Share

Bab 10

Author: Mami ice bear
last update Huling Na-update: 2025-05-04 13:24:18

Keesokan harinya...

‘Ini mimpi buruk, bukan? Tolong yakinkan aku kalau ini tidak nyata…,’ batin wanita yang kini melihat Niko dan Lisa berjalan santai keluar dari rumah sakit.

“Aku nggak pernah menyangka kalau ini yang kau lakukan di belakangku, Mas…”

Suara Andini tercekat. Hatinya terasa perih. Ia berdiri terpaku, berusaha mencerna kenyataan pahit yang sedang terjadi di depan matanya.

‘Tapi sejak kapan mereka…?’

Andai saja ia membatalkan jadwal mengambil vitamin hari ini. Sudah pasti Andini tidak akan mendapat fakta yang cukup membuatnya tercengang. Atau mungkin … Tuhan sedang berada di pihaknya.

“Aarrgghhh! Dasar brengsek!” umpat Andini keras.

“Bu Andini?”

Hingga sebuah suara mengejutkan Andini yang masih duduk di lantai.

“Dokter…,” lirih Andini.

Wanita berjas putih tersebut langsung membantu Andini berdiri. Lalu merangkul tubuh wanita itu dan membawanya ke sebuah ruangan.

“Ada apa Bu Andini? Kenapa Ibu ada di-”

*******

“Apa kesabaran saya tidak ada harganya, Dok?!”

Suara Andini pecah di tengah ruang konsultasi kecil yang sunyi.

Matanya merah dan bengkak, nafasnya tak beraturan. Tubuhnya masih gemetar saat ia menatap dokter wanita yang duduk di hadapannya. Tangan Andini meremas ujung blazernya, menciptakan lipatan-lipatan yang mencerminkan isi hatinya yang kusut.

Dokter berjas putih tersebut terdiam sejenak, mencoba memahami gejolak yang meluap dari pasiennya. Wajahnya tampak terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang.

“Tentu saja tidak, Bu Andini. Bu Andini adalah salah satu dari banyak wanita yang sedang diuji kesabarannya,” ucap dokter itu pelan, dengan nada sehalus kapas. “Percayalah, sabar itu akan berbuah manis. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.”

Andini menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya dengan mata basah dan rahang mengeras.

“Tapi… kenapa, Dok? Kenapa suami saya malah menghamili wanita lain disaat saya sedang berjuang untuk punya anak? Saya rela jalani semua program yang diberikan. Saya ikhlas menahan rasa sakit, tekanan, dan pertanyaan miring dari keluarga dan orang-orang sekitar setiap hari. Tapi dia… dia malah berbuat begini?”

Nada suaranya bergetar. Tangannya kembali mengepal, kali ini menggenggam sisi meja seakan ingin menyalurkan seluruh amarah yang tak bisa ia muntahkan di luar sana.

Dokter itu menarik napas dalam dan perlahan mencondongkan tubuhnya ke depan, menunjukkan kepedulian yang tulus.

“Suami Ibu… maksudnya, Tuan Niko?” tanyanya hati-hati.

Andini mengangguk cepat, matanya tak lepas dari wajah dokter yang kini tampak mulai cemas.

“Pasangan yang barusan keluar dari sini. Wanita itu bilang dia telat sepuluh minggu. Dan laki-laki di sebelahnya itu adalah Niko… suami saya. Mereka terlihat seperti pasangan yang sangat dekat. Mereka datang ke sini… bersama kan, Dok! Seperti layaknya suami istri yang bahagia menyambut kedatangan sang buah hati. Dan saya…” Andini terdiam sejenak, suaranya tercekat. “Saya melihat semuanya.”

Dokter wanita itu tampak terkejut, tapi raut wajahnya segera berubah. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang seperti menyimpan keganjilan. Wanita itu bersandar ke kursinya, bibirnya menekan satu sama lain sebelum akhirnya berkata dengan pelan namun tegas.

“Maaf… Bu Andini, saya tidak tahu bagaimana menyampaikan ini. Tapi... hari ini, Tuan Niko datang ke rumah sakit buka sekedar memeriksakan kandungan. Ia meminta agar kami melakukan tes DNA pada janin Nyonya Lisa setelah usia kandungannya memungkinkan.”

Andini terperanjat. Dadanya naik turun cepat. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah dokter.

“Apa maksud dokter? Tes DNA?”

“Ya. Kami belum menjadwalkannya karena usia kandungan belum cukup untuk pengambilan sampel aman. Tapi permintaan itu... datang dari beliau sendiri.”

Andini terdiam membeku. Untuk sesaat, suara di ruangan itu lenyap. Hanya suara detak jarum jam di dinding yang terasa menohok di telinganya. Wanita dengan blazer navy tersebut mencoba mencerna ucapan dokter kandungan di depannya, satu per satu.

“Jadi… Niko belum yakin kalau… kalau itu anaknya?”

“Benar,” jawab dokter itu hati-hati. “Kalau saya boleh jujur, Bu Lisa tampak terlalu mendesak saat konsultasi awal. Ia sangat yakin bahwa Tuan Niko ayah dari janin itu, tapi Tuan Niko... tidak menunjukkan keyakinan yang sama.”

Andini tertawa kecil, getir. “Jadi namanya Lisa ya Dok.”

Detik berikutnya, Andini berdiri perlahan dari kursi yang ia duduki. Kedua tangannya menahan sisi meja agar tak jatuh karena tubuhnya masih gemetar.

“Terima kasih, Dokter. Saya... saya harus pulang.”

Dokter itu berdiri juga, namun sempat menahan tangan Andini sejenak. “Bu Andini, mohon jangan ambil keputusan apapun saat masih dalam kondisi emosi seperti ini. Pulanglah, tenangkan diri dulu. Kalau Ibu butuh seseorang untuk bicara, saya ada di sini.”

Andini mengangguk singkat, meski matanya tak benar-benar menatap dokter itu.

Langkahnya keluar dari ruangan terasa berat, tapi kali ini berbeda. Ada luka yang masih berdarah meski tak terlihat. Ia belum tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun satu hal pasti, dirinya tidak selemah yang selama ini Niko kira. Dan kali ini, Andini tidak akan tinggal diam.

“Kamu lupa siapa lawanmu, Mas.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 49

    Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 48

    “Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 47

    [Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 46

    "Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 45

    “Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 44

    “Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status