Keesokan harinya...
‘Ini mimpi buruk, bukan? Tolong yakinkan aku kalau ini tidak nyata…,’ batin wanita yang kini melihat Niko dan Lisa berjalan santai keluar dari rumah sakit. “Aku nggak pernah menyangka kalau ini yang kau lakukan di belakangku, Mas…” Suara Andini tercekat. Hatinya terasa perih. Ia berdiri terpaku, berusaha mencerna kenyataan pahit yang sedang terjadi di depan matanya. ‘Tapi sejak kapan mereka…?’ Andai saja ia membatalkan jadwal mengambil vitamin hari ini. Sudah pasti Andini tidak akan mendapat fakta yang cukup membuatnya tercengang. Atau mungkin … Tuhan sedang berada di pihaknya. “Aarrgghhh! Dasar brengsek!” umpat Andini keras. “Bu Andini?” Hingga sebuah suara mengejutkan Andini yang masih duduk di lantai. “Dokter…,” lirih Andini. Wanita berjas putih tersebut langsung membantu Andini berdiri. Lalu merangkul tubuh wanita itu dan membawanya ke sebuah ruangan. “Ada apa Bu Andini? Kenapa Ibu ada di-” ******* “Apa kesabaran saya tidak ada harganya, Dok?!” Suara Andini pecah di tengah ruang konsultasi kecil yang sunyi. Matanya merah dan bengkak, nafasnya tak beraturan. Tubuhnya masih gemetar saat ia menatap dokter wanita yang duduk di hadapannya. Tangan Andini meremas ujung blazernya, menciptakan lipatan-lipatan yang mencerminkan isi hatinya yang kusut. Dokter berjas putih tersebut terdiam sejenak, mencoba memahami gejolak yang meluap dari pasiennya. Wajahnya tampak terkejut, tapi ia berusaha tetap tenang. “Tentu saja tidak, Bu Andini. Bu Andini adalah salah satu dari banyak wanita yang sedang diuji kesabarannya,” ucap dokter itu pelan, dengan nada sehalus kapas. “Percayalah, sabar itu akan berbuah manis. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti.” Andini menggeleng pelan, lalu mengangkat wajahnya dengan mata basah dan rahang mengeras. “Tapi… kenapa, Dok? Kenapa suami saya malah menghamili wanita lain disaat saya sedang berjuang untuk punya anak? Saya rela jalani semua program yang diberikan. Saya ikhlas menahan rasa sakit, tekanan, dan pertanyaan miring dari keluarga dan orang-orang sekitar setiap hari. Tapi dia… dia malah berbuat begini?” Nada suaranya bergetar. Tangannya kembali mengepal, kali ini menggenggam sisi meja seakan ingin menyalurkan seluruh amarah yang tak bisa ia muntahkan di luar sana. Dokter itu menarik napas dalam dan perlahan mencondongkan tubuhnya ke depan, menunjukkan kepedulian yang tulus. “Suami Ibu… maksudnya, Tuan Niko?” tanyanya hati-hati. Andini mengangguk cepat, matanya tak lepas dari wajah dokter yang kini tampak mulai cemas. “Pasangan yang barusan keluar dari sini. Wanita itu bilang dia telat sepuluh minggu. Dan laki-laki di sebelahnya itu adalah Niko… suami saya. Mereka terlihat seperti pasangan yang sangat dekat. Mereka datang ke sini… bersama kan, Dok! Seperti layaknya suami istri yang bahagia menyambut kedatangan sang buah hati. Dan saya…” Andini terdiam sejenak, suaranya tercekat. “Saya melihat semuanya.” Dokter wanita itu tampak terkejut, tapi raut wajahnya segera berubah. Ada sesuatu dalam ekspresinya yang seperti menyimpan keganjilan. Wanita itu bersandar ke kursinya, bibirnya menekan satu sama lain sebelum akhirnya berkata dengan pelan namun tegas. “Maaf… Bu Andini, saya tidak tahu bagaimana menyampaikan ini. Tapi... hari ini, Tuan Niko datang ke rumah sakit buka sekedar memeriksakan kandungan. Ia meminta agar kami melakukan tes DNA pada janin Nyonya Lisa setelah usia kandungannya memungkinkan.” Andini terperanjat. Dadanya naik turun cepat. Matanya menyipit, menatap tajam ke arah dokter. “Apa maksud dokter? Tes DNA?” “Ya. Kami belum menjadwalkannya karena usia kandungan belum cukup untuk pengambilan sampel aman. Tapi permintaan itu... datang dari beliau sendiri.” Andini terdiam membeku. Untuk sesaat, suara di ruangan itu lenyap. Hanya suara detak jarum jam di dinding yang terasa menohok di telinganya. Wanita dengan blazer navy tersebut mencoba mencerna ucapan dokter kandungan di depannya, satu per satu. “Jadi… Niko belum yakin kalau… kalau itu anaknya?” “Benar,” jawab dokter itu hati-hati. “Kalau saya boleh jujur, Bu Lisa tampak terlalu mendesak saat konsultasi awal. Ia sangat yakin bahwa Tuan Niko ayah dari janin itu, tapi Tuan Niko... tidak menunjukkan keyakinan yang sama.” Andini tertawa kecil, getir. “Jadi namanya Lisa ya Dok.” Detik berikutnya, Andini berdiri perlahan dari kursi yang ia duduki. Kedua tangannya menahan sisi meja agar tak jatuh karena tubuhnya masih gemetar. “Terima kasih, Dokter. Saya... saya harus pulang.” Dokter itu berdiri juga, namun sempat menahan tangan Andini sejenak. “Bu Andini, mohon jangan ambil keputusan apapun saat masih dalam kondisi emosi seperti ini. Pulanglah, tenangkan diri dulu. Kalau Ibu butuh seseorang untuk bicara, saya ada di sini.” Andini mengangguk singkat, meski matanya tak benar-benar menatap dokter itu. Langkahnya keluar dari ruangan terasa berat, tapi kali ini berbeda. Ada luka yang masih berdarah meski tak terlihat. Ia belum tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Namun satu hal pasti, dirinya tidak selemah yang selama ini Niko kira. Dan kali ini, Andini tidak akan tinggal diam. “Kamu lupa siapa lawanmu, Mas.”Andini mendekat. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara, tapi penuh tekanan tak kasatmata yang menggulung seperti badai kecil dalam kamar mereka. Begitu jarak cukup dekat, ia berdiri tegak di depan Niko. Kepalanya sedikit mendongak, sedangkan sorot matanya menusuk lurus ke arah mata pria itu, seperti sedang menilai seekor serigala yang menyamar jadi manusia.“Denger ya, Mas,” ucapnya datar, nyaris tanpa nada. Tapi justru itu yang membuat ucapannya menggigit.“Mbok Nah itu memang pembantu, tapi dia tahu tempatnya di mana. Dia nggak sok pamer status mentang-mentang aku baikin, dia juga nggak ngelunjak. Nggak datang tanpa diundang kayak jaelangkung, apalagi bawa koper segede gaban kayak mau ngungsi.”Andini berhenti sejenak, nafasnya naik-turun perlahan, menahan emosi yang mengendap di dada. Lalu suaranya kembali terdengar, lebih tajam.“Sementara istri barumu itu—baru juga lima menit masuk rumah ini, udah ngajak ribut hawanya. Mau minta privilege karena lagi hamil? Emang dia siapa? Karn
“Ya sudah, suruh saja dia tidur di kamar pembantu.”Suara Andini terdengar datar, tanpa jeda sedikit pun untuk sekedar setitik empati. Keputusan telah dibuat, dan nada bicaranya menutup semua peluang kompromi yang coba diusik oleh Niko. Laki-laki itu pun hanya bisa menatap punggung istrinya yang kini mulai melangkah naik ke lantai dua, meninggalkan ruang tamu dengan Lisa dan Ibu Rukmini yang masih mematung. Suasana di bawah nyaris membeku, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar.Namun rupanya, Niko belum siap menyerah.Langkahnya tegas mengayun cepat ke lantai atas, menyusul Andini yang baru saja masuk ke kamar. Ia menutup pintu perlahan, mencoba agar percakapan selanjutnya tidak terdengar orang rumah. Tapi siapa pun tahu, itu percuma saja.“Jangan gitu dong, Sayang,” bujuk Niko sambil mendekat, mencoba menyentuh bahu istrinya.Andini hanya menepis tangan itu pelan, lalu menghempaskan tubuh ke kursi rias. Ia mengambil kapas dan mulai menghapus sisa make up di wajahnya, ge
“Tolong kasih tahu kalau kamu tahu dimana Nino, Ndin.” Suara Niko terdengar pelan namun terdesak. Ada kecemasan samar di balik nada bicara laki-laki itu, tapi Andini tak menggubrisnya. Ia menyandarkan punggung ke tembok dengan santai. Alis kirinya terangkat. “Kenapa tanya aku? Aku kan cuma kakak iparnya,” jawab Andini datar. Bibirnya menyeringai kecil dan kembali melanjutkan. “Coba tanya mantan pacar, alias mantan calon istrinya, yang sekarang jadi ... kakak iparnya juga. Kali aja dia tahu.” Kata-kata Andini tak hanya tajam, tapi juga menusuk tepat ke titik malu seseorang yang masih punya harga diri. Sayangnya, wanita yang ia tuding hanya berdiri tegak, tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tak ada gerakan menunduk, apalagi rasa bersalah. Andini mendesis pelan. Matanya menatap tajam ke arah Lisa, menilai gerak-gerik yang tak berubah. ‘Benar-benar tak punya malu rupanya, cih!’ batinnya menggeram. Ia memiringkan kepala sedikit, seolah memperjelas arah serangannya berikutnya. “Lagia
“Lha kok tanya saya? Kan anak situ, bukan anak saya.”Suara Andini terdengar tenang, namun tajam. Ucapannya seperti pisau yang menusuk ke dasar harga diri sang mertua.“Jangan kurang ajar kamu, Andini!” bentak Rukmini lantang, nadanya melengking menusuk gendang telinga.Andini memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Perlahan ia membuka kelopak mata dan melangkah maju, tubuhnya tegak. Suasana mendadak menegang. Tiap ketukan hak sandalnya di lantai membuat jantung Rukmini berdegup lebih cepat.Ia kini berdiri tak sampai dua langkah dari sang mertua.“Coba ulangi kata-kata Ibu,” ucap Andini, pelan namun penuh tekanan. “Aku nggak terlalu denger tadi.”Rukmini spontan menelan ludah. Glek! Tangan tuanya gemetar kecil, dan sorot matanya berusaha menghindar dari tatapan menantunya yang tajam. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.“Ma—mau apa kamu, Andini?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar, patah-patah, bahkan nyaris tertelan rasa gugupnya sendiri.Andini menaikkan satu alis, l
“Tolong jangan bertele-tele, Andin.”Nada suara Niko terdengar mulai kehilangan kesabaran. Ia berdiri tegak, dengan dada membusung, namun wajahnya menyimpan gelisah yang tak bisa ditutupi. Di sampingnya, Lisa berdiri kaku. Tangannya saling menggenggam erat di depan perut yang masih belum terlihat membuncit, mencoba terlihat tenang meski jelas matanya menyapu seisi ruangan dengan angkuh.Andini mengangkat wajah, menatap lurus ke arah sang suami. Tatapannya menusuk, tanpa senyum, tanpa basa-basi.“Siapa yang sebenarnya bertele-tele, Mas?” balas Andini dengan suara datar namun tegas.Ia melangkah pelan, dan mendekat. Pandangannya berpindah dari Niko ke Lisa. Tatapan tajamnya membuat Lisa menunduk tanpa sadar, seolah tengah diperiksa oleh seorang hakim.Tak ada keramahan di wajah Andini. Tak ada raut lembut yang dulu sempat menghiasi setiap interaksi mereka. Yang terlihat hanya ketegasan dan dingin yang mencekam.“Aku bawa Lisa kemari untuk tinggal bersama kita,” ucap Niko pada akhirnya
“Sayang … ini Lisa. Aku sama Lisa udah nikah tadi pagi.” Suara Niko terdengar tenang, bahkan sedikit santai, seolah yang ia ucapkan bukanlah sebuah pengkhianatan besar terhadap pernikahannya sendiri. Sementara Andini duduk di kurai teras, mengenakan daster bermotif bunga dan menyilangkan kakinya dengan santai. Di pangkuannya, sebuah ponsel menyala dengan suara film romcom dari negeri seberang yang ia tonton sambil menyeruput teh hijau. Aroma pandan dan jahe dari kue yang baru saja ia makan amat menenangkan, kontras dengan situasi yang baru saja dilemparkan ke wajahnya. Sekilas, Andini melirik ke arah dua sosok yang berdiri di sisi kirinya. Tak ada keraguan di mata Niko, dan Lisa tampak berdiri dengan percaya diri tepat di samping suami barunya, bahkan keduanya sama sekali tidak menunjukkan sedikitpun rasa bersalah. Andini hanya menatap mereka sepersekian detik sebelum akhirnya kembali memfokuskan perhatian