"Mas, ini semua salah Mbak Annisa," kata Lily. "Apa? Kenapa kamu jadi menyalahkan Annisa?" tanya Dani. "Mas, Bu, Mbak Annisa yang menjebak aku dan mengedarkan video itu. Dia menaruh dendam padaku dan keluarga kita, karena aku merekamnya saat menganiaya ibu. Jadi ia menggunakan cara yang sama untuk memfitnah dan menjatuhkan aku," kata Lily. "Memangnya Annisa dimana? Apa kamu tahu keberadaan istri dan anakku sekarang?" tanya Dani. "Mm.. Sebenarnya dia masih ada di kota ini, Mas. Aku tahu dimana dia sekarang," kata Lily. "Apa? Kenapa kamu tidak memberitahu Mas? Kamu pasti tahu betapa pusingnya Mas mencari mereka," kata Dani. "Maafkan aku, Mas. Mbak Annisa melarang aku memberitahu Mas dimana dia tinggal sekarang. Bahkan dia sampai mengancam aku, jika aku memberitahu Mas, dia akan melakukan sesuatu yang buruk padaku. Aku tidak menyangka kalau Mbak Annisa tega berbuat seperti ini padaku. Bagaimanapun juga, aku ini adik iparnya. Dia malah melakukan sesuatu yang merusak nama baik dan ma
Annisa memandang kepergian suami, mertua, dan adik iparnya dengan kesal. Beberapa karyawan yang mendengar keributan itu juga turut menatap Annisa dengan prihatin. Annisa juga bersyukur, karena Shafira sedang tidak bersamanya. Annisa tidak sampai hati membayangkan putri kecilnya harus mendengar semua pertengkaran dan kata-kata kasar seperti tadi. "Mama.." kata Shafira dengan senang sambil berlari kecil menyongsong Annisa. "Hai sayang," kata Annisa sambil memeluk Shafira. "Ma, Tante Karina membelikan aku mainan ini," kata Shafira dengan riang. "Beli mainan lagi? Wah, kamu terlalu memanjakan Shafira, Rin," kata Annisa sambil beralih menatap Karina. "Ah, gak apa-apa lah, kan gak setiap hari. Kasihan Shafira, pasti bosan kamu ajakin kerja setiap hari," kata Karina. "Ya sudah, Shafira main dulu ya. Mama mau bicara sama Tante Karina dulu," kata Annisa. Shafira mengangguk dan berlari sambil memeluk mainan yang baru saja didapatnya. Shafira menuju ke sudut ruangan itu, tempat biasanya
"Kamu lupa sama aku? Aku Surya, kita bersekolah di SMA yang sama. Aku kakak kelasmu dulu. Masa kamu lupa?" tanya Surya pada Annisa. "Oh, Mas Surya. Maaf saya baru ingat, Mas," kata Annisa sambil tersenyum. Surya mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Annisa dengan erat. Pria tampan dan berkacamata itu terlihat sedikit berbeda. Surya terlihat lebih dewasa, tampan, dan berkharisma. "Iya, sudah lama sekali kita tidak berjumpa. Wah, ini anakmu? Cantik sekali seperti ibunya," kata Surya. "Ah, Mas Surya bisa saja, pintar memuji. Mas bersama siapa?" tanya Annisa. "Aku sendirian saja, kebetulan ingin mencoba makan siang di sini. Kamu berdua saja dengan anakmu?" tanya Surya. "Oh, aku bersama adik sepupuku, itu dia," kata Annisa sambil menunjuk ke arah Karina. "Oo begitu, apa aku boleh bergabung bersama kalian?" tanya Surya. "Boleh saja, Mas. Ayo, kita ke sana!" kata Annisa. Surya mengikuti langkah Annisa dan Shafira. Sesekali ia menggoda Shafira yang berlari-lari kecil. Surya dudu
Malam itu Annisa dan Karina masih mengemas beberapa paket pakaian milik pelanggan yang sudah selesai dicuci dan disetrika. Karina melihat beberapa kali Annisa seperti sedang memikirkan sesuatu dan tidak banyak bicara sejak pertemuannya dengan Surya tadi sore. "Nis, kamu kenapa? Kamu melamun ya? Aku perhatikan sejak tadi sore kamu lebih banyak diam. Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Karina. "Sebenarnya, Mas Surya menyatakan sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Dia mengatakan bahwa sebenarnya sudah lama ia menyukai aku. Jika aku bercerai dengan Mas Dani, dia mau menikahi aku," ucap Annisa. "Apa?! Memangnya dia pernah menunjukkan rasa sukanya padamu sebelumnya?" tanya Karina penasaran. "Justru itu, karena dia tidak pernah mengatakan atau menujukkannya padaku, aku jadi terkejut saat dia mengatakan hal itu. Katanya dulu dia memendam perasaannya padaku, karena melihat aku sudah bahagia bersama Mas Dani. Memang, kalau aku ingat lagi, dulu Mas Surya memang sering memperhatik
Prangg.. Gelas sedang dipegang oleh Annisa tiba-tiba saja jatuh. Annisa tersentak dan terdiam beberapa saat sambil memandangi pecahan gelas yang tersebar di lantai. "Nis, kamu kenapa?" tanya Karina. "Aku juga tidak tahu, Rin. Tapi tiba-tiba perasaanku tidak enak. Apakah akan terjadi sesuatu yang tidak baik?" gumam Annisa. "Jangan percaya pada hal-hal seperti itu! Mungkin kamu hanya kelelahan, istirahatlah sebentar, biar kami yang menyelesaikan pekerjaan ini!" ucap Karina sambil mengantarkan Annisa ke dalam kamar. Seorang karyawan membersihkan pecahan gelas itu, lalu semuanya kembali bekerja seperti biasanya. Di dalam kamar, Annisa berusaha menenangkan dirinya. Ia membaringkan tubuhnya di samping Shafira yang sedang tidur. Namun Annisa masih terus merasa gelisah dan tidak mengerti apa yang membuat hatinya terasa tidak nyaman. Annisa mencoba membaringkan tubuhnya lagi dan memejamkan mata. Tiba-tiba ponsel Annisa berdering, ia segera mengambilnya dan melihat sebuah nomor yang belum
"Ternyata Mas Dani masih memiliki rasa cinta dan peduli pada aku dan Shafira, Rin," kata Annisa sambil menangis haru. "Iya, Nis. Aku percaya sebenarnya Mas Dani orang yang baik dan menyayangi keluarganya. Namun ia harus berada di situasi yang sulit, karena ibu dan adiknya bersikap egois," ujar Karina. "Semoga Mas Dani baik-baik saja dan bisa pulih seperti sediakala. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya, bagaimana aku harus mengatakan semuanya itu pada Shafira? Shafira sangat menyayangi papanya,""Nis, sepertinya kamu masih mencintai Mas Dani. Benar kan?" tanya Karina. "Kami sudah cukup lama menjalin hubungan dan hidup bersama, tentu tidak mudah melupakan semua kenangan manis yang telah kami lalui. Apalagi sudah ada Shafira, buah cinta kami berdua," jawab Annisa. "Iya, aku mengerti. Sudahlah, hapus air matamu! Jangan sampai Shafira melihatmu menangis! Kasihan dia," ucap Karina. Annisa menganggukkan kepalanya, lalu menghapus jejak air matanya. Annisa dan Karina telah sampai di
Shafira menangis dengan keras setelah mendengar apa yang Lily ceritakan tentang papanya. Annisa memeluk Shafira dan berusaha untuk membuatnya tenang. "Ma, Shafira mau ketemu papa," isak Shafira. "Iya, Sayang. Nanti kita ketemu papa dan berdoa supaya papa sembuh, ya," sahut Annisa sambil membelai wajah Shafira. "Tapi Mama mau menolong papa, kan?" tanya Shafira. "Iya. Sudah, jangan menangis lagi! Sekarang Fira main dulu ya, mama mau bicara sama tante Lily," kata Annisa. Shafira menganggukkan kepalanya dan menggendong boneka barunya, lalu masuk ke dalam kamar. Setelah memastikan Shafira telah masuk ke dalam kamar, Annisa beralih menatap Lily. "Apa maksudmu berkata seperti itu pada Shafira? Dia masih terlalu kecil, apa kamu tidak memikirkan perasaan Lily?" tanya Annisa dengan suara pelan namun penuh penekanan. "Shafira anak Mas Dani, tentu harus mengetahui keadaan papanya," jawab Lily santai. "Tapi itu akan membuat Shafira sedih, aku tidak suka caramu menceritakan semua itu padany
Operasi Dani berjalan dengan lancar, semuanya merasa sangat bersyukur. Setelah operasi selesai, Dani dipindahkan kembali ke kamar perawatannya. Menurut dokter, kondisi Dani harus dipantau selama beberapa hari ke depan. Setelah operasi di kepala Dani ini, tinggal memantau kondisi kaki Dani. Dalam kecelakaan kemarin, ada tulang kaki Dani yang patah. Menurut dokter, kemungkinan Dani harus menjalani beberapa tahapan untuk memulihkan kondisi kakinya. Dani masih belum sadar saat dipindah kembali ke ruangannya. Di dalam ruangan, Ibu Dani masih menatap Annisa dengan pandangan mata yang tidak bersahabat. Bahkan dengan Shafira juga Ibu Dani tidak menunjukkan rasa rindu atau berusaha mendekatkan diri. Shafira juga menatapnya seperti orang asing, tidak ada hubungan yang dekat seperti seorang cucu pada neneknya. Shafira malah terlihat ketakutan jika melihat neneknya."Sudah selesai operasinya, kalian pulang saja!" kata Ibu Dani pada Annisa. Karina yang mendengarnya mencibir, Ibu Dani seenaknya