Share

Bab 9

Author: Mami ice bear
last update Huling Na-update: 2025-05-04 13:00:45

Di dalam mobil, Niko tampak gelisah.

“Jadi, kita ke cafe mana?” tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin. “Lalu rumah sakit mana?”

Lisa yang duduk di sebelahnya melipat tangan di dada. “Ke Rumah Sakit Keluarga Terpadu. Itu rumah sakit terdekat.”

Mendengar jawaban itu, ekspresi Niko berubah drastis.

“Rumah Sakit Keluarga Terpadu? Tapi… Andini juga periksa di sana,” suaranya sedikit panik.

Lisa menoleh dengan ekspresi sinis. “Lalu apa masalahnya?”

“Rumah sakit itu bukan punya istrimu sendiri, kan? Sampai orang lain nggak boleh periksa di sana?” lanjutnya ketus.

Niko menghela napas. “Bukan begitu, Sayang. Aku hanya terkejut, itu saja.”

“Lagian, wanita mandul itu ngapain sih pake capek-capek periksa ke rumah sakit segala. Udah mandul mah, ya mandul aja! Nggak usah banyak bertingkah!” papar Lisa yang terlihat jelas sangat tidak menyukai Andini, istri sah Niko.

Pras diam. Tangannya semakin erat menggenggam kemudi. Saat ini, pikirannya penuh dengan berbagai skenario buruk.

Bukan hanya soal Andini ataupun Lisa. Tapi tentang apa yang akan terjadi jika sang mengetahui perselingkuhannya, tapi juga tentang dampak dari semua itu.

Jika sampai Andini tahu perselingkuhannya dengan Lisa, itu berarti semuanya berakhir.

Bukan hanya tentang rumah tangganya yang hancur, tapi juga uang bulanan yang mengalir ke rekeningnya, biaya hidup keluarganya, bahkan kuliah adiknya. Tanpa Andini, Niko bisa saja kehilangan segalanya.

Lisa yang menyadari jika Niko tengah melamun segera menatapnya tajam dan kembali berseru. “Ingat ya, Mas! Jangan harap kamu bisa kabur. Orang tuaku sudah sampai di sini, dan kita akan langsung menikah besok!”

“Tapi bagaimana dengan Andini, Sayang?” tanya Niko, suaranya nyaris berbisik.

Lisa mendengus. “Terserah kamu mau apakan wanita mandul itu! Toh dia nggak bisa kasih kamu anak, sementara aku justru sudah hamil anakmu. Harusnya kamu itu lebih membelaku dong daripada dia.”

“Ceraikan saja dia! Wanita nggak guna juga!” sambung Lisa yang menggebu-gebu.

Kata-kata itu seketika membuat ingatan Niko melayang pada kejadian beberapa bulan lalu.

Saat itu, ia sedang bersama Lisa di pusat perbelanjaan, membantu wanita itu membeli ponsel baru. Tanpa diduga, ia bertemu dengan ibu dan kedua saudara perempuannya di tempat yang sama.

Saat itu, Niko sudah merasa jantungnya mau copot. Ia mengira keluarganya akan marah besar karena melihatnya bersama wanita lain. Tapi ternyata, yang terjadi justru sebaliknya.

Alih-alih menegur, ibunya justru menyambut Lisa dengan ramah.

“Jadi, Nak Lisa di sini sendirian?” tanya Bu Rukmini, ibunya.

Lisaa yang saat itu masih agak canggung, hanya mengangguk.

“Lalu, Nak Lisa tinggal di mana?” lanjut Bu Rukmini, matanya meneliti tubuh lawan bicaranya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Saya tinggal di kost-kostan tak jauh dari sini, Bu,” jawab Lisa sopan.

Bu Rukmini tersenyum. “Jangan panggil Ibu, panggil saja Tante biar lebih akrab.”

Niko sempat berpikir ibunya akan menegurnya habis-habisan. Tapi ternyata, ibunya justru bersikap manis kepada Lisa. Dan semua itu semakin jelas saat wanita berambut pendek tersebut dengan santai mengatakan bahwa ia adalah anak bungsu seorang pengusaha furnitur terkenal.

Saat itu, Niko bisa melihat mata ibunya berbinar penuh keserakahan.

‘Bagus! Dengan begini, ATM berjalan ku jadi tambah satu. Kamu memang terbaik, Niko! Lagi pula, laki-laki itu bisa memiliki empat istri. Kan bagus, kalau punya empat menantu dan semuanya ladang duit,’ batin Rukmini dengan bangga.

Dulu, ibunya memang sempat menyukai Andini, tapi semua berubah sejak mengetahui bahwa Andini diduga mandul.

Dan kini, melihat ada wanita lain yang lebih muda, lebih menarik, dan yang paling penting, datang dari keluarga kaya, Bu Rukmini tampak langsung mendukung hubungan Niko dan Lisa.

“Sejak kapan kalian pacaran? Kamu tahu kan kalau Niko ini pria beristri?” celetuk seorang wanita yang kini dengan santai mengaduk coffee latte di depannya.

“Rara!” bentak Rukmini.

“Apa sih, Bu? Kan aku cuma tanya.”

Tak disangka, respon yang diberikan Rara, kakak perempuan Niko, sangatlah santai. Seolah tidak merasa bersalah sama sekali.

****

“Kok malah ngelamun sih Mas! Ayo turun, kita sudah sampai!”

(Flashback Off)

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 49

    Prak! “Apa kamu mau bikin kita celaka, huh?!” Suara Andini menggema di sepanjang tepi jalan yang agak sepi. Tangannya baru saja mendarat keras di atas helm yang masih menempel di kepala Nino. Pemuda itu tersentak. Tubuhnya menegang sesaat. Dia menoleh pelan, wajahnya memucat, tatapannya kosong tak berani menatap balik kakak iparnya. “Maaf, Mbak. Aku—” “Kalau kamu udah bosan hidup dan pengen buru-buru mati, ya jangan ajak-ajak orang lah!” bentak Andini, suaranya meninggi. Nada bicaranya tajam, menusuk, dengan raut wajah yang tak lagi bisa disembunyikan amarahnya. Ayu dan Gina, yang baru saja turun dari mobil, langsung mendekat. Mereka saling berpandangan, tahu benar kalau suasana tidak sedang baik-baik saja. “Tenang, Ndin … tenang. Sabar,” ucap Ayu sambil menepuk pelan bahu sahabatnya. “Nggak! Aku nggak akan bisa tenang, apalagi sabar!” seru Andini sambil mengangkat tangan. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. Ia melangkah maju, menatap Nino tajam. “Oke memang, aku itu rindu

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 48

    “Aku nggak tau harus ngomong apa—”“Nggak usah banyak omong. Ayo cepet. Ntar kemaleman.”Nada suara Andini terdengar dingin dan tegas, nyaris tanpa celah untuk dibantah. Ia bahkan tak menoleh ke arah Nino saat berbicara. Sorot matanya lurus menatap ke depan, penuh ketegasan.Nino hanya bisa menelan ludah, mengangguk kecil meski tubuhnya tampak ragu. Jari-jarinya menggenggam kunci motor dengan gelisah, sementara pandangannya terus melirik ke arah ketiga perempuan di hadapannya.Sore itu, langit berwarna kelabu pucat, seperti mencerminkan perasaan yang bergemuruh dalam dada keempat orang yang hendak memulai perjalanan ini.Andini berdiri di samping Nino, bersikap tenang tapi jelas-jelas tidak sepenuhnya nyaman. Di belakang mereka, dua sahabat Andini, Ayu dan Gina, berdiri berdampingan. Ayu menggigit bibir, sedangkan Gina sesekali memeriksa ponsel. Keduanya sama-sama menyadari bahwa ini bukan perjalanan biasa.Setelah memastikan semuanya

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 47

    [Mbak... Kita jadi kan malam ini?]Sebuah pesan masuk ke ponsel Andini, membuat matanya langsung terfokus pada layar. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik balasan sambil mengerutkan dahi. Wajahnya tampak serius, tanpa senyum, seolah beban yang ia tanggung makin bertambah berat.[Jadi. Kita ketemu di tempat yang sudah aku tentukan.]Tak lama setelah ia mengirim pesan itu, suara serak dan pelan terdengar dari arah dapur. "Siapa, Neng? Kok serius banget mukanya?"Andini mengangkat kepala pelan. Mbok Ratmi berdiri di ambang pintu, mengeringkan tangannya dengan celemek. Wajah keriputnya tampak khawatir, seperti mencoba membaca pikiran Andini dari ekspresi wajah yang dingin dan tak biasa."Nino, Mbok," jawab Andini singkat, matanya kembali menatap layar ponsel meski tak ada pesan baru yang masuk.Kening Mbok Ratmi berkerut, matanya menyipit mencoba mengingat-ingat. "Nino? Adik bungsu Mas Niko, itu ya?"Andini mengangguk pelan

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 46

    "Lho, kamu cepet banget udah balik lagi, Nik?"Rukmini mengangkat alis saat melihat anak laki-lakinya masuk ke rumah dengan langkah tergesa. Wajahnya kusut, rautnya penuh amarah yang jelas tak disembunyikan. Tanpa menyapa atau melepas sepatu, Niko langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa, membuang napas keras sambil menelungkupkan kepala ke sandaran."Kamu belum sampai rumah?" tanya Rukmini, nadanya lebih tajam kali ini."Udah, Bu. Tapi langsung pergi lagi aja. Sengaja," jawab Niko pendek, matanya tak menoleh sedikit pun.Rukmini berdiri di ambang pintu ruang tamu, kedua tangannya bertumpu di pinggang. Ia menyipitkan mata, memperhatikan ekspresi putranya yang terlihat jengkel."Sengaja? Maksudmu apa, Niko?"“Kamu udah nggak sabar ngelamar Lisa?”Niko mendongak, raut wajahnya semakin gelap. "Tadi mobilkusempat bocor bannya. Untungnya udah deket rumah, jadi bisa tinggalin di bengkel deket pintu kompleks." Ia me

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 45

    “Aku merasa… Mas Niko mulai mengkhianati janji suci kami, Mbok…”Suaranya lirih, namun menghujam tajam. Ruang makan yang tadinya hanya dihuni suara detak jam dinding, kini mendadak dipenuhi keheningan yang berat. Mbok Ratmi, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menghentikan gerakannya. Cangkir itu nyaris tergelincir dari tangannya jika wanita tua itu tak segera menggenggamnya erat.Perlahan, ia menoleh. Wajah tuanya tampak menegang, dan mata yang biasa teduh kini memandang Andini dengan sorot cemas.“Maksudnya, Neng?” tanyanya pelan, hampir berbisik. Ia tidak ingin langsung menarik kesimpulan. Tapi dari nada suara Andini, dari sorot matanya yang sayu, dari jemarinya yang terus bermain dengan ujung baju, Mbok Ratmi tahu bahwa yang hendak disampaikan bukanlah hal kecil.Andini duduk membungkuk di kursinya, kedua tangannya saling bertaut erat di pangkuan. Wajahnya tertunduk, dan nafasnya tertahan di kerongkongan. Ia tak segera menjawab, seakan sedang memilih kata yang paling ti

  • Kukembalikan Suami Benalu pada Ibunya   Bab 44

    “Aku hanya kembali mempekerjakan Mbok Ratmi. Apa itu salah?” ujar Andini, tenang tapi tajam.Niko menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada yang berkecamuk di dalamnya, bukan sekadar marah. Sorot mata itu memancarkan kebingungan, frustasi, dan rasa kehilangan kendali yang mulai merayap diam-diam.“Kita itu suami istri, Andin,” ucap Niko akhirnya, suaranya sedikit menurun, seolah ingin menarik kembali tensi yang sempat melonjak. “Kita harusnya bisa membicarakan semua ini baik-baik.”Ia berjalan mendekat, berdiri beberapa langkah di hadapan sang istri yang masih duduk di tepi ranjang. “Bukan malah membicarakannya di tempat umum seperti tadi.”Andini tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena getir. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Niko, tatapannya tajam namun lelah.“Kita?” ia mengulang dengan nada sinis. “Kapan terakhir kali kamu benar-benar mau mendengar pendapatku, Mas?”Niko bungkam. Hanya bibirnya yang sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bahunya m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status