Part 47"Tidaaaakk .... Biaaaannn!"Dari kejauhan terdengar suara sirine mobil. "Ada yang datang, cepat kabur!" teriak salah seorang preman itu. Mereka lari kalang kabut, kabur ke balik semak-semak. Entah datang dari mana akupun tak tahu.Aku menghambur ke arah Bian, memeriksa napas dan denyut nadinya. Syukurlah masih ada embusan napas yang keluar dari hidung. Darah mulai mengalir bercampur dengan air hujan yang membasahi tubuh kami. "Bian, bertahanlah."Sesekali terdengar suaranya yang merintih. Gegas aku ke tengah jalan raya, berusaha menghentikan mobil yang lewat. "Pak, tolong kami, Pak!" teriakku lagi.Laju kendaraan itu berhenti, sebuah mobil polisi yang tengah berpatroli. Pria berseragam coklat itu keluar dari mobilnya dengan sebuah payung di tangan."Mbak, ada apa? Kenapa ada di tengah jalan?""Pak, tolong kami, Pak. Kami habis dirampok. Emmh dia ..." Aku menoleh ke tempat dimana Bian berada. "Calon suami saya kesakitan, Pak. Tadi dikeroyok sama preman-preman. Saya mohon to
Part 48Sudah beberapa hari terlewati tapi tingkah El tak berubah juga, dia semakin menjadi-jadi. Makan di kamar, sampah berserakan, baju kotor masih menumpuk di keranjang.Kuhela napas dalam-dalam, melihat Elvina sedang makan makanan yang ia pesan gofood di atas tempat tidur, lalu berjingkrak macam anak kecil. Aku tercengang dengan sikapnya, apa benar dia depresi?"Astaga, Elvina, kenapa kamu jadi seperti ini sih?! Sadar El, sadar. Jangan lompat-lompat seperti itu, kamu sedang hamil, kasihan bayinya, El!" tukasku cemas.Dia sudah tak mendengarkanku lagi. Entah hal apa yang membuatnya seperti ini. Apa hanya karena harta? Aku mengusap wajah dengan kasar. Aaaarrrgghh! Kenapa bisa jadi seperti ini sih! Aku berlalu ke belakang. Dalam keadaan terpaksa aku mencuci pakaian sendiri, untunglah masih ada mesin cuci. Saat mesin itu bekerja, gegas aku membersihkan lantai rumah yang sangat kotor. Merepotkan juga melakukan pekerjaan rumah sendiri, tak lupa mengepel dengan pewangi lantai agar tak
Aku memandang beberapa plastik bungkusan berupa makanan itu dengan nanar. Ya Allah ... Uangku ... Ingin menangis tapi rasanya malu dilihat ibu-ibu kompleks. Inilah yang disebut sakit tak berdarah. Ingin marah tapi marah ke siapa? El malah bakalan nangis-nangis tak jelas."Emangnya mau ada acara apaan, Mas? Pesan makanan segitu banyaknya? Buat syukuran ya?" tanya salah seorang ibu membuyarkan lamunanku."Kalau buat syukuran mah segitu gak cukup, kan penghuni rumah kompleks ini banyak," sahut yang lai .Aku tersenyum. Sudah tak mampu berpikir dengan jernih. Kuambil saja empat paket ayam geprek, empat cup strawberry milkshake dan empat kue pie susu dan kue browniesnya, sisanya kubagikan pada tetangga."Bu, ibu, ini sisanya buat kalian saja ya, dibagiin ke tetangga biar rata dan kebagian!" tukasku. Ibu-ibu tetangga langsung berkerumun."Beneran Mas, ini buat kami? Habis dapat bonus ya, Mas?""Iya, tapi bagi-bagi sama yang lainnya ya.""Beres Mas, terima kasih banyak ya. Sudah berbagi rez
"Maafkan aku El, aku terpaksa membawamu kesini, agar kamu bisa sembuh.""Tidak, Mas! Tidaaaakk! Aku gak gila, Mas!"Aku bergeming, rasanya tak tega juga melihatnya jadi seperti ini. Maafkan aku, El."Mas, aku gak gila! Bawa aku pulang, aku gak mau di sini, Mas. Aku mau pulang, aku mau pulang, Mas!" teriak Elvina sambil meronta. "Kamu baik-baik di sini ya, El. Aku janji akan selalu menjengukmu," sahutku."Mas, aku mau pulang! Aku mau pulang!" Petugas itu memeganginya dan akhirnya membawa Elvina ke kamar perawatannya. Setelah memastikannya berada di kamar akupun segera ke pusat informasi dan bagian administrasi. Kuembuskan napas kasar saat keluar dari Rumah Sakit ini. Ada rasa sesak di dalam dada. Tapi mau bagaimana lagi, takutnya Elvina bertambah depresi. Kalau di sini akan ada yang merawatnya. Cukup lama berada di dalam mobil. Sudah tepatkah keputusanku ini? Ya, tapi aku harus tega. Aku akan menjenguknya bila ada waktu.Untuk meredam segala kecamuk di dada, kuraih ponsel di saku
"Maaf Pak, uangnya belum terkumpul. Nih ikan-ikannya belum laku terjual," sahutku beralasan. Setidaknya agar mereka mengasihaniku agar dapat tambahan waktu."Kami gak mau tau ya Pak! Cepat bayar sekarang atau mobil anda kami sita!" Mereka menekanku tak ada habisnya."Tidak bisa, Pak! Saya berjanji akan membayarnya tapi tolong berikan kesempatan waktu," ucapku lagi dengan nada memohon."Aturan ditempat kami tidak mentolerir tunggakan pembayaran. Bayar sekarang atau mobil disita!" tegasnya lagi.Aaarrrggh! Benar-benar menjengkelkan sekali! Kupikir dengan melakukan usaha aku akan untung berlipat-lipat. Tapi nyatanya aku justru sial, rugi, apes. Haruskah kualami kebangkrutan lagi? Bangkrut yang kedua kali. Astaga!Kepala terasa pening luar biasa. Dalam keadaan genting seperti ini tak ada yang membantu. Semua menjauh, bahkan lalat sendiri pun enggan mendekat. Aku kembali masuk dalam jurang kehancuran.Setelah melakukan perdebatan yang cukup alot, apalagi mereka mengancam akan memasukkanku
Apa ini karma yang harus kuterima? Lagi pikiranku berkata seperti itu.Aku berjalan lunglai di atas jembatan. Berdiri sebentar untuk meredakan lelah dan penat. Melihat ke bawah, banyak orang tengah memulung sampah. Ya jembatan ini memang dekat dengan tempat pembuangan sampah, hingga baunya terasa tak sedap. Apa yang mereka lakukan? "Aku orang kaya! Aku orang kaya! Uangku banyak! Ada dimana-mana?!" teriak seseorang. Jantungku berdebar tak beraturan. Pasalnya suara itu mirip sekali dengan suara Elvina. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak kutemui sosoknya."Aku orang kaya! Hahaha ..." teriaknya lagi dari arah bawah.Akhirnya, aku mendekat ke arah mereka yang seolah tengah berebut sampah-sampah plastik. Ternyata ini masuk ke area perkampungan kumuh, kenapa selama ini aku tak menyadari kalau ada tempat seperti ini di kota sebesar ini? Berbagai dimensi yang berbeda. Satu sisi orang berpenampilan mewah, di apartemen megah. Tapi di sisi yang lain ada yang bergelut dengan tumpukan sampah
"Jadi sekarang kamu mulai nerima aku nih?"Aku mengangguk samar."Serius, Rin?""Iya, aku menunggumu kembali."Kulihat ekspresinya terkejut mendengar jawabanku. "Hah? Benarkah? Aku gak sedang mimpi kan?"Entah kenapa setelah mengatakan hal itu aku jadi tersenyum sendiri. Jangan-jangan aku memang mulai jatuh cinta pada Fabian?***Keesokan harinya saat membuka pintu kulihat sosoknya tengah berdiri. Lelaki itu tersenyum sangat manis."Lho, kok ada di sini? Bukannya di Jakarta?" Aku menyambutnya dengan pertanyaan konyol."Demi masa depan," jawabnya santai."Eh? Maksudnya?""Kutinggalkan pesta pernikahan sepupu demi calon istriku."Aku tertawa geli mendengarnya. "Kayak judul sinetron aja!" celetukku..Dia tersenyum lebih lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Emang benar ternyata dia sedikit arogan tapi bisa bikin hati ini terhibur. Terhibur tingkah konyol dan ucapannya yang kadang garing."Ehem! Aku gak dipersilakan masuk dulu nih?!" "Oh i-iya, silakan duduk, Mm-mas ..." Sedi
"Terus kenapa kamu mencintaiku?" tanyaku lagi. Aneh saja sebenarnya dia yang terkenal playboy justru menyukaiku?"Entahlah, perasaan kan memang tak bisa dipaksakan. Aku jatuh cinta padamu karena karaktermu, entah kapan tepatnya akupun tak tahu. Yang jelas aku benar-benar jatuh cinta. Perasaan ini sungguh berbeda. Jantung yang selalu berdebar, hati yang selalu terbayang wajahmu, sampai-sampai gak bisa tidur karena terus memikirkan kamu," sahut Fabian lagi. Dia menatapku lekat, membuatku makin kikuk saja."Aku tahu itu, tapi kenapa kamu memilihku? Bukankah dari awal kamu tahu tentang aku? Aku bukan siapa-siapa, aku bukan yang terbaik bahkan aku hanya seorang yang pernah gagal dalam rumah tangga.""Aku tak peduli tentang masa lalumu, aku hanya ingin hidup denganmu saat ini dan juga di masa depan. Aku tidak mencari yang terbaik, tetapi aku hanya mencari yang bisa merubah aku menjadi lebih baik lagi. Akupun sama sepertimu, punya banyak kekurangan. Tapi kita bisa saling melengkapi satu sama