Share

Bab 3

Author: Siska_ayu
last update Last Updated: 2022-07-04 10:35:29

Aku menunduk. Menyembunyikan wajah yang pasti terlihat menyedihkan dan berantakan.

"Kamu kenapa? Bukannya ini malam pertama kamu?" tanya Mas Zidan dengan nada heran.

"Karina ada, Mas?" Aku malah balik bertanya. Tanpa sanggup mengangkat wajah.

"Ada. Dia ada di kamarnya. Yuk, masuk!" Mas Zidan memberikan jalan. Membiarkan aku masuk ke dalam rumahnya.

"Kamu duduk dulu, ya. Biar aku panggil dulu Karin-nya." 

Aku hanya mengangguk lalu duduk di atas sofa. Sementara Mas Zidan, naik tangga hendak memanggil Karin yang kamarnya memang di lantai dua.

Karin adalah satu-satunya sahabatku. Kami bersahabat sejak masuk SMA kemudian kuliah di universitas yang sama. Sedangkan Mas Zidan adalah kakaknya. Yang juga bos di tempatku bekerja.

Namaku Aluna. Usiaku baru dua puluh dua tahun. Setelah lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan milik keluarga Karin. Kebetulan memang sedang ada lowongan sebagai staf akunting sesuai jurusan yang kuambil saat kuliah.

Sementara Karin sendiri, lebih memilih meneruskan usaha butik yang dibangun ibunya. Di rumah ini, Karin tinggal berdua dengan kakaknya, Mas Zidan. Sementara kedua orang tuanya, tinggal di kampung halaman ibunya di Sukabumi. Ingin menikmati masa tua di kampung kelahiran. Jawab ibunya Karin dulu.

"Luna." Seruan Karin membuat wajahku terangkat. Gadis berbadan tinggi langsing itu kini sudah berdiri di hadapanku.

"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir seraya menghampiriku. Duduk di sebelahku. Matanya menatapku menyelidik.

Aku hanya bungkam. Bingung harus menjawab apa. Hanya air mata yang kembali menetes sebagai jawaban.

Karin tidak lagi bertanya. Tapi dia membawa tubuhku dalam dekapannya.

"Kamu tidak perlu cerita jika belum siap. Aku tau kamu sedang tidak baik-baik saja. Kamu jangan khawatir, ada aku yang akan selalu di sampingmu." Karin mengusap punggungku lembut. Memberikan kenyamanan yang memang sedang aku butuhkan. Air mataku semakin luruh mendengar perkataannya. Terharu. Begitu beruntungnya aku memiliki sahabat sebaik dirinya.

Suara derap langkah kaki terdengar mendekat. Sesaat kemudian, Mas Zaidan datang dengan membawa segelas air putih di tangannya.

"Rin, berikan pada Luna. Biar dia sedikit merasa tenang." Mas Zaidan mengulurkan gelas itu pada adiknya.

"Minum dulu ya, Lun!" Karin mendekatkan bibir gelas ke bibirku. Aku meminumnya seteguk. Rasa segar seketika mengaliri kerongkonganku. Sesak di dadaku juga mulai berkurang.

"Ajak Luna ke kamarmu. Biarkan dia istirahat!" Mas Zaidan berkata lagi yang diikuti anggukan kepala Karin.

"Yuk. Kita ke kamar!"

Karin membantuku berdiri. Memegang kedua bahuku membantuku menaiki tangga meski dengan kaki yang masih begitu lemas.

Sampai di dalam kamar, Karin membantuku duduk di pinggir ranjang. Tangannya menggenggam tanganku erat seolah memberi kekuatan.

"Masalah apapun yang sedang menimpamu, semoga kamu sabar, ya. Kuat untuk menghadapinya." 

Karin mengusap air mata yang masih mengalir di pipiku. Bahkan, kepalaku sudah sangat berat dan pusing akibat terlalu banyak menangis.

"Sepertinya, kamu butuh sendiri dulu. Aku tidur di kamar sebelah , ya. Kalau butuh apa-apa, masuk saja. Gak dikunci, kok." Karin menepuk pundakku pelan sambil memandangku sendu.

Gadis bermata bulat itu bangkit dari duduknya. Berdiri sebentar, seolah ragu untuk meninggalkanku. Namun, ia kemudian berjalan menuju pintu.

"Oh iya, aku sampai lupa." Karin kembali masuk, membuka lemari, kemudian mengeluarkan baju.

"Ini baju buat ganti." Karin menyimpan piyama tidur berwarna biru langit di atas ranjang. "Aku tinggal dulu, ya," lanjutnya sambil berlalu pergi. Kemudian menutup pintu kamar dengan rapat.

Aku menarik napas sepanjang mungkin sepeninggal Karin. Segan rasanya menempati kamar pribadinya, sementara ia mengalah menempati kamar lain demi kenyamananku. Tapi bagaimana lagi. Aku memang membutuhkan waktu untuk sendiri sekarang ini. 

Kejadian yang kualami, tak ubahnya mimpi buruk di siang hari. Sedikit pun aku tidak menyangka akan ditimpa masalah serumit dan sesakit ini.

Aku menghempaskan setengah tubuhku di atas ranjang. Terlentang menatap langit-langit kamar ini dengan nanar. 

Harusnya, malam ini aku menghabiskan malam yang indah bersama suamiku. Namun justru, aku harus pergi meninggalkannya sendirian di dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Bahkan kelopak mawar masih bertebaran di atas ranjang dan belum sempat kusesap baunya.

Dua tahun menjalin hubungan percintaan dengan Mas Rayan, dia tidak pernah menyakiti hatiku. Baik itu dengan kata-kata atau tindakan. Bahkan ia tergolong laki-laki yang tidak mudah bergaul dengan lawan jenis. Hanya bicara seperlunya dan cenderung cuek. Itulah yang membuatku mantap untuk melanjutkan hubungan kami ke jenjang yang lebih serius.

Siapa yang akan menyangka bahwa dia ternyata sudah menyandang status suami orang. Kami memang jarang menghabiskan waktu bersama karena kesibukan masing-masing. Tapi komunikasi kami berlangsung lancar setiap hari. Dia tidak pernah melarangku menghubunginya kapan pun. Meski tengah malam sekalipun.

Sebenarnya siapa wanita bernama Rumaisha yang sudah dinikahinya itu? Sehingga tak ada orang yang tau tentang pernikahan mereka. Atau justru, hanya aku saja yang tidak tau? Sementara keluarga dan teman-temannya mengetahuinya.

Memikirkan semua ini, membuat kepalaku bertambah pusing. Aku berusaha memejamkan mata. Namun, lagi-lagi bayangan Mas Rayan dan kebersamaan tentang kami yang terlihat. Membuat mataku kembali memanas dan dipenuhi cairan bening.

Sinar matahari yang masuk lewat celah gorden membuatku membuka mata. Aku melirik jam yang menempel di dinding kamar, sudah menunjukkan hampir pukul enam pagi. Setelah mengucek mata sekilas, aku bangun. Memegang kepala yang masih sedikit pusing karena terlalu banyak menangis.

Aku berjalan gontai ke kamar mandi. Mengambil wudhu kemudian melaksanakan salat subuh yang terlambat. 

Merasa tak enak pada Karin, pemilik kamar ini, aku berjalan keluar kamar. Menuju kamar yang ada di sebelah. Aku ketuk pintu kamar perlahan. Tapi tidak ada jawaban. Aku beranikan diri membukanya. Ternyata kosong. Karin sudah tidak ada di kamar.

Akhirnya aku pun turun ke bawah. Berjalan menuju dapur. Tempat di mana Karin biasa berada.

Benar saja, gadis itu sedang sibuk di dapur hendak memasak sesuatu.

"Hei, sudah bangun?" sapa Karin saat melihatku sampai di dekatnya.

Aku mengangguk. "Sudah. Ada yang bisa kubantu?" Aku mendekat.

"Gak usah. Cuma bikin nasi goreng kok. Gampang. Kamu duduk aja. Pasti kurang istirahat semalam," tebak Karin. Dan itu benar. Entar jam berapa aku tertidur semalam.

"Kalau gitu, aku bikin teh manis aja, ya. Mas Zidan juga suka teh manis kan," tawarku.

"Boleh tuh. Bener banget," jawab Kiran.

Aku menyiapkan tiga buah cangkir yang kuisi dengan gula putih masing-masing satu sendok. Lalu menambahkan air panas secukupnya dan mencelupkan teh beraroma melati. 

"Rin, sebenarnya ... aku mau cerita. Tapi bingung mulai dari mana," tuturku berubah murung.

"Kalau kamu mau cerita, aku siap dengerin. Tapi kalau kamu belum siap, jangan dulu. Yang penting, kamu harus merasa lebih baik." Karin menatapku. Menghentikan sejenak aktivitasnya mengiris sosis untuk nasi goreng.

"Makasih banyak ya. Maaf aku jadi ngerepotin kamu. Malah numpang di sini," ucapku tak enak.

"Kok kamu ngomongnya gitu. Kayak sama siapa aja. Aku ini kan sahabatmu. Kamu bebas di sini sampai kapanpun," timpalnya dengan senyum.

"Tapi di sini kamu gak sendiri. Ada Mas Zidan juga. Aku gak enak sama dia."

"Mas Zidan gak akan keberatan. Kamu tau sendiri kan dia itu kayak gimana?"

Aku mengangguk membenarkan.

Setelah menemani Karin menyelesaikan nasi goreng buatannya, samar aku mendengar suara agak berisik dari arah depan. 

Karin menatapku. Dia juga sepertinya mendengar.

"Siapa ya?" tanyanya. Tangannya cekatan memindahkan nasi goreng ke dalam mangkuk besar.

"Gak tau." Aku menggidikan bahu.

"Yuk ke depan," ajaknya sambil melepas celemek yang menempel di tubuhnya.

Aku berjalan mengekor di belakang Karin. Menuju sumber suara yang terdengar makin gaduh.

 Karin mengehentikan langkah. Menatap ke arah dua orang yang saling berhadapan.

Mataku membulat sempurna melihat Mas Rayan ada di sini.

Aku melanjutkan langkahku. Semakin mendekati suamiku yang masih berdiri di ambang pintu mencoba dihadang oleh Mas Zidan.

"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanyaku menatapnya tajam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Extra part

    POV RayanMalam ini, aku terlentang dengan sisa napas yang masih terengah-engah. Sementara, di atas dada bidangku, Aluna sudah tertidur dengan irama napas yang teratur. Sebelah tangannya melingkar longgar di pinggangku. Dengkuran halus pun terdengar keluar dari mulutnya. Menandakan bahwa ia memang sudah terlelap dan masuk ke alam mimpi. Aroma wangi shampo yang menguar dari rambut hitamnya, memanjakan indera penciumanku. Aku menunduk sedikit, lalu mencium puncak kepalanya pelan. Khawatir aksiku justru membangunkannya dari lelap tidur.Dengan mata menerawang menatap langit-langit kamar di bawah temaram cahaya lampu tidur, mataku justru tak kunjung mau terpejam. Satu tanganku kugunakan untuk mengelus rambut Aluna. Sementara tangan yang lain dijadikan bantalan kepalaku sendiri.Di saat seperti ini, aku selalu merasa bersyukur kembali dipersatukan dengan Aluna setelah banyaknya badai kehidupan yang kami lewati. Aku selalu berpikir, jika saja semua ujian hidup itu tidak menimpaku dan Aluna

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   TAMAT

    POV Aluna4 Tahun Kemudian"Assalamualaikum."Saat sedang berkutat di dapur, sayup aku mendengar suara salam diiringi ketukan di pintu depan. Aku pun segera mencuci tanganku dan berjalan cepat menuju pintu. Namun, aku kalah cepat dengan dua pasang kaki yang berlarian berlomba untuk membuka pintu terlebih dahulu. Dari mulut keduanya terdengar pekikan yang cukup kencang. "Ayah .... Ayah ...."Si sulung yang usianya sudah lebih dari empat tahun itu, tentu saja berhasil sampai di pintu lebih dulu. Anak laki-laki bernama Hafiz itu langsung membukakan pintu untuk ayahnya seraya menjawab salam."Wa'alaikum salam Ayah," jawab Hafiz yang langsung mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan sang ayah. Pun dengan Hafizah yang menyusul di belakangnya. Dan aku menjadi yang terakhir mencium punggung tangan suamiku itu. Suamiku pun langsung mencium keningku. Setelahnya, ia mengambil Hafizah yang baru berusia dua tahun dalam pangkuannya. Lalu membawanya masuk ke dalam rumah sambil menggandeng

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 80

    Aluna berbalik lalu menatap Rumi dengan tatapan tak semarah sebelumnya. Kedua sudut bibirnya tersungging tipis. "Aku akan berusaha, tapi aku gak janji," tutur Aluna. "Gak apa-apa. Sudah ada niat untuk memaafkan aja kamu sudah hebat. Maafkan aku ya!" Rumi mendekat lalu memeluk sahabatnya itu. Setelahnya, Aluna pun mengambil pesanan Rumi yang sebenarnya adalah pesanan Zidan. Rumi pun langsung pamit untuk kembali ke kantor karena jam kerja memang belum selesai.Sementara Aluna kembali masuk ke dalam toko dan menghampiri ibunya."Sudah diperiksa lagi belum, Lun, kandungannya?" tanya ibunya Aluna."Belum ada sebulan kok, Bu. Nanti aja," jawab Aluna. "Oh, ya, sudah. Oh, iya. Kalau gak salah, sebulanan lagi menginjak empat bulan ya, Lun? Ngadain syukurannya mau di sini atau di rumah suamimu?" Ibunya Aluna menatap putrinya itu. Menghentikan sementara aktivitasnya yang sedang mengaduk adonan. "Sepertinya di rumah Mas Azam aja, Bu. Ibu sama bapak aja yang ke sana, ya. Gak apa-apa, kan?" Alu

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 79

    Aluna yang awalnya tersenyum ramah mendadak kikuk dengan pertanyaan karyawan itu. "Bukan, Mbak. Saya mau ketemu Mas Azam, suami saya," jawab Aluna membuat mata karyawan itu nampak membulat."Oh. Maaf, Bu Aluna. Pak Azam ada di ruangannya kok," timpal karyawan itu terlihat salah tingkah."Oh, iya. Terima kasih banyak, ya. Saya ke ruangan suami saya dulu," balas Aluna mengangguk sopan.Setelah bertanya pada salah satu karyawan letak ruangan Azam, Aluna pun melanjutkan langkahnya menuju ruangan suaminya itu. Hingga ia sampai di depan pintu bertulisan nama suaminya. Aluna pun mengetuknya pelan."Silakan masuk," titah Azam yang sedangkan fokus menatap layar komputer di hadapannya. Saking fokusnya, Azam sampai tidak sadar bahwa yang datang itu adalah Aluna."Silakan du ...!" Azam tak melanjutkan ucapannya karena baru tersadar bahwa yang ada di hadapannya adalah istrinya. Azam pun bangkit dari duduknya dengan mata berbinar. "Kok gak bilang-bilang, sih, Sayang, mau ke sini?" tanyanya seraya

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 78

    Meski jantung Aluna masih berdebar kencang tiap kali melihat mantan suaminya itu, tapi Aluna berusaha sekuat mungkin untuk bersikap normal layaknya dua pasang manusia yang tidak ada lagi ikatan apa-apa. Aluna tersenyum tipis seraya menganggukkan kepalanya sedikit. Lalu buru-buru menundukkan pandangannya menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas. Pun dengan Rayan yang berusaha mengendalikan detakan jantungnya yang kian lama kian berdebar kencang. Apalagi saat melihat seulas senyum yang dihadirkan di bibir ranum wanita di hadapannya. Tak bisa dipungkiri, di hati kedua insan itu masih ada nama masing-masing yang tersimpan rapi. Mempunyai tempat khusus hingga mungkin akan sulit untuk benar-benar dihapus begitu saja. Cinta yang dulunya tertancap kuat, belum benar-benar tercabut kuat dari akarnya meski kini mereka telah hidup bersama pasangannya masing-masing. Tak berselang lama, Bu Ida dan Humaira pun ikut turun. Mata Bu Ida membesar melihat mantan menantu yang dulu begitu dibencinya.

  • Kukembalikan Suamiku pada Istri Pertamanya   Bab 77

    POV AuthorRayan masih bergeming. Matanya memindai tangan mungil Hasan yang menggenggam erat tangan Rumaisha. Melihat bocah berusia tujuh tahun tersebut, hatinya mencelos dan nelangsa. Namun, di sisi lain, ia pun terlalu berat untuk menjalani pernikahan poligami yang sesuai dengan aturan agama. Karena di hatinya, nama Rumaisha benar-benar tidak pernah bertahta walau untuk sekejap. Apalagi mengingat kejahatan Rumaisha yang menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkannya. Dari arah dapur, muncul Bu Ida berserta Humaira. Mereka berdiri di dekat kaki Rumaisha menapak. "Rumaisha sudah pamit sama ibu. Sama Humaira juga. Ibu menyerahkan semua keputusannya padamu, Nak," tutur Bu Ida menatap Rayan. "Apa kamu sudah bulat untuk pergi dari sini dan bercerai dariku? Lalu, Hasan bagaimana?" tanya Rayan pada Rumaisha.Rumaisha mengangguk yakin. "Aku sudah bulat. Dan tentang Hasan, aku akan memasukannya ke pesantren agar dia tumbuh menjadi anak yang baik dan mengerti agama. Tidak seperti aku ..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status