sama Aldo bisa naik taksi kok. Tapi … anu ….""Kenapa, Bu?""Ibu dan Aldo gak punya uang buat naij taksi. Emmm maaf kalau merepotkanmu, Nak, bisa gak kalau kita pinjam dulu uang buat naik taksi? Kamu kan tau kalau uang gaji Aldo itu dikuasai sama Citra sialan itu." Mimik wajah Bu Miranti dibuat sesedih mungkin agar Kinanti mempercayainya. "Oh, iya Ibu tenang saja. Ini Kinanti ada kok. Maaf ya hanya bisa kasih segini soalnya belum narik lagi uang di ATM." Kinanti menyerahkan sepuluh lembar uang berwarna merah pada Bu Miranti. Mendadak wajah tua yang tampak kuyu karena beberapa hari berada di dalam penjara itu seketika berbinar. "Ya ampun terimakasih ya, Kinanti. Kamu memang calon menantu yang terbaik buat Ibu. Memanglah si Aldo ini gak pernah salah pilih." Kinanti tersenyum mendengar ucapan Bu Miranti. Ia pun berpamitan sembari mencium takzim tangan calon mertuanya itu. "Yasudah kalau begitu aku pulang dulu ya., "Ya sudah hati-hati ya, Sayang. Ibu doakan semoga uru
"Nama kamu Citra kan? Ya jelas nyuruh kamu lah." "Aku? Ogah! Suruhlah sana calon menantumu yang katanya baik dan terhormat itu. Aku bukan babu kalian!"Citra pergi berlalu meninggalkan Bu Miranti dan juga Aldo. Citra memasuki kamarnya dan tidak lupa mengunci pintu kamar agar tidak diganggu oleh kedua orang yang sangat menyebalkan menurut Citra. Brak! CeklekCeklek"Lihat tuh, Do! Kelakuan istri kamu itu gak ada sopan-soapannya sama orang tua! Kerjanya memvangkang saja! Sudahlah lebih baik kamu ceraikan saja dia. Dasar istri gak berguna bisanya cuma nyusahin saja." "Ck, sudahlah, Bu, biarkan saja dulu. Ibu lapar kan? Yuk kita beli maka pakai uang yang dikasih Kinanti tadi. Masih ada kan?""Ya masih lah. Gila aja kalau sudah habis masa iya cuma buat bayar ongkos taksi aja langsung habis.""Ya kali kan biasanya juga begitu. dikasih uang langsung deh habis.""Jadi kamu mulai hitung-hitungan sama Ibu, Do?""Ya, ya enggak begitu maksud Aldo, Bu. Aldo cuma …." "Halah, dahlah, nih sana k
"Istri kamu belum keluar juga dari kamar? Kenapa gak minta dia aja sih yang bersihkan. Benar-benar istri tak berguna.""Kelamaan nunggu dia. Udahlah sana istirahat soalnya aku juga mau istirahat. Badanku capek semua."Bu Miranti dan Raya pun akhirnya mengangguk dan mereka beranjak ke dalam kamar yang berada tak jauh dari meja makan tersebut karena memang jarak kamar utama dengan kamar kosong itu memang cukup jauh. Jika kamar utama ada di sebelah ruang tamu maka kamar yang akn digunakan Bu Miranti dan Raya ada di sebelah ruang makan yang gabung dengan dapur. Setelah memastikan Ibu dan Adiknya masuk ke dalam kamar, Aldo juga bergegas untuk masuk ke kamarnya. Entahlah, rasanya malam ini dia tengah berhasrat dan minta untuk dituntaskan sekarang juga. Aldo pun menyusul Citra ke kamarnya, ia menggedor-gedor pintu kamarnya dengan Citra, tetapi tak kunjung dibukakan oleh Citra. DokDokDok"Cit, buka pintunya!"Agak lama Aldo menunggu tetapi Citra tak kunjung keluar juga. TokTokTokAldo
'Bodo amat dah, teriak-teriak aja sana sesuka hati lu,' gumam Citra lalu ia melanjutkan tidurnya. Ia menarik selimut yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. "Dasar mantu gendeng. Dibangunin dari tadi nggak bangun-bangun!"Bu Miranti menggerutu karena membangunkan Citra yang tak kunjung bangun. "Ada apa sih, Bu, berisik banget aku kan kebersisikan nih. Mana sebentar lagi harus berangkat kerja lagi.""Itu lho istri kamu jam segini kok ya gak bangun-bangyn.""Jangankan Ibu, lha aku aja tadi malam dikunciin dari luar mana gak bisa masuk kamar.""Memanglah istri kamu itu perempuan sialan!""Dah ah biarin aja. Aku mau tidur lagi jangan berisik!""Tapi sarapannya gimana?""Halah nanti Ibu beli aja di depan sana. Kalau aku gampang nanti sarapan di kantor aja.""Yaudahlah terserah kamu aja." Akhirnya Bu Miranti kembali masuk ke kamarnya dan kembali tidur.Tanpa Citra sadari, ternyata matahari sudah menunjukkan dirinya untuk semua orang. Ia bergegas bangun dan melihat jam. Ternyata sudah puku
Bu Miranti masih senantiasa duduk di kursi seberangan dengan Citra. Ia berkali-kali mengelap mulutnya. "Uhuk uhuk uhuk." Citra tersedak saat ia memakan gorengan bakwan. Citra bergegas mengambil minum dan meninggalkan nasi uduk yang masih mengepul di atas meja. "Kualat kan kamu sama orang tua!" Bu Miranti mengambil nasi saat Citra sedang mengambil air minum. Saat masuk suapan pertama, Bu Miranti kepedasan dengan nasi uduknya. Bu Miranti kalang kabut saat mulutnya terasa terbakar akibat nasi uduk yang ia makan. Memang Bu Miranti tidak bisa makan pedas. Sedangkan Citra sangat suka sekali sama rasa pedas. Bahkan, bisa sampai level ke lima belas tingkat rasa pedasnya. "Hah hah hah! Air mana air!" Bu Miranti berjalan ingin mengambil air untuk berkumur, tetapi ia menabrak apa pun yang ada di depannya karena sangking panasnya mulut Bu Miranti. "Citra! Gayungnya mana ini? Airnya juga abis lagi. Hah hah hah," teriak Bu Miranti menjulurkan lidahnya sudah mirip seperti anjing. "Nih, aku amb