POV Adam"Iya, Bu. Kondisi kandungan ibu lemah. Jadi, tolong jaga, dan sering-sering periksa setiap Minggu, yah. Nanti saya kasih obat untuk membantu menguatkannya.""Baik, Dok. Terima kasih. Saya pastikan, istri dan anak saya akan baik-baik saja. Sudah lama kami menunggu kehadiran bayi kecil kami. Jadi, kami akan berusaha semaksimal mungkin," jawabku penuh suka cita.Tak menyangka Keberuntungan itu datang. Hanya sekali aku melakukannya, mungkin di masa subur, sehingga apa yang aku harapkan terjadi. Ini pertanda, aku akan selamanya bersama Mira. Tambang uangku tidak akan hilang. Malah, hubungan kami akan semakin kuat karena kehadiran seorang anak."Ini resepnya, jangan lupa nanti kontrol lagi."Aku dan Mira keluar dari ruang dokter setelah mengucapkan terima kasih, dan pamit. Di luar, Mbak Rina sudah menunggu. Dia langsung bertanya ini dan itu. Aku menjelaskan sesuai yang disampaikan dokter."Adam, jaga adikku dan anakmu. Kalau sampai kamu berani menyakitinya lagi, aku akan membawanya
"Kamu harus tanggung jawab, Mas!""Aku tidak bisa, Na. Ibu dan adikku butuh uang. Kamu juga. Sementara gajiku pas-pasan. Aku harus bisa mendapatkan cinta Mira lagi, Na. Agar bisa menguasai hartanya.""Tapi tidak dengan cara menceraikanku, Mas.""Terus gimana caranya? Mira gak bakal mau dipoligami.""Kita tinggal bersandiwara saja.""Maksudnya gimana?""Kita pura-pura bercerai. Toh, kita hanya menikah siri. Tidak harus mengurusnya ke pengadilan. Nanti, aku akan akting menjauhimu dan kabur dari sini. Kita juga bisa buat rekaman pas kita ribut dan kamu pura-pura menalakku.""Aku tidak bisa, Na. Mira bukan perempuan bodoh. Aku tak mau urusannya semakin kacau.""Kalau kamu masih bersikeras menceraikan aku, lihat saja Mas, aku tidak akan tinggal diam. Aku akan bilang sama Mira kalau aku hamil. Agar dia yang menyerah dan menceraikanmu.""Jangan-jangan. Ya sudah, Mas Setuju ide gilamu.""Bagus, gitu dong."Diana merangkulku. Dia bergelayut manja. Ternyata Diana memang perempuan licik. Kalau b
POV Mira"Cepat tanda tangan.""Iya, Mir. Ini semua demi anak kita. Aku tidak peduli soal harta Gono gini dan lainnya."Dengan sok gagah, Mas Adam mendatangi surat perjanjian yang aku buat. Aku sengaja membuat, sebagai langkah antisipasi jika dibodohi Mas Adam lagi.Ini semua dilakukan demi anak. Tidak ada lainnya. Aku memang bisa besarkan anakku sendiri. Soal harta, tak mungkin kekurangan. Bahkan, dari kakek dan neneknya juga berkecukupan untuk membantu memenuhi kebutuhan anakku kelak. Namun, tidak dengan kasih sayang. Selamanya, aku tidak bisa menggantikan posisi ayah dalam hal memberi kasih sayang. Aku tak mau anakku kecewa dan sedih karena orang tuanya berpisah. "Baguslah kalau gitu," pujiku pada Mas Adam. Walaupun aku tidak terlalu percaya jika Mas Adam tidak memandang harta. Biar nanti kita buktikan. Apakah ucapannya memang benar, atau hanya rayuan."Terus, mulai kapan Mas bisa tinggal di sini lagi? Mas gak mau kamu sendiri. Mas ingin menjadi ayah yang siap siaga menjaga anak
Bumi benar-benar mencintaiku? kenapa kata-katanya begitu dalam. Seolah-olah mengekspresikan perasaannya yang mendalam untukku. hatiku tersayat ngilu. Ada campuran rasa nyeri yang mengaduk-ngaduk isi hati ini. "Ra, sudahlah, jangan membuatku berpikir aneh-aneh. Mau Bumi mencintaiku atau tidak, kami tidak akan bersama lebih dari teman. Tentu, kamu tahu alasannya.""Ya, tahu, sih. Tapi, gua harap lu jangan gampang percaya sama Si Adam. Coba selidiki dulu.""Tentu, Ra. Aku bakal cari tahu. Ya, kamu sih, yang bakal aku minta tolong buat cari tahu kebenarannya.""Oke, siap Bu, Bos. Tapi kerjaan gua nambah banyak aja. Jangan lupa naik gaji.""Hahaha, siap sekretaris cantikku.""Oh, tentu gua emang cantik, hihi. Oh, iya, gua belum kenalan sama Dede bayi.""Dede bayi, kenalin nih, Tente Tiara yang cantiknya luar biasa. Di dunia dan di mana-mana.""Di dunia sampai neraka," celetukku sambil terkekeh. Tiara yang mengusap perutku berhenti. Lalu, memanyunkan bibirnya."Ih, Mira. Lu tega banget Ama
"Maksud kamu apa, Mir?" Mas Adam malah balik bertanya. "Ko, malah balik nanya, Mas. Itu rekamannya, kenapa sempat-sempatnya di rekam.""Bukannya kamu yang suruh? aku bawa Diana ke sini buat menyelesaikan masalahnya kamu gak mau. Aku rekam sebagai bukti, malah dicurigai. Terus, aku harus gimana, Mir.""Hmmm."Aku jadi bingung sendiri. Tak tahu membedakan mana kebohongan dan kebenaran. Memang aku yang menyuruh demikian. Ya sudahlah, biar aku selidiki perlahan. Jangan mudah terpancing. Percuma saja menanyakan hal demikian pada Mas Adam. Dia pasti berkilah. Tak boleh bertindak bodoh dengan cara asal menuduh. Aku harus mengumpulkan bukti. Agar suamiku tidak mudah mengelak. "Sayang, sudahlah jangan curigaan terus. Kita fokus membesarkan anak kita saja. Mas hanya mencintaimu.""Oh.""Oh, doang?""Bodoamat. Udahlah, Mas, gak usah sok romantis. Sana, Mas tidur di sofa. Aku mau tidur di kasur.""Loh, kenapa Mas tidur di sofa, Sayang? Mas ingin memelukmu. Agar anak kita merasakan kasih sayang
POV Adam "Mas cepet, aku mau makan kerak telor."Diana merengek karena ngidam. Sialan. Cape sekali punya dua istri yang sama-sama sedang hamil muda. Tadi, baru saja mengabulkan keinginan Mira yang aneh-aneh. Sekarang, ada lagi. "Gak, bisa, Na. Mas harus masuk kerja. Hari ini gajian. Bisa habis aku kalau tidak masuk.""Lah, tadi katanya kamu pulang ke rumah istrimu?""Iya, cuman bawain dia makan, sama beliin dia mangga.""Tuh, pasti Si Mira juga lagi ngidam' kan? tapi, kamu mau nurutin. Kalau sama aku aja gak mau. Awas kamu, Mas. Kalau gak ikutin aku teror istrimu.""Terserah, kamu. Awas saja kalau macam-macam. Mira tahu tentang kebohongan kita, habislah riwayat kita. Aku gak bakal bisa memanjakan kamu lagi dengan uangnya.""Tapi, Mas-"Sambungan telepon aku matikan. Malas meladeni Si Diana. Makin ke sini, sikapnya makin menyebalkan saja. Dia tidak mengerti posisiku. Kalau sampai Mira tahu, pupus sudah harapanku bisa mendapatkan hartanya. Anakku juga jadi korban. Dia pasti menjauhiku
"Coba jelaskan? kamu masih berhubungan dengan perempuan pelakor itu, hah?""Ti-tidak, Sayang. Kamu salah paham.""Halah, salah paham dari Hongkong. Beraninya kamu menipuku, Mas!" teriak Mira penuh emosi.Tampaknya emosi Mira semakin meningkat ketika hamil. Ditambah lagi, dia melihat foto itu. Sebelum hamil saja, amarahnya membeludak bagaikan kekuatan kobaran api yang muncul saat kebakaran."Arrgh, sakit ... perutku."Belum sempat aku menjawab dengan seribu alasan yang aku punya, Mira mendadak kesakitan. Dia terus memegangi perut. Dengan sigap, aku menopang tubuhnya yang hampir ambruk ke lantai."Sayang, kamu kenapa?" tanyaku panik."Pe-perutku, Mas. Sa-sakit sekali."Tanpa banyak tanya lagi, aku bergegas menggendong Mira menuju mobil. Menggunakan kecepatan di atas rata-rata, aku segera melarikan Mira ke rumah sakit. Panik, khawatir dan rasa takut berputar-putar di pikiranku. Kami melupakan sejenak tentang konflik yang terjadi. Bekerja sama supaya bisa memberikan pertolongan pertama u
POV Mira "Gimana, enak tidak pijitan ibu?" tanya ibu mertuaku. "Enak, sering-sering, Bu.""Bisa-bisa, buat menantu kesayangan apa sih, yang enggan bisa."Aku hanya tersenyum miring mendengar perkataan ibu. Tentu saja dia mau bersikap manis seperti itu karena ada maunya. Toh, dalam perutku memang cucunya, wajar kalau dia memanjakanku. "Mi-mir ...."Dengan wajah gugup dan ketakutan, Mas Adam masuk ke kamar. Dia memandang intens ke arahku. Aku hanya diam mengernyitkan dahi. Kenapa dia seperti orang kesetanan?"Apa, Mas? Tiara sudah pulang?" Mas Adam mengaguk. Dia mendekatiku dengan wajah gugup."Kamu kenapa, Dam? kaya abis lihat setan aja.""Iya, Nih, Mas Adam. Mukanya udah kaya cucian yang lagi digiling di mesin cuci. Kacau .... hahaha.""Diam, Ela!" sentak Mas Adam. Pria itu semakin mendekatiku. Ada di sampingku. Wajahnya celingukan seoalah-olah sedang mencari sesuatu. Aku suka ekspresi gusar dari wajahnya. Hidupnya tampak tidak tenang. Begitulah kalau orang dipenuhi kebohongan. Ak