Pagi itu Dani kembali melangkahkan kakinya ke minimarket tempat ia menjadi tukang parkir. Ia berusaha tetap bersemangat, sekalipun kondisi ini bertentangan dengan harapannya. Sebentar lagi Winda akan melahirkan dan membutuhkan biaya. Dani biasa bekerja dari pagi sampai sore. Sekalipun ia memakai topi dan masker agar wajahnya tidak mudah dikenali, tetapi akhirnya beberapa tetangga melihat dirinya saat sedang bekerja. Namun kini Dani pasrah, ia tidak peduli lagi dengan ucapan orang-orang. Bahkan ada yang mengedarkan berita bahwa Dani, papa Shafira bekerja sebagai tukang parkir. Selama Shafira ada di rumah Ibu Dani, rumah itu lebih ramai dari biasanya. Beberapa tetangga datang untuk berfoto bersama Shafira. Hari-hari Shafira menjadi sangat melelahkan. Menjelang siang, Ibu Dani mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia segera membukakan pintu dan melihat punggung seorang gadis yang membelakanginya. "Cari siapa?" tanya Ibu Dani. Wanita berambut panjang dan pirang itu berbalik badan.
Lily sempat mengunjungi Annisa dan ingin mengambil Bagas kembali. Namun tentu saja Bagas yang tidak pernah mengenal Lily langsung menolak. Bagas menangis dan berteriak, lalu bersembunyi di balik pintu.Lily menatap Bagas yang kini sudah bertumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. "Mbak Nisa, aku kangen sama Bagas. Aku ingin menebus kesalahanku dan merawatnya," kata Lily. "Kalau kamu menyayangi Bagas, biarkan dia tinggal bersamaku, Li. Aku gak akan mengijinkan kamu membawanya, karena itu hanya akan membuatnya terluka. Dia bahkan gak mengenal kamu, Li," ujar Annisa. Lily memejamkan matanya dan diam beberapa saat. "Dulu kamu pergi begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana Bagas bisa hidup. Kamu asyik dengan duniamu sendiri dan gak pernah menanyakan kabarnya. Sekarang kamu kembali dan mengatakan ingin membawanya? Aku akan berjuang untuk mempertahankan Bagas tetap bersamaku. Saat ini dia sudah menjadi anakku, adiknya Shafira," kata Annisa dengan tegas. "Bagas, ini mama kandungmu, Saya
"Nisa.. Nisa.." suara keras ibu mertua Annisa mulai terdengar kembali. Baru saja Mas Dani berangkat bekerja lima menit yang lalu. Annisa yang sedang menyuapi Shafira di halaman rumah segera menghampiri ibu mertuanya. "Ada apa, Bu?" tanya Annisa. "Dani sudah dapat gaji bulan ini, kan? Ayo, serahkan gaji Dani ke Ibu!" kata ibu. "Tapi Bu, Annisa membutuhkan uang untuk membeli susu dan pampers untuk Shafira," kata Annisa. "Sudahlah, tidak perlu membantah! Kamu itu butuh uang untuk apa? Kamu dan suamimu kan menumpang di rumah ini, masa mau gratisan saja? Biaya listrik, air dan belanja itu besar, kalian juga harus ikut menanggungnya!""Iya, Bu. Annisa mengerti, tapi kami juga membutuhkan uang. Shafira sedang kurang sehat, rencananya Annisa mau bawa dia ke dokter," ucap Annisa. Jika Dani ada di rumah, ibu menjadi lembut dan sangat baik. Ibu berpura-pura membantu Annisa memasak, membersihkan rumah, atau mengajak Shafira bermain. Namun jika Dani pergi, ibu meninggalkan semua pekerjaan it
Pagi itu Dani sedang sarapan dan siap berangkat bekerja. Annisa duduk di depannya, tapi tidak mau menatap mata Dani. Annisa masih merasa kesal pada Dani, karena perdebatan semalam. Ibu Dani keluar dari kamar dan membawa kantong plastik yang cukup besar. "Nis, ini kemarin ibu ke pasar, ada baju anak yang bagus. Ibu langsung ingat pada Shafira dan membelinya. Ini ada baju untukmu juga," kata ibu. "Wah, Ibu Baik sekali sama Annisa dan Shafira. Aku ga dibelikan juga, Bu?" tanya Dani berpura-pura kecewa. "Ah, kamu kan bisa membeli sendiri. Kalau Annisa kan jarang keluar dari rumah, jadi waktu Ibu lihat ada baju yang bagus, Ibu beli saja untuknya. Walaupun cuma di rumah Annisa harus tampil cantik juga, ya kan?" kata ibu. Dani tersenyum dan melirik Annisa, seakan ingin mengatakan bahwa ibunya memang baik dan ini salah satu buktinya. Annisa hanya diam dan menyuapi Shafira. "Tuh Nis, sekarang ibu lebih menyayangi kamu daripada aku. Sampai kemanapun ibu pergi, yang diingatnya cuma kamu dan
Annisa dan Shafira sedang ada dalam perjalanan menuju rumah orang tua Annisa. Mereka menggunakan bus untuk sampai ke kota tempat Annisa dilahirkan itu. Di dompet Annisa hanya tersisa uang seratus lima puluh ribu rupiah. Annisa bahkan harus berhemat dan menahan rasa laparnya. Sepanjang perjalanan air mata Annisa terus mengalir, sekalipun ia terus mencoba untuk menegarkan dirinya. Shafira yang baru pertama kali naik bus terlihat begitu senang dan ceria. Senyum Shafira, hanya itu yang mampu membuat Annisa kuat. Ketika hampir sampai ke tempat tujuan, Annisa mengambil ponselnya dan menelepon bapaknya. "Hallo, Pak. Ini Nisa, Nisa sedang dalam perjalanan ke rumah. Setengah jam lagi tolong jemput Nisa di terminal!" kata Annisa. "Oh, kamu mau pulang, Nak? Koq ga bilang dulu? Ya sudah, Bapak jemput kamu,"Annisa tersenyum dan menutup telepon itu, lalu memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Bapak dan ibunya pasti senang bisa bertemu dengan Shafira, karena terakhir kali mereka melihat Sha
"Papa.." kata Shafira sambil membuka tangannya dan menghambur ke pelukan Dani. Shafira terlihat begitu senang dan langsung bergelayut manja di pelukan papanya. Dani terharu melihat Shafira dan segera memeluknya dengan erat. Dani memang begitu dekat dengan Shafira. Melihat adegan itu, Annisa juga menangis sedih. Ia tidak tega melihat Shafira yang begitu merindukan papanya, walaupun hanya berpisah sehari saja. Annisa berpikir, Shafira pasti akan sangat terluka jika harus berpisah dengan papanya."Mas, pulanglah! Aku tidak akan mengubah keputusanku. Aku dan Shafira akan tinggal di sini," kata Annisa tanpa menatap mata Dani."Nis, apa kamu tidak kasihan pada Shafira? Lihat betapa cantik dan lucunya dia, apa kamu tega keluarga kita ini terpecah? Shafira membutuhkan kita, Nis. Dia harus mendapatkan kasih sayang dari keluarga yang utuh, limpahan perhatian dan kasih sayang dari papa dan mamanya," kata Dani dengan lembut. Ibu dan Bapak masuk kembali ke ruang tamu dan duduk bersama Dani dan A
Suatu siang, ketika sedang menggendong dan menenangkan Shafira yang rewel, tanpa sengaja Annisa mendengar sesuatu yang tak pernah ia duga. Ibu mertuanya sedang berbicara dengan seseorang di dekat pagar tembok tetangga rumah itu. Dahlia mengintip dengan hati-hati, ternyata ibu mertuanya sedang berbicara dengan Bu Tia. Bu Tia tinggal di sebelah rumah Dani. "Iya Bu, menantu saya itu pemalas. Annisa itu selalu bangun kesiangan, sampai saya yang harus menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan berangkat bekerja, mengurus dan memandikan anaknya, dan bersih-bersih rumah. Maklumlah, mungkin dari dulu Annisa itu tidak dididik dengan benar sama orang tuanya," kata ibu. "Wah, menantu begitu harus ditegur loh, Bu. Jangan dibiarkan saja seperti itu!" kata Bu Tia. "Saya ini sudah berusaha menasehati dia baik-baik, Bu. Kemarin saya menegur Annisa, tapi dia malah pergi dari rumah. Saya jadi bingung dan serba salah. Saya tidak mau ada keributan di rumah," kata ibu mertua terdengar bijak. "Ya ampu
Selama beberapa hari Annisa melakukan pembalasan pada ibu mertuanya. Annisa membalikkan perlakuan mertuanya itu dengan cara yang sama. Annisa tampak manis di depan Dani, melayani Dani dan ibu mertuanya dengan baik. Namun ketika Dani sudah berangkat bekerja, Annisa masuk ke dalam kamar dan bermain bersama Shafira. Annisa tidak mau memasak atau membersihkan rumah seperti biasanya. Untuk makan siang, Annisa akan memesan makanan untuk dirinya sendiri, atau pergi keluar rumah bersama Shafira. Malam itu, Ibu Dani mendekati Dani dan mengadukan perbuatan Annisa padanya. "Dan, Ibu lelah sekali," kata Ibu Dani. "Kenapa, Bu? Apa kita mencari asisten rumah tangga lagi saja?" kata Dani. "Dan, istrimu itu beberapa hari ini tidak mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu harus memasak, mencuci, menyetrika pakaian, menyapu, dan lain-lain. Ibu tidak tahan lagi melihat istrimu itu. Dia tidak membantu, tapi malah bermalas-malasan." kata Ibu Dani. Dani terkejut mendengar perkataan ibunya. Dani